Menu Tutup

Ngaco Anggap Salawat Nariyah sebagai Pengikut Neraka! Baca Nih Bantahan dan Penjelasannya

DatDut.Com – Salawat paling tenar setelah Salawat Badar adalah Salawat Nariyah. Pengamalannya pun paling tenar karena sering digunakan wirid sebagi wasilah agar doa lebih cepat terkabul. Terkait namanya, banyak sumber menjelaskan dengan berbagai versi. Tentang siapa penyusun salawat nariyah juga ada beberapa versi.

Syekh Muhammad Haqqi an-Nazili dalam kitab Khazinah al-Asrar Jaliyah al-Adzkar (hlm. 167-168) menjelaskan bahwa Salawat Nariyah itu sebenarnya bernama Salawat Tafrijiyah al-Qurtubiyah. Penduduk Maroko menyebutnya Nariyah karena cepatnya hajat terkabul ketika mereka mengamalkan salawat ini. Diibaratkan secepat api melahap jerami.

Penulis kitab tersebut juga meriwayatkan sanad ijazah Salawat Nariyah dari Syekh Muhammad al-Tunisi, lalu dari Syekh Sayid Zain Makki, dan dari Syekh Muhammad as-Sanusi. Konon, penulisnya bernama Syekh Abu Ishaq Ibrahim al-Tazy. Penisbatan kepada Qurthubi karena ia paling banyak meriwayatkan keutamaan Salawat Tafrijiyyah atau Nariyah ini.

Terkait isi, Salawat Nariyah memuat dua hal yang menjadi sorotan sebagian orang yang vokal membidahkannya, yaitu sanjungan kepada Nabi Muhammad Saw. yang dianggap berlebihan. Selain itu, salawat tersebut dianggap bidah karena terdapat muatan tawasul Berikut ini ulasan 5 hal penting terkait Salawat Nariyah.

[nextpage title=”1. Salawat Nariyah sebagai Tawasul”]

1. Salawat Nariyah sebagai Tawasul

Bila kata “tanhallu bihi al-‘uqadu… dst” (Dengannya terlepaslah segala ikatan, hilanglah segala kesusahan, banyak hajat terpenuhi, tercapai banyak hal yang diidamkan, tercapai khusnul hatimah. Mendung diminta mencurahkan hujan dengan wajahnya yang mulia) dipandang sebagi tawasul, maka tawasul dengan orang salih yang telah wafat jelas kebolehannya (Baca: 5 Ulama yang Pernah Tawasul di Kuburan).

Dalam hadis riwayat Utsman bin Hunaif, Nabi memerintahkan seorang tunanetra yang meminta kesembuhan agar salat lalu berdoa dengan redaksi tawasul yang memuat panggilan kepada Nabi. Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama semisal Ahmad bin Hambal, Abd bin Humaid, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Sunni, Ibnu Majah dan lain-lain.

Dalam al-Mu’jam as-Shaghir, diriwayatkan bahwa setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, Utsman bin Hunaif mengajarkan doa itu kepada seseorang yang mempunyai keperluan kepada Khalifah Utsman bin Affan. Inilah bukti bolehnya bertawasul dengan orang wafat. Kalau memang syirik, niscaya tidak akan diajarkan setelah wafatnya Rasulullah Saw.

[nextpage title=”2. Sanjungan Pertama: Pelepas Kesulitan Penghilang Kesengsaraan”]

2. Sanjungan Pertama: Pelepas Kesulitan Penghilang Kesengsaraan

Selanjutnya, bila kata-kata di atas dilihat sebagai sanjungan, itu pun tidaklah berlebihan (mengkultuskan). Tetapi sesuai dengan apa yang terjadi pada diri Rasulullah Saw. sendiri. Misalnya, beliau mengajari tawasul kepada orang buta dan kemudian orang itu sembuh.

Mata Qatadah bin Nu’man terluka ketika Perang Badar hingga korneanya keluar. Para sahabat hendak memutus kornea itu. Ia lalu bertanya kepada Rasulullah Saw. Nabi menjawab, “Jangan dipotong!” Lalu Rasulullah mendorong biji mata Qatadah bin Nu’man ke tempatnya semula. Seketika mata Qatadah sehat seakan belum pernah terluka (HR Abu Ya’la).

