Menu Tutup

Hadeuh! Ini 5 Dalil Syiah Membolehkan Nikah Mutah

Datdut.Com – Kelompok Syiah di Indonesia semakin menunjukkan taringnya dalam merespon balik kritikan-kritikan yang ditunjukkan kepada mereka. Salah satu anggota MUI daerah menerbitkan buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia pada 2013 yang bukan hanya mengkritik Syiah, tapi juga menyesatkannya.

Tim Ahlulbait Indonesia (ABI) menerbitkan buku Syiah Menurut Syiah untuk mengklarifikasi beberapa tuduhan miring terhadap Syiah. Nikah mutah (atau biasa dibaca mut’ah) termasuk salah satu tema yang dibahas dalam buku itu.

Kalian tau enggak, apa itu nikah mut’ah? Nikah kontrak, mas dan mbak. Jadi, laki-laki menikahi seorang wanita hanya dalam waktu terbatas, mungkin sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan seterusnya. Abis itu, udah deh bukan suami istri lagi. Mbak mau nikah kayak gitu?

Saya pribadi kalo jadi wanita enggak mau dinikah mut’ah, karena salah satu tujuan dari nikah itu kan bukan sekedar berhubungan seks dengan istri dan memiliki keturunan saja, bukan? Tetapi, membangun rumah tangga yang langgeng, damai, dan tentram.

Kalo nikah kontrak kan enggak begitu! Walaupun demikian, mereka punya 5 dalil yang membolehkan nikah mut’ah. Saya kutipin dari buku Syiah Menurut Syiah, ya.

1. Dalil Alquran

Ayat Alquran yang dijadikan landasan oleh Syiah di antaranya adalah surat Al-Nisâ’ [4]: 24). Mereka mengutip Al-Khazin dalam menjelaskan ayat tersebut.

Menurut sebagian ulama, kata Al-Khazin, hukum yang terkandung dalam ayat tersebut adalah nikah mut’ah, yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sebagaimana kesepakatan antara kedua belah pihak. Jika waktunya telah habis, maka wanita tersebut tertalak dari suaminya secara otomatis (hlm 166).

2. Dalil Hadis

Nabi memang pernah membolehkan nikah mut’ah sebagaimana terekam dalam kitab-kitab hadis. Di antaranya hadis yang diriwayatkan dari Jabir dan Salamah bin Al-Akwa’ yang berkata, “Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah (utusan) Rasulullah Saw yang berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengizinkan kalian untuk nikah mut’ah, maka silakan lakukanlah.’” (hlm 168).

3. Pendapat Sahabat

Menurut Tim ABI, pelarangan nikah mut’ah adalah ijtihad sahabat Umar pribadi yang dapat dibantah oleh pendapat sahabat lain. Mereka memperkuat kebolehan nikah mut’ah dengan pendapat sahabat Ali yang dikutip oleh Al-Razi dari Tafsir Thabari.

Begini pendapat sahabat Ali, “Seandainya Umar tidak melarang nikkah mut’ah untuk umat Islam, pastilah tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang sesat.” (hlm 169)

4. Pendapat Ulama

Mereka mengutip pendapat Muhamad Al-Sarkhasi, ulama kelahiran Khurasan, dalam karyanya Al-Mabsûth yang mengutip pendapat Imam Malik berdasarkan pada pernyataan Ibnu ‘Abbas yang merujuk (QS. Al-Nisâ’ [4] 24). Tapi, mereka jujur menyatakan bahwa Al-Sarkhasi menganggap nikah mut’ah tidak boleh, alias tidak sah (hlm 177)

5. Nikah Kontrak Sama Seperti Nikah Pada Umumnya

Menurut ABI ada beberapa persamaan antara nikah mut’ah dengan nikah formal. Di antara persamaanya adalah terkait status anak, mahar, mahram, dan adanya idah (hlm 172-174).

Perbedaan yang sangat mencolok antara nikah mut’ah dan nikah formal adalah terkait jangka waktu tertentu yang ditetapkan pada saat ijab kabul dalam nikah mut’ah, sementara hal tersebut tidak terdapat dalam nikah formal.

 

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *