Menu Tutup

Bagaimana Seharusnya Menjadi Muslim Indonesia?

DatDut.Com – Bagaimana semestinya menjadi muslim yang hidup di Indonesia? Itu pertanyaan yang sering terlintas dalam pikiran kita. Kadang juga ditanyakan dalam berbagai forum, termasuk forum pengajian dan forum diskusi.

Ternyata banyak versi jawabannya. Ada yang merasa tidak perlu identitas khusus, tapi tidak sedikit juga yang merasa perlu adanya identitas pembeda dengan muslim yang hidup di negara lain dengan karakter budaya yang berbeda dengan kita.

Kelompok yang keberatan dengan identitas khusus, biasanya mengusulkan untuk mengikuti apa yang sesuai sunnah. Budaya Arab dianggap senafas dengan budaya Islam. Maka, identitas keislaman harus mencerminkan budaya Arab yang pernah dipergunakan oleh Nabi dan para sahabat.

Tentu ini berpulang ke pilihan pribadi masing-masing. Semua ada pijakan dan alasannya. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana cara pandang kepada diri sendiri dan orang lain yang perlu dibenahi oleh masing-masing kelompok.

Jangan pernah merasa benar sendiri dan tak mau menerima versi kebenaran dari kelompok lain. Lalu gampang sekali menyalah-nyalahkan yang lain. Kaca mata yang dipakai semestinya bukan kaca mata kuda.

Di sinilah rajutan ukhuwah penting dikedepankan. Sikap tasamuh (toleran) perlu ditonjolkan. Pemahaman soal keniscayaan perbedaan cara pandang juga perlu disadari. Fikih perbedaan (fiqhul ikhtilaf) dan fikih dakwah perlu jadi pertimbangan utama.

Dengan kata lain, kelompok yang menonjolkan identitas keindonesian perlu menyadari bahwa ada kelompok yang punya cara pandang berbeda.

Begitupun sebaliknya. Kelompok yang ingin memperlihatkan identitas keberislamannya dengan mengikuti standar sunah, juga harus melihat kelompok lainnya.

Toleransi tidak hanya dipandang memahami perbedaan dengan kelompok non-Islam, tapi juga kepada sesama kelompok dalam Islam. Ini penting ditekankan, ada kelompok yang toleran pada kelompok di luar Islam, tapi tidak toleran kepada sesama kelompok Islam.

Yang paling berbahaya tentu saja kelompok yang tidak toleran kepada kelompok di luar Islam, dan juga tidak toleran kepada sesama kelompok Islam. Kelompok ini biasanya yang memonopoli kebenaran. Bahkan, kelompok ini sering disebut sebagai kelompok yang memonopoli surga hanya untuk kelompoknya sendiri.

Maka, tren baru di sebagian kalangan generasi muslim saat ini patut disyukuri. Generasi muslim baru mulai menyikapi perbedaan dari sudut pandang positifnya sebagai perluasan cakrawala berpikir dan berislam.

Sebagai contoh, dalam berqunut. Tak seperti dulu yang saling mengklaim sebagai kelompok yang paling benar karena merasa dalilnya yang paling kuat. Generasi muslim baru justru tak lagi memperdebatkan itu.

Selagi ada dalilnya, generasi ini pasti akan menghargai dan bahkan mengamalkannya bila berada di lingkungan pengamal suatu amaliah, meskipun aslinya dia bukan pengamalnya. Begitupun sebaliknya.

Kelompok ini tak lagi tertarik dengan perdebatan soal bidah, tapi berpikir keras bagaimana cara memajukan umat dan mengejar ketertinggalan dari umat yang lain. Mereka selalu mencari titik temu dari berbagai perbedaan.

Ini penting menjadi kesadaran bersama kita semua agar kita tidak meributkan hal yang remeh-temeh. Kita perlu mengejar ketinggalan kita dari bangsa dan umat lain, agar kita tidak diremehkan. Kita perlu memuliakan Islam dan menempatkannya ke dalam tempat yang terhormat.

Jangan sampai Islam diidentikan dengan kekerasan, ketertinggalan, kebodohan, dan kemiskinan. Jangan sampai gara-gara ulah kita, nama baik Islam jadi tercoreng. Umat Islam yang tak bersalah justru menjadi korbannya. Kita harus fokus pada upaya-upaya yang memajukan umat Islam agar kita bisa mewujudkan cita-cita besar sebagai khayra ummah (umat terbaik), seperti yang dipesankan Al-Qur’an.

Dalam Al-Qur’an, khayra ummah ini berhubungan dengan kemauan untuk tidak hanya amanu (beriman), tapi juga amilush shalihat (mau melakukan amal kebajikan). Tidak hanya ta’murun bil ma’ruf (memerintahkan yang baik), tapi juga tanhauna anil munkar (melarang kemungkaran). Tidak hanya tujahidun fi sabilihi (berjihad di jalan Allah), tapi juga wa la tufsidu fil ardhi (jangan membuat kerusakan di muka bumi), bahkan ista’marakum fiha (ikut berperan serta dalam memakmurkan bumi). Tidak hanya menjadi pribadi-pribadi yang shalih (baik individual), tapi juga mushlih (baik sosial), bahkan muhsin (bermanfaat secara sosial). Semoga kita semua mempunyai andil menjadikan umat Islam sebagai khayra ummah, terutama di Tanah Air tercinta: Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *