Menu Tutup

Cara Orangtua Dulu Mengajarkan Anaknya Mengenal Agama

DatDut.Com – Setiap orang memiliki pengalaman di masa kecil yang tentunya beragam. Begitu juga pengalaman belajar agama mereka. Khususnya orang-orang di pedalaman desa yang pendidikan agamanya terkadang tidak lebih banyak dari mereka yang di luar desa. Untuk sekolah saja sulit, terkadanng hanya sampai tingkat dasar. Seterusnya ada yang hanya berkebun, membantu orangtuanya di desa, atau merantau ke kota.

Masing-masing orangtua memiliki caranya sendiri untuk mengajarkan agama pada anaknya. Metode pendidikannya pun terkadang alami, tidak ada perencanaan maupun metode, tentunya dengan penyampaian yang sangat simple, namun menyentuh.

Mereka lebih menekankan nilai-nilai perilaku keagamaan itu sendiri. Sederhananya mereka mengajarkan agama tanpa menyebutkan sumber maupun dalil alquran, apalagi hadis. Hanya nilai dan aplikasinya saja yang diadopsi, dan ini adalah substansi agama sesungguhnya, yaitu praktek dan pengamalan.

Ketika para orangtua dahulu melihat anak-anaknya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma agama, mereka langsung menegurnya, dan menasihatinya dengan ‘perkataan’ yang memang bukan alquran ataupun hadis, namun substansi dan urgensinya sama.

Contoh saja ketika minum dalam keadaan duduk, maka orangtua langsung menegur sekaligus menasihati untuk duduk ketika minum. Saat masih kecil, hal tersebut langsung saya telan mentah-mentah, namun seiring berjalannya waktu, jenjang pendidikan semakin meningkat, ngaji beberapa kitab dan menemukan hadits Nabi Saw., “Janganlah salah seorang diantara kalian minum sambil berdiri.”

Saya pun langsung teringat dengan beberapa nasihat orantua ketika kecil dulu. Mereka telah mengajarkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada umatnya. Meskipun ditemukan dalam hadis lain bahwa Nabi pun pernah minum dalam keadaan berdiri, namun tetap minum sambil berdiri adalah makruh.

Misal lainnya adalah menghormati guru. Para orangtua sangat menekankan sekali kepada anak-anaknya untuk menghormati guru. Bagi sebagian orang, yang keluarganya berlatar belakang bukan dari kalangan santri maupun orang yang taat beragama, menghormati guru belum menjadi anggapan yang urgen sekali, namun para orangtualah yang mengajarkannya.

Jika ingin pergi bertamu ke rumah guru, tak tanggung-tanggung mereka menitipkan sesuatu untuk diberikan kepada guru dari anaknya, entah uang maupun buah-buahan dan sayur hasil panen yang masih menumpuk di dapur. Bukankah hal di atas adalah ajaran agama yang berdasarkan Alquran dan hadis.

Dalam mengutarakan suatu hukum, menceramahi orang atau berfatwa, termasuk salah satu aktivitas yang vital bagi sebagian orang tua. Mereka khawatir anak-anaknya salah dalam berbicara, maka mereka menganjurkan anak-anaknya untuk diam atau tidak usah menjawab jika menemukan perkara yang belum diketahuinya.

Dengan larangan dan nasihat yang sederhana, “Nak, kalo nggak tau ya ndak usah ngomong”. Jika merujuk kepada Alquran, di sana terdapat ayat:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya,” (QS Al-Isra: 36).

Jika ditinjau dari metodenya, ada titik kesamaan antara metode orangtua megajar dan dakwah wali songo, keduanya mengajarkan agama islam dengan sederhana, melalui pendekatan yang tidak rumit.

Bisa dibilang, perkataan mereka itu Ijaz. Seperti dalam ilmu balaghoh, ijaz qoshr adalah penyampaian maksud dengan ungkapan pendek, namun mengandung banyak makna.

Sedikit cerita yang saya dapatkan dari bapak saya tentang tasawuf, lagi-lagi tentang orangtua dulu. Suatu hari, bapak saya menemukan buku yang tergeletak di kamar rumahnya. Tatkala beliau ingin mengambilnya, tiba-tiba datang Ibunya dan menghampirinya sambil berkata ,“Ulah maca eta buku, kin upami aya manuk bade ngeumam pare teu digebah“(jangan baca buku itu, nanti kalau ada burung makan padi, nggak kamu usir).

Karena keluarga saya dari kalangan petani, dan tentunya burung-burung yang suka hinggap di sawah untuk memakan padi dianggap sebagai hama, sedangkan jika membaca kitab tasawuf, menurut nenek saya, akan menimbulkan rasa bahwa burung yang makan padi itu memang sedang memakan rezekinya dan tidak boleh mengganggunya.

Zaman demi zaman telah berubah. Kini metode mengajar dan mendidik pun semakin maju. Tentunya ajaran agama lebih mudah diakses, dengan bermodalkan ponsel saja sudah cukup. Tentunya hal demikian berimbas pula kepada perkembangan anak di masa sekarang dan yang akan datang.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *