Pergeseran besar di dunia dakwah memang tengah dan terus berlangsung. Dakwah kini tak lagi berada di wilayah sakral yang bebas nilai. Ia dipaksa masuk menjadi bagian dari budaya pop. Dakwah bahkan sudah bukan melulu panggilan hati, tetapi sudah dianggap sebagai profesi yang tidak lagi sakral. Tak heran bila kemudian banyak yang berbondong-bondong ingin tampil sebagai dai, bukan karena semata ingin menyampaikan ajaran agama, tetapi karena iming-iming prospek ekonominya yang kian menjanjikan.
Dengan pergeseran itu, fungsi dakwah menjadi tereduksi. Sajiannya pun terjebak pada kemasan, bukan lagi pada isi. Yang utama ditonjolkan justru unsur tontonannya. Tuntunannya hanya menjadi pengisi antarwaktu saja. Kemampuan menghibur seorang dai dijadikan ukuran utama keberhasilan berdakwah.
Dakwah tidak lagi bermakna bagaimana menunjukkan masyarakat ke jalan yang sesuai dengan materi dakwah, tetapi ia lebih bermakna bagaimana memenuhi keinginan produser untuk mendapat rating tinggi atau parameter ekonomi lainnya.
Berdakwah seolah hanya keahlian menyampaikan kesalehan verbal yang patut dikomoditikan, tanpa ada label amanah ilahiah di belakangnya. Padahal, amanah inilah yang sebetulnya menuntut mereka untuk mempraktikkan materi dakwahnya dalam kesalehan aksional sebagai wujud pertanggungjawaban sosial.
Fenomena inilah yang kami sebut sebagai disorientasi dai. Mengapa, karena kegiatan dakwah yang dilakukan bukan untuk semata menyampaikan ajaran ilahi, tetapi justru menjadi batu loncatan ke kegiatan-kegiatan lain yang tak ada hubungannya dengan dakwah itu sendiri.
Lalu, disorientasi ini salah siapa? Menimpakan semuanya ke pundak para dai, tentu bukanlah sesuatu yang adil. Kalau mau jujur, sedikit-banyak ada andil masyarakat dalam hal ini sehingga tanpa sadar membentuk mereka menjadi seperti itu. Betapa tidak, mereka diundang untuk berdakwah bukan lantaran kesalehan yang melekat pada diri mereka sehingga membuat mereka layak memberi tausiah atau lantaran kedalaman keilmuan yang mereka punya, tetapi karena mereka lucu, masuk televisi, atau ngetop di YouTube.
Oleh karena itu, masalah seperti ini sebaiknya dijadikan momentum untuk memperbaiki dunia dakwah yang terlanjur lambat laun menjadi industri. Para dai diharapkan dapat mengubah strategi dakwahnya, dari yang semula mengutamakan kemasan menjadi mengutamakan isi.
Masyarakat juga harus segera menyadari bahwa saat mengikuti acara dakwah itu bukan untuk mencari hiburan atau lelucon, tetapi untuk menambah ilmu dan mendapat pencerahan baik secara moral maupun spiritual. Masyarakat harus diberi informasi bahwa yang terpenting adalah teladan, bukan omongannya. Dan, teladan itu hanya bisa kita ambil dari orang-orang yang betul-betul kita tahu kesehariannya. Karena, dakwah itu bukan acara dangdutan atau konser musik, yang hanya untuk hiburan sesaat. Dakwah adalah soal menanamkan nilai yang mengakar di kepala lalu bisa diamalkan di dunia nyata.
Di sinilah pentingnya segera mengembalikan dakwah ke fungsinya yang asasi agar nilai sakralitas ajaran agama tetap terjaga. Berdakwah bukanlah profesi profan. Umat butuh dai yang bisa membimbing dan membenahi masyarakat, setelah lebih dulu membimbing dan membenahi dirinya sendiri.
Bangsa ini menanti orang-orang yang mendakwahkan agama istikamah dan sepenuh hati. Masyarakat merindukan dai yang mampu memberi contoh terhadap apa yang disampaikan, bukan dai jarkoni (bisa berujar tapi tidak bisa ngelakoni). Dari merekalah bisa diharapkan permasalahan umat terbenahi. Atas latar belakang inilah, Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI) hadir di tengah-tengah umat agar menjadi jawaban bagi permasalahan umat dan menjadi jembatan antara dai dan objek dakwahnya.