Dalam kitab tersebut, Abu Ya’la juga meriwayatkan kejadian yang sama pada Abu Dzar. Saat Perang Uhud salah satu matanya terluka. Lalu, Nabi meludahi mata yang luka itu. Akhirnya mata yang diludahi tadi menjadi mata tersehat Abu Dzar. Kalau demikian faktanya, apakah berlebihan jika kita sanjung Rasulullah Saw. dengan mengatakan “Dengan Nabi terlepaslah segala kesulitan, dan terbuka segala kesengsaraan”?

[nextpage title=”3. Sanjungan Kedua: Terpenuhinya Banyak Hajat dan Tercapai Keinginan”]

3. Sanjungan Kedua: Terpenuhinya Banyak Hajat dan Tercapai Keinginan

Abu Hurairah mengeluh kepada Nabi Saw. Abu Hurairah banyak mendengar hadis Nabi tetapi mudah lupa. Rasulullah bersabda, “Bentangkan selendangmu.” Lalu, Abu Hurairah membentangkan selendangnya dan Nabi mengambil udara dengan tangannya dan meletakkannya pada selendang tersebut kemudian bersabda, “Lipatlah selendangmu!” Lalu, Abu Hurairah melipat selendangnya. “Sesudah peristiwa itu saya tidak pernah mengalami lupa,” ucap Abu Hurairah (HR Bukhari)

Bukankah keinginan dan hajat Abu Hurairah terwujud dengan bantuan Rasulullah. Lalu berlebihankan jika kita katakan ‘dengannya terpenuhilah banyak hajat dan tercapailah banyak keinginan’?

[nextpage title=”4. Sanjungan Ketiga: Tercapainya Khusnul Khatimah”]

4. Sanjungan Ketiga: Tercapainya Khusnul Khatimah

Nabi berdoa, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau sukai ini. Yaitu Abu Jahal atau Umar bin Khatab”. Doa Nabi terkabulkan dan Umar bin Khatab yang dahulunya menjadi musuh terkuat masuk Islam sehingga menjadi benteng terkuat Islam (HR at-Tirmidzi).

Bukankah Umar bin Khatab meraih kebaikan di penghujung umur, husnulkhatimah, atas berkat doa Nabi? Masih banyak orang-orang yang akhirnya menjadi Muslim. Sebagai Rasul yang mengajak ke jalan kebenaran, tidaklah berlebihan jika dikatakan dengan beliau tercapailah khusnul khatimah.

[nextpage title=”5. Sanjungan Keempat: Hujan Diturunkan Karena Kemuliaan Wajahnya”]

5. Sanjungan Keempat: Hujan Diturunkan Karena Kemuliaan Wajahnya

Seorang lelaki datang ke hadapan Rasulullah Saw. saat khutbah Jumat seraya berkata, “Ya Rasulallah, banyak hewan ternak mati, jalan-jalan terputus. Berdoalah agar Allah menolong kami.” Nabi lantas berdoa dan hujan pun turun selama enam hari tanpa putus.

Pada Jumat selanjutnya, lelaki itu kembali menghadap Rasulullah yang sedang khutbah. Ia berkata, “Ya Rasulallah, banyak harta rusak, jalan terputus, doakan agar Allah menolong kami.” Rasulullah kembali berdoa dan hujan pun reda seketika (HR Bukhari).

Umar bin Hamzah berkata, Salim telah menceritakan padaku dari ayahnya: “Kadang aku mengingat seorang penyair seraya kupandang wajah Nabi Saw. yang sedang memohon hujan. Maka beliau tidak turun sampai talang mengalirkan air. (yaitu syair) Rambut yang memutih (menyaksikan); mendung diminta menurunkan hujan dengan wajahnya * dialah penyantun anak-anak yatim juga pelindung para janda. (HR Bukhari).

Ibnu Umar juga menyitir syair di atas. Syair itu adalah gubahan Abu Thalib, paman Nabi. Nampaknya dari sinilah cuplikan kata “wa yustasqal ghamamu biwajhihi al-karimi” dalam Salawat Nariyah. Kita lihat bahwa Ibnu Umar saja tidak menganggap ungkapan dalam sya’ir itu sebagai bentuk kesyirikan (HR Bukhari). Dari lima polemik Salawat Nariyah ini, jelaslah sudah bahwa Salawat Nariyah sama sekali tidak mengandung unsur syirik. Wallahu a’lamShallu ala Nabi Muhammad!

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *