Menu Tutup

Etika Membatalkan Undangan

ADDAI Online – Seorang dai sudah sepatutnya berusaha sekuat tenaga untuk bisa memenuhi undangan siapa pun yang mengundang untuk menyampaikan sesuatu di suatu acara.

Seorang dai sejatinya mesti menganut doktrin bahwa la nathlubu wa la narfudhu. Kita tidak mencari-cari untuk diundang dan berusaha tak menolak ketika diundang.

Undangan level langit dan level bumi (istilah di lingkungan sebagian dai), asal ada waktu dan memungkinkan tentu juga terkait apakah tema itu dikuasai atau tidak, seorang dai harus berusaha penuhi.

Ini ternyata bukan tanpa risiko. Godaan juga ada saja. Misal, setelah berkomitmen hadir di satu tempat yang level bumi, tiba-tiba ada tawaran dari yang level langit. Ini dilematis sekaligus ujian integritas seorang dai.

Karena untuk peak season seperti Ramadan, Hari Raya, atau PHBI, bahkan bisa dobel-dobel, bahkan tawaran bisa sampai 10 tempat lebih di satu waktu.

Di sinilah ujian yang sesungguhnya terjadi. Ia tinggalkan tempat yang ia sudah komitmen dan ambil yang lebih menggiurkan, atau tetap di situ menjaga komitmen.

Memang ada risikonya, apalagi bila bertemu dengan pengundang yang tak beretika sesuka hati membatalkan undangan tanpa bertanggung jawab secara moral dan material.

Maka, ketika tiba-tiba entah karena satu dan lain hal, undangan tersebut dibatalkan misal gegara kasus covid kemarin atau tiba-tiba pengundang memindahkan jadwal sepihak, maka acara tersebut batal begitu saja, tanpa ada konsekuensi apa-apa pada pengundangnya.

Paling banter hanya meminta maaf. Padahal yang diundang sudah menolak undangan acara di tempat lain yang kadang level acaranya lebih besar. Flyer juga sudah disebar. Pembatalannya pun kadang last minute.

Di sinilah perlunya adab pengundang. Bagaimanapun itu adalah kezaliman. Kezaliman yang mungkin dianggap biasa saja oleh sebagian orang yang tak punya kepekaan moral yang baik.

Bagaimanapun membatalkan undangan sepihak itu melanggar norma agama dan norma sosial. Dan yang lebih menyedihkannya lagi, yang begitu-begitu biasanya pengundangnya justru yang banyak minta ini dan itu.

Sebagian dai bahkan sudah punya rumus terkait ini. Kalau ada pengundang yang banyak minta ini-itu, kecenderungannya tak menghargai yang diundang, termasuk apresiasi materialnya.

Kembali ke soal adab membatalkan undangan. Seorang dai boleh saja menjadikan kejadian-kejadian pembatalan yang tak mengedepankan etika, maka ia boleh jadikan sebagai pertimbangan untuk selanjutnya mau atau tidak menerima undangan dari tempat yang pernah membatalkan tersebut.

Di sinilah pentingnya akhlak dan adab untuk saling menghargai dan menghormati. Terlebih dai adalah profesi mulia yang harus dijaga marwah dan martabatnya.

Dr. K.H. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum., Ketua Umum ADDAI dan Dosen FAH dan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

1 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *