Menu Tutup

Kontra HTI yang Kontra Produktif

DatDut.Com – “Wah,ini bisa jadi sebuah katastropi,” gumam Badrun selepas Karni Ilyas menutup ILC malam itu. Sejak awal, dia melihat komposisi narasumber yang tak seimbang dalam pembahasan perlu atau tidaknya reuni 212 itu.

Mereka yang proreuni diwakili oleh Muhammad al-Khaththath dan Felix Siauw yang di mata Badrun (dan banyak orang lain) merepresentasikan spirit HTI.

Didampingi oleh Egy Sudjana dan 2 politikus senayan, Fadli Zon dan Fahri Hamzah, menjadikan komposisi itu sebuah formasi yang melumpuhkan bagi sosok pegiat media sosial macam Abu Janda al Boliwudi dan Denny Siregar.

Ditambah Aan Anshori, ketiga nama itu sudah bukan nama asing di telinga para pendukung aksi 212. Dan tentunya terkenal dengan reputasi negatifnya. Nama ke-3 ini dulu pernah dikait-kaitnya dengan golongan transgender.

Di sudut yang hampir berdekatan ada sosok Ketua PBNU K.H. Marsudi Syuhud. Dengan gaya santainya yang khas, kyai ini menyuguhkan komentar yang jika ditelaah berada pada posisi yang sama dengan Abu Janda, Denny Siregar, dan Aan Anshori. Keempatnya concern terhadap NKRI yang bisa dikatakan menentang eksistensi dan propaganda khilafah ala HTI.

Sebagai penyeimbang, pada penghujung acara memang diketengahkan teleconference Karni Ilyas dengan Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta, Prof. Mahfud MD.

Ungkapan lugas Prof. Mahfud yang ‘menantang’ para pengusung ide khilafah seolah memberikan support kepada penentang HTI meskipun dari mulut beliau juga meluncur kritikan kepada Abu Janda yang terlalu sembrono dalam menanggapi argumen Felix Siauw.

Selama ini, menurut Badrun, perlawanan terhadap HTI sering kali kurang greget dan kurang mengena karena sebatas menyandarkan pada produk konstitusi belaka. “Kontra HTI Yang Kontra produktif”, dia menyebutnya dengan ungkapan itu.

“Sekarang ini orang-orang melihat antikhilafah sebagai antiIslam. Mereka yang nggak sependapat dengan HTI otomatis dianggap melawan syariat karena mereka memahami khilafah yang diperjuangkan HTI itu bagian dari syariat yang wajib ditegakkan. Padahal bisa jadi mereka tahu khilafah itu ya sebatas kata khilafah itu sendiri… dan bisa jadi juga baru-baru ini saja,” dia bertutur kepada istrinya yang sembari tadi menemaninya di depan TV.

Dia ingin menggambarkan bahwa kebenaran yang diyakini oleh seseorang amat bergantung pada santernya propaganda yang dihembuskan. Kekeliruan akan menjadi sebuah kebenaran jika dilantunkan berulang-ulang, begitu kira-kira. Apalagi sasarannya adalah orang yang lemah dalam pengetahuan dan tak punya sikap kritis, latah dan lagi senang-senangnya menentang pemerintah lewat media sosial.

Komentarnya berlanjut, “… sayangnya perlawanan terhadap ide anak cucu ideologis Syekh Taqiyuddin al-Nabhani itu pada umumnya sebatas pada alasan bahwa HTI melanggar konstitusi negara, semisal menolak Pancasila, tidak menerima NKRI dan sejenisnya. Yang semua itu akan dengan mudah dimentahkan para propagandis HTI dan pembelanya dengan logika mudah: ‘Mosok aturan Tuhan kok dikalahkan oleh konstitusi manusia. Opo tumon?’ Dalil-dalil semacam itu akan menghasilkan sebuah sikap kontra HTI yang kontra produktif.

Itulah sebabnya orang-orang di sekeliling kita harus disadarkan bahwa penyandaran argumen HTI kepada dalil agama dapat dibantah dengan argumen lain dari dalil yang sama. Yang artinya, proyek khilafah ala HTI adalah sebuah diskursus yang berada dalam ranah yang bisa diperdebatkan.”

“Ibarat kamu yang Subuhannya nggak pakai qunut, tentu bisa menyajikan dalil untuk berdiskusi dengan orang yang pakai qunut. Karena kamu punya dalil dan mereka pun punya dalil, maka orang lain akan melihat hal itu sebagai perselisihan pendapat antar sesama muslim. Dan tentu kamu nggak harus memaksa lawan bicaramu untuk nggak qunut juga to, sembari menuduh mereka ahli bid’ah,” lanjutnya.

Istrinya cuma manggut-manggut. Dikiranya sudah selesai ngomong, ternyata suaminya masih melanjutkan kata-katanya.

“Jadi menurutku, NU yang saat ini paling kentara dalam penentangannya terhadap HTI, harus menempuh jalan yang lebih worldwide. Artinya bukan sekedar mengandalkan buku-buku kontra HTI karangan Kyai Idrus Ramli, Makmun Rasyid, atau Dr.Ainur Rafiq, namun kudu lebih progresif dalam menyeru kalangan awam lewat media yang lebih bisa mereka jangkau. Sukur-sukur melalui TV nasional. Logis kan?

“He eh”, jawab istrinya sambil menguap.

 

 

 

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *