Menu Tutup

Ustaz Bukan Nabi dan Tak Semua Dai itu Ulama

DatDut.Com – Ustaz bukan nabi. Kalau dia salah apalagi sudah berlebihan, tetap harus ada yang mengingatkannya, apalagi bila dia melakukan kesalahan di depan umum dan terekam pula. Asal mengingatkannya dilakukan dengan pertimbangan ilmu dan akhlak.
Jangan posisikan seorang ustaz di posisi para nabi, yang selalu dibela apa pun yang dilakukannya, padahal kita tahu dia bersalah. Jangan sampai si ustaz berpikir dia nabi karena dibela berlebihan bahkan saat dia salah.

Namun, beri juga dia kesempatan untuk klarifikasi, tabayun, dan menjelaskan duduk persoalan. Jangan hakimi dia tanpa tanpa tahu duduk persoalan. Ia punya hak untuk membela diri. Kalau apa yang disampaikannya terkait materi yang disampaikannya, beri kesempatan dia untuk menyampaikan dalil.

Namun, si ustaznya juga harus punya kebesaran hati untuk mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kekhilafannya. Si ustaz tak perlu ngeles yang justru menunjukkan level keustazannya.

Ulama-ulama besar juga biasa kok melakukan salah pendapat dan sikap. Tapi, ya beliau-beliau mau berbesar hati untuk mengakui ketika mereka salah. Ngeles dari kesalahan justru menandakan rendahnya adab.

Satu lagi yang juga tidak kalah pentingnya. Terkait ustaz-ustaz yang berprofesi sebagai dai. Perlu diingat dai mempunyai fungsi dasar sebagai penyeru pada kebaikan. Tak dipersyaratkan dia mempunyai ilmu yang mendalam. Ia hanya dipersyaratkan dengan kemampuan bahasa lisan dan tulisnnya untuk mampu menyeru dan mengajak umat ke jalan Islam.

Nah, ini yang perlu ditegaskan dan sepertinya banyak yang salah kaprah Tak semua dai itu ulama. Kalau ulama pasti dai. Ulama syaratnya harus menguasai mininal satu bidang tertentu secara mendalam. Maka, di dalam bahasa Arab, ulama itu tak harus orang yang mengerti ilmu agama. Ia bisa ahli politik, ekonomi, dan bahkan fisika.

Hanya memang dalam bahasa Indonesia kata ulama ini mengalami penyempitan makna. Kata ini hanya mengacu pada orang-orang yang punya wawasan mendalam terhadap persoalan dan pengetahuan agama Islam. Jadi, dalam bahasa Indonesia, seorang yang ahli dalam bidang tertentu, tak pernah disebut ulama.

Belakangan yang jadi masalah, terutama di media sosial. Ada gelombang salah kaprah yang menganggap semua ustaz atau dai yang tampil di media sosial, terutama Youtube, adalah ulama. Padahal, kalau kita mau jujur, kemampuan sebagiannya hanya pada level dai, belum ulama.

Jadi, perlu ditegaskan juga bahwa tak semua orang yang fasih membaca Alquran adalah ulama. Tidak semua orang yang bisa bicara agama bisa disebut ulama. Tidak semua orang yang pakai jubah atau serban bisa disebut ulama. Tidak semua orang yang menyeru kebaikan itu ulama.

Sekali lagi, ulama adalah orang yang punya pengetahuan yang memadai dan mendalam terkait ilmu tertentu. Kalau hanya sekadar tahu atau sekadar bisa baca Alquran atau membacakan hadis, dia tak bisa disebut ulama.

Dia harus sudah memahami konsep dan teori-teori yang berkaitan dengan ilmu yang ditekuninya. Misal, sebagai ulama fikih, dia harus mengetahui secara mendalam persoalan seputar fikih, mulai dari pendapat-pendapat ulama dan hal ihwal terkait dunia perfikihan.

Terakhir, kalau pun dia pada suatu waktu melakukan kesalahan, bukan berarti kita tak boleh mengingatkannya atau bahkan menegurnya. Ulama sekalipun tetaplah manusia yang tak terbebas dari salah dan dosa. Dan, biasanya ulama yang ilmunya mendalam, tak akan marah bila ada orang yang mengingatkannya saat berbuat salah.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *