Menu Tutup

Terbitnya Perpres dan Tenggelamnya Permendikbud Soal FDS

DatDut.Com – Peraturan Presiden no. 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (Perpres PPK) diteken hari ini, 6 September 2017.

Didampingi Ketua Umum PBNU K.H. Said Aqil Siradj, sejumlah ulama, Mendikbud Muhadjir Effendi, Menkumham Yasonna Laoly dan Mensesneg Pratikno, Presiden Jokowi mengatakan bahwa Perpres tersebut diharapkan dapat menyelesaikan perbedaan pendapat, dinamika dan penolakan terhadap kebijakan mengenai sekolah yang terjadi sebelumnya.

Dengan diterbitkannya Perpres tersebut, maka Permendikbud no. 23 tahun  2017 yang sebelumnya menimbukan polemik hebat termasuk penolakan dari NU otomatis batal.

Perpres PPK tidak memuat kebijakan delapan jam kegiatan belajar mengajar. Ketentuan hari sekolah , sebagaimana dijabarkan dalam pasal 9, diserahkan pada masing-masing satuan pendidikan bersama-sama dengan Komite Sekolah/Madrasah.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penentuannya adalah ketercukupan pendidik dan tenaga kependidikan, ketersediaan sarana dan prasarana, kearifan lokal serta pendapat tokoh masyarakat atau tokoh agama di luar Komite Sekolah.

Salah Paham Dukungan NU terhadap Perpres dan Penolakannya terhadap Five Days School

Ada kesalahpahaman dalam menanggapi dukungan NU terhadap Perpres akibat penyampaian berita yang tidak tepat. Di antaranya adalah pemberitaan situs viva.co.id yang mengetengahkan judul “PBNU Akhirnya Dukung Kebijakan Full Day School”.

Menurut Ketua PBNU, Robikin Emhas, judul tersebut menyesatkan karena mengarahkan pembaca pada pemahaman bahwa PBNU berubah haluan 180% dari yang sebelumnya menolak Five Days School (FDS) menjadi pendukung FDS. Akibatnya, Kiai Said pun menjadi bulan-bulanan jari-jari usil netizen.

Padahal dukungan PBNU saat ini diarahkan kepada Perpres yang di dalamnya tidak memuat kewajiban bagi sekolah untuk mengadakan proses belajar mengajar lima hari.

Kesalahpahaman serupa terjadi pula saat NU menolak FDS.  Sebagian pendukung FDS mengatakan bahwa anak-anak mereka fine-fine saja meskipun harus menjalani sekolah hingga sore hari.

Sebagian lain mengatakan bahwa anak yang mengikuti FDS memiliki keunggulan dibandingkan dengan anak-anak yang hanya menempuh jalur pendidikan regular. Seolah mereka hendak mengatakan bahwa NU telah salah langkah karena menolak bergabung dalam proses memajukan pendidikan anak negeri.

Namun hal itu justru menunjukkan kesalahan mereka dalam memahami esensi penolakan NU yakni potensi tersingkirkan madrasah-madrasah diniyah yang aktip pada sore hari karena sekolah yang biasanya mengadakan jam belajar hingga pukul 1 siang dipaksa mengadakan pelajaran hingga sore hari.

Jadi, bagi orang tua yang memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah yang pada awalnya sudah menerapkan konsep FDS, sebenarnya tidak perlu mempermasalahkan penolakan itu.

Penolakan FDS = NU kontra Muhammadiyah [?]

Respons berlebihan lain adalah anggapan bahwa isyu FDS merupakan personifikasi NU kontra Muhammadiyah.

Saya sempat kaget dengan materi frontal yang disajikan oleh sebuah situs yang mengkritik keras tindakan sebagian warga Muhammadiyah yang tidak sepakat dengan penolakan NU.

Hal itu, meskipun bertujuan untuk meluruskan berita yang terdistorsi, akan lebih memanaskan situasi dan memperbesar friksi antara warga NU dan Muhammdiyah.

Potensi seperti itu sebenarnya sudah disadari benar oleh Kiai Said. “Bukan masalah NU dan Muhammadiyah, seandainya menterinya NU pun, seandainya menterinya kiai lah, saya lawan. Ini bukan masalah NU dan Muhammadiyah,” demikian ungkapnya seperti dilansir Republika Online, beberapa waktu sebelumnya..

Pikiran yang ada di benak orang kemudian menjalar pada kecurigaan bahwa ada usaha pihak-pihak tertentu entah Plot Barat atau Plot Timur untuk membelah umat Islam dengan menempatkan 2 organisasi Islam terbesar di Indonesia di posisi yang berhadapan.

Jika memang tema itu yang diyakini, apakah hal itu bukan berarti menempatkan Muhammadiyah sebagai agen pemecah belah karena mendukung kebijakan kontroversial itu? Karena beredar pula kabar bahwa sebenarnya FDS itu adalah usulan presiden.

Atau sebaliknya, menganggap NU yang menolaknya sebagai pihak yang mengikuti alur musuh Islam dengan mencari-cari kesalahan kader Muhammadiyah dan mem-blow up-nya sedemikian rupa sehingga terjadi pergolakan antar umat Islam?

Saya pikir, tidak ada dari mereka yang berpikir jernih akan memilih salah satu opsi di atas. NU punya alasan untuk menentang dan Muhammadiyah pun memiliki alasan untuk mendukung. Tidak ada dari keduanya yang mengikuti plot-plot yang disebutkan itu.

Politisasi Penolakan Permendikbud

Langkah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) di DPR dalam menginisiasi Rancangan Undang-undang (RUU) pendidikan pesantren dan madrasah disebut-sebut menjadi salah satu pendorong penolakan yang masif dari kalangan NU terhadap FDS.

“Perhatian terhadap pesantren belum maksimal. Padahal, sejarah mencatat madrasah dan pondok pesantren sangat berperan dalam pendidikan Islam di masa penjajahan. Apalagi, para santri turut serta membantu perjuangan Indonesia melawan penjajah,” ungkap Ketum PKB, Muhaimain Iskandar saat launching RUU pesantren dan madrasah di Kantor PBNU, Senin 10 Oktober 2016 sebagaimnaa dikutip situs resmi PKB.

Tak pelak hal itu dinilai sebagai bagian dari manuver politik NU melalui PKB.

Menilai hal itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakkir, mengatakan bahwa penolakan itu lahir dari pertimbangan kemanfaatan dan kemudharatan bagi umatnya bukan politik pragmatis yang selama ini dikesankan.

Dan faktanya,  NU berdiri di depan 76.000 madrasah diniyah yang terancam keberadaannya jika FDS dipaksakan untuk berjalan.

Akhir kata, mari bijak mengambil sikap. Tidak perlu terlalu bernafsu menghujat satu sama lain, karena dunia media sosial sudah terlalu penat dengan berbagai macam tuduhan, berita palsu, umpatan dan konten-konten negatif lainnya.

Setuju?

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *