Menu Tutup

Pelanggaran Hukum Ibu Pengusaha Warteg pada Razia Penyakit Masyarakat di Serang

DatDut.Com – Berita mengenai seorang ibu yang warungnya terjaring Satpol PP di Kota Serang, langsung menjadi viral di medsos. Ibu berkerudung yang terlihat menangis saat dagangannya dirampas oleh Satpol PP, membuat bumbu lain dari berita ini. Padahal berdasarkan hasil investigasi MUI Serang, ibu ini bukanlah pemilik warung makan kecil, tapi dia pengusaha warteg, karena dia punya 3 warung lain.

Lalu, secara latah insan medsos ramai-ramai menghujat Satpol PP yang melaksanakan tugasnya itu. Apa yang dilakukan Satpol itu kemudian dikait-kaitkan secara brutal dengan “penghormatan terhadap orang yang tidak berpuasa”.  Bahkan, banyak yang menyebut-nyebut soal kualitas puasa orang yang minta dihormati oleh orang yang tidak berpuasa.

Saya ingin melihat masalah ini dalam sudut pandang yang lebih jernih. Saya setuju bahwa kelakuan Satpol PP Kota Serang itu memang berlebihan, bahkan cenderung brutal. Namun, hanya menyalahkan Satpol PP saja yang notabene hanya melaksanakan tugas, karena memang ada Peraturan Daerah (Perda) setempat yang melarang berjualan di siang hari bulan Ramadan, tanpa menyalahkan ibu yang jelas-jelas melanggar peraturan daerah itu, suatu ironi juga.

Perda itu sendiri sudah berumur sekitar 7 tahun. Itu artinya ibu ini harusnya sudah tahu bahwa memang tidak boleh berjualan di bulan Ramadan. Ini lain cerita bila Perda ini baru pada masa sosialisasi. Dengan kata lain, ibu ini sudah tahu konsekuensi dari pelanggarannya.

Apalagi berdasarkan beberapa informasi valid kawan-kawan yang tinggal di Serang bahwa di kota tersebut termasuk restoran dan rumah makan besar dan bahkan yang franchise, juga tidak berani buka di siang hari.

Ada pertanyaan kecil yang juga perlu dijawab di sini. Benarkah ibu ini tak bisa berjualan sepanjang hari, lalu ia jatuh miskin karenanya? Faktanya Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat yang pada pasal 3 berisi sebagai berikut:

Setiap pengusaha restoran, rumah makan, atau warung dan pedagang makanan dilarang menyediakan tempat dan melayani orang yang menyantap makananan dan minuman pada siang hari selama bulan Ramadhan. 

Catat, ya, larangan berjualan pada Perda itu hanya di siang hari. Itu pun sore menjelang berbuka, larangan itu tak berlaku lagi. Malah di bulan puasa waktu jualan bisa lebih panjang, karena warung bisa buka hingga sahur.

Sekali lagi, saya menyampaikan ini bukan tidak berempati terhadap apa yang dialami ibu itu. Tapi ini lebih soal mental. Kalau soal berempati, pengemis-pengemis dan manusia gerobak itu juga butuh empati kita. Tapi Perda Pemda DKI tidak memberi ruang sama sekali kepada mereka, karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Terus jualan di siang hari bulan puasa tidak mengganggu ketertiban umum?

Para pengemis itu juga diangkut secara tidak manusiawi saat terjaring operasi Satpol PP. Terus, di mana empati kita pada mereka? Apalagi kita juga tahu bahwa para pengemis itu juga punya masalah mental, karena belakangan banyak ditemukan mereka justru bukan orang yang berkekurangan.

Sama halnya dengan para penjual makanan di siang hari bulan puasa. Ini bukan soal penurunan omset selama bulan puasa, tapi ternyata banyak di antaranya yang memang punya masalah mental terkait kerakusan. Karena faktanya, beberapa warung itu juga buka hingga sahur.

 

 

Baca Juga: