Menu Tutup

Pemahaman Salah tentang Asy’ariyah yang Meracuni Pikiran Orang Awam

DatDut.Com – Muktamar Ahlussunnah wal-Jama’ah yang diselenggarakan di Republik Chechnya, Agustus 2016 lalu, menegaskan bahwa Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah paham ahlussunnah wal jama’ah. Selengkapnya bisa baca di sini.

Helatan berskala internasional itu dihadiri 200-an ulama dari berbagai negara termasuk Grand Syaikh al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyib, Syekh Ali Jum’ah, ulama masyhur Hadlramaut, Habib Umar bin Hafidh dan hadir pula Habib Ali al-Jifri.

Penegasan itu seolah mengukuhkan hasil konferensi yang pernah diadakan di Yordania, Nopember 2004 yang menghasilkan sebuah risalah yang lazim disebut sebagai Risalah Amman.

Namun bagi sebagian kalangan, Asy’ariyah masih terdengar asing. Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan ketidakpahaman khalayak tentang mazhab ini di antaranya sebagai berikut:

1. Asy’ariyah adalah Ajaran Pendiri NU Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari

Mungkin karena memiliki sebutan yang sama dengan nama belakang Syekh Hasyim Asy’ari, mazhab Asy’ari disebut sebagai ajaran pendiri NU tersebut. Padahal faktanya Asy’ariyah dinisbatkan kepada Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, seorang ulama besar yang hidup pada abad ke-3/4 Hijriyah tepatnya pada 260 – 324 H (873- 935 M).

Tuh kan.. zaman Imam al-Asy’ari terpaut ratusan tahun dengan Syekh Hasyim Asy’ari (1292 – 1366 H / 1875 – 1947 M). Fakta lain adalah bahwa Syekh Hasyim Asy’ari adalah pengikut mazhab Asy’ari sehingga NU-pun mewarisi hal itu.

Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah seorang keturunan ahli Yaman, Abu Musa al-Asy’ari. Kakek dari kakek Abu al-Hasan itu adalah seorang sahabat Nabi yang pada masa Khalifah Umar bin Khaththab diangkat menjadi gubernur Bashrah dan pada masa Khalifah Utsman bin Affan diserahi amanah untuk menjadi Gubernur Kuffah.

Sebagian masa hidup imam al-Asy’ari dihabiskan menjadi seorang pengikut Mu’tazilah. Yakni setelah ibunya diperistri oleh seorang ulama Mu’tazilah, Abu Ali al-Juba’i, selepas ayahandanya meninggal dunia.

Fragmen hidup imam al-Asy’ari sebagai pengikut Mu’tazilah sampai menjadi pembela golongan itu berakhir saat usia beliau 40 tahun. Setelah masa itu, Imam al-Asy’ari menjadi pembela ajaran ahlussunnah terutama dalam menghadapi serangan pemikiran kaum Mu’tazilah.

2. Bukannya Mazhab yang Lestari hingga Kini itu Ada 4 (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah)?

Pembicaraan mengenai al-Asy’ari secara signifikan akan mengarahkan kita pada materi akidah. Berbeda dengan saat kita membahas madzahibul arba’ah di atas. Mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal adalah mazhab yang berkutat dengan masalah fiqih atau tata cara peribadatan seperti bersuci, shalat, zakat, haji, nikah, waris dan sejenisnya. Namun jika kita berbicara mengenai seluk beluk iman, tauhid, sifat-sifat ketuhanan dan sejenisnya, maka kita sedang membahas masalah akidah.

3. Asy’ariyah adalah Ahlussunnah, Apa Buktinya?

Untuk menjawab hal ini, saya akan menukil tulisan seorang ulama al-Azhar yang pernah berkhitmad sebagai Mufti Mesir pada 2003 – 2013, Syekh Ali Jum’ah. Buku dengan judul asli “A-Mutasyaddidun, Manhajuhum wa Munaqasyatu Ahammi Qadlayahum” itu sudah dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Menjawab Dakwah Kamu ‘Salafi’”. Berikut nukilannya:

Al-Subki juga berkata, “Para pengikut mazhab Hanafiyah, Syafi’iyyah, Malikiyyah dan beberapa pemuka Hanabilah dalam soal akidah semuanya mengikuti paham ahlusunnah wal jama’ah. Yaitu mengikuti agama Allah melalui jalan Syaikh al-Sunnah, Abu al-Hasan al-Asy’ari”.
Ia menambahkan, “Secara umum, akidah Asy’ari ini sama seperti yang terkandung dalam akidah Abu Ja’far al-Thahawi yang telah diterima oleh para ulama dan dijadikan sebagai akidah yang sah”

Imam Ibnu Abidin pernah berkata ketika menjelaskan soal perkataan ‘an mutaqadima : “Artinya apa yang kita yakini dalam perkara yang bukan furu’iyyah dan yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf tanpa taqlid kepada siapapun. Keyakinan tersebut adalah keyakinan yang selama ini dijalankan oleh kelompok ahlussunnah wal jama’ah. Mereka adalah kelompok Asy’ari dan al-Maturidi. Kedua kelompok ini saling bersepakat kecuali pada sedikit permasalahan yang mana sebagian ulama menyebutnya sebagai khilaf lafdzi (pertentangan pada lafaz saja).

Itu pernyataan dari beberapa ulama terdahulu tentang Asy’ariyah dan Maturidiyah.

4. Kenapa Disebut sebagai Pengikut Asy’ari, bukan Rasulullah?

Kembali saya akan menulis ulang apa yang disampaikan syekh Ali Jum’ah dalam “Menjawab Dakwah Kamu ‘Salafi’”.

Di tangannya (imam Abu al-Hasan al-Asy’ari), mazhab tersebut semakin argumentatip dan jelas. Ia tidak membuat sebuah pendapat baru, bahkan tidak pula mazhab baru. Bandingkan ini dengan mazhab ahli Madinah yang dinisbatkan kepada imam Malik, sampai orang yang mengikuti mazhab Ahlul Madinah disebut sebagai Maliki (pengikut imam Malik).

Imam Malik bukan pendiri mazhab itu, namun ia sekedar menjalankan ajaran orang-orang sebelumnya dan banyak yang mengikuti langkahnya. Ketika mazhab lebih kuat di tangannya, maka akhirnya mazhab itu dinisbatkan kepadanya. Apa yang dilakukan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari tidak ada bedanya dengan yang dilakukan oleh Imam Malik.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka kami katakan “Sesungguhnya akidah Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam dan para sahabatnya adalah akidah Asy’ari”. Ini merupakan pengakuan tehadap realitas yang ada, seperti halnya saat dikatakan bahwa kebanyakan bacaan (al-Quran) Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam itu seperti bacaan Nafi’, padahal Nafi’ sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah.

Sejatinya Nafi’-lah yang membaca seperti bacaannya Rasulullah, bukan sebaliknya. Akan tetapi saat Nafi’ berhasil mengumpulkan bacaan tersebut, maka dinisbatkanlah bacaan tu kepadanya. Dengan demikian, maka sah pula jika Anda mengatakan, “Sesungguhnya akidah Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam dan para sahabatnya adalah akidah Asy’ari”.

5. Yang Harus Kita Ikuti adalah Al-Quran dan Hadits, bukan Imam al-Asy’ari

Mazhab adalah sebuah jalan yang telah dirintis oleh para ulama terdahulu yang mu’tabar otoritatif dalam keilmuannya. Kecemerlangan akal yang dianugerahkan Allah mengantarkan mereka pada kedudukan yang tinggi sebagai mujtahid. Bagi

mereka inilah, menggali hukum dari al-Quran dan Hadits menjadi hal yang tidak mustahil. Dengan tingkat keilmuan seperti itu, wajarlah jutaan orang bermakmum kepada mereka. Bukan dari kalangan awam saja, namun juga orang-orang yang tinggi ilmu alias berkapasitas sebagai ulama.

Jadi jawaban pertanyaan di atas adalah kita tidak harus mengikuti jalan para ulama terdahulu, dalam bidang apa pun, akidah, fiqih dan sebagainya, asalkan kita memiliki kemampuan seperti mereka dalam bidang agama. Logis, bukan? Semoga tidak ada yang salah persepsi lagi jika disebutkan kepada mereka tentang Asy’ariyah.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *