Menu Tutup

Ini Makna “Khilafah” dalam Al-Qur’an dan Hadis

DatDut.Com – Secara morfologis, khilafah merupakan bentuk infinitif (mashdar) dari kata khalafa. Sedangkan dalam tinjauan leksikografi, kata khalafa diberikan beberapa arti. Ada yang mengartikannya sebagai seseorang yang datang berikutnya (Lisan al-Arab, 9:89).

Ada pula yang mengartikannya sebagai seseorang yang menempati posisi orang lain (Mu’jam Mufradat al-Qur’an, 157). Ada yang lebih tegas lagi menyebutkan bahwa kedatangan orang itu telah berarti sebagai pengganti (Taj al-Arus, 246).

Ibn al-Atsir mengatakan bahwa kata khalafa bisa dibaca dalam dua versi, dengan menfathahkan lam (khalafa) dan mensukunkan lam (khalfu). Keduanya sama-sama berarti setiap orang yang datang setelah orang yang berlalu.

Bedanya jika dibaca dengan menfathahkan lam berarti sebagai pengganti yang baik, sedangkan jika dibaca dengan mensukunkan lam berarti sebagai pengganti yang tidak baik (Taj al-Arus, 247).

Al-Raghib al-Ashfihani mengartikan khilafah sebagai pergantian kepemimpinan seseorang dikarenakan yang bersangkutan tidak berada ditempat, atau telah meninggal dunia, atau ia tidak mampu lagi untuk memimpin, atau untuk memberikan kesempatan kepada yang lebih berhak (Mu’jam Mufradat al-Qur’an, 157).

Sedangkan khalifah, Muhammad Murtadha al-Husain al-Zabidi mengartikan sebagai penguasa tertinggi untuk keseluruhan dunia Islam yang menggantikan posisi penguasa sebelumnya, dengan melaksanakan tugas-tugasnya (Taj al-Arus, 264).

Derivasi kata khilafah yang terdapat dalam al-Qur’an semuanya berjumlah 127 ayat (Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, 238-241). Beberapa kata yang menonjol dalam tema ini, antara lain, kata khalifah, khala’if, khulafa’.

Sedangkan kata khilafah sendiri tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Kata khalifah terdapat pada dua tempat (2:30; 38:26). Kata khala’if disebutkan dalam empat ayat (6:165; 10:13; 10:73; 35:39). Dan kata khulafa’ terdapat di tiga tempat (7:69; 7:74; 27:63).

Dalam Hadis tentu jumlahnya jauh lebih besar. Penelitian sekelompok orientalis dengan editor A.J. Wenschink terhadap kata khilafah berikut derivasi-derivasinya yang terdapat dalam al-kutub al-tis’ah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi Daud, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Al-Muwattha’, Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Darimi) saja, ditemukan ratusan kata (Al-Mu’jam al-Mufahras fi Alfazh al-Hadits al-Syarif, 2:70-71).

Seperti dalam al-Qur’an, ada beberapa kata yang menonjol dan relevan dengan tulisan ini, antara lain, khalifah, khulafa’, khalifatain, khilafah.

Kata khilafah ditemukan lebih dari 40 Hadis. Kata khulafa’ (bentuk plural) disebutkan di 11 Hadis. Kata khalifatain (bentuk dual) ditemukan di tiga tempat. Sedangkan bentuk tunggalnya terdapat di sekitar 68 Hadis.

Semua kata di atas berikut derivasinya yang terdapat dalam al-Qur’an dan beberapa hadis Nabi di atas tidak semuanya dapat diartikan mempunyai keterkaitan dengan otoritas politik atau minimal mengandung pengertian politik.

Karenanya, para ulama berbeda pendapat apakah ayat-ayat dan hadis-hadis dalam tema ini semuanya mengandung keterkaitan antara urusan-urusan keagamaan dan urusan-urusan politik, atau tidak?

Menurut Ibnu Taimiyyah beberapa kata itu bermakna kepemimpinan dan pemimpin (imamah dan imam) atau kerajaan dan raja (mamlakah dan malik) dalam pengertian yang umum, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan perintah ilahi semisal pengangkatan secara nubuwwah (Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, 135).

Sementara itu, beberapa ulama lainnya menyebutkan bahwa beberapa kata itu mempunyai keterkaitan langsung yang menggabungkan antara urusan-urusan keagamaan dan urusan-urusan politik (Bahasa Politik Islam, 63).

Dua kelompok ini mempunyai argumen yang sama kuat. Ibnu Taimiyyah, misalnya, mengatakan bahwa beberapa kata itu hanya bermakna sebagai kekuasaan yang digantikan. Karenanya, jika ada orang yang menafsirkan beberapa kata itu dengan tafsir yang teliti dan mengambil teori politik yang penting dari tafsirnya itu, maka sungguh ia telah merendahkan wahyu ilahi dan realitas sejarah (Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, 140). Karena banyak dari kata itu yang jika ditafsirkan dengan pengertian politik menjadi tidak bermakna.

Kelompok ini mengambil kata khala’if yang terdapat dalam surat al-A’raf, 69, 73, dan surat Yunus, 73, sebagai dasar argumen. Mereka mengatakan bahwa maksud dari kata khala’if di ayat-ayat tersebut berarti orang-orang yang selamat dari bencana azab Allah.

Benar, pemikiran yang munyembul pada beberapa ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menjadikan manusia untuk menjadi khalifah-nya di muka bumi, tidak dapat disalahkan dalam tinjauan linguistik. Namun hal ini terlampau jauh dan asing sekali terjadi.

Sedangkan di lain pihak, kelompok yang menganggap ada keterkaitan dengan kekuasaan politik berargumen bahwa ada beberapa ayat dan hadis yang di dalamnya terdapat kata ini, jelas-jelas memberikan kesan yang kuat bahwa maksud dari ayat itu adalah kekuasaan politik.

Ayat “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,” (38:26), adalah salah satu contoh ayat yang dijadikan dasar argumen kelompok ini. Menurut mereka, lanjutan ayat di atas: “dan berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil,” semakin menguatkan argumen itu. Daud sendiri, seperti diketahui, adalah seorang Nabi sekaligus seorang raja yang pada dirinya terkumpul dua otoritas utama, otoritas politik dan agama (Bahasa Politik Islam, 62).

Mungkin sebagai jalan moderasi, lebih tepat jika dikatakan term-term ini mempunyai konsekuensi semantik yang berbeda satu sama lain, sesuai konteks kalimat dimana ia berbicara.

Term khalifah pada ayat:  “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”, (2:30), secara semantis berbeda dengan term khalifah yang terdapat pada ayat tentang Daud sebelumnya.

Begitu pula term khalifah  yang terdapat pada hadis riwayat Muslim berikut: “Ya Allah, engkaulah teman dalam perjalanan dan khalifah bagi keluarga” (Shahih Muslim, 2:617), konsekuensi semantiknya berbeda secara diametral dengan term khalifah yang terdapat pada hadis riwayat Muslim lainnya: “Akan ada pada masa-masa akhir ummatku seorang khalifah yang gemar menghambur-hamburkan harta kekayaan negara” (Shahih Muslim, 2:617).

Dari sini menjadi jelas bahwa term-term ini baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis tidak sepatutnya dipergunakan untuk tujuan politik dan dijadikan sebagai justifikasi suatu teori politik tertentu.

Karena jika ayat maupun hadis itu dibaca baik-baik disertai dengan melihat konteksnya akan ditemukan maksud dari term-term yang terkait dengan permasalahan khilafah bahwa Allah telah menjadikan manusia dan memerintahkan kepadanya untuk menata, melestarikan, dan membangun bumi sesuai dengan perintah yang telah digariskan Allah.

Meski benar bahwa sebagian ayat maupun hadis dalam tema ini terkandung pembicaraan mengenai penyelenggaraan administrasi untuk wilayah tertentu, seperti yang dapat kita temukan dalam kasus Daud. Namun kita pasti akan terjebak dalam perangkap kesalahan, ketika kita mengambil dari ayat maupun hadis ini satu teori politik tertentu.

Dan itu sendiri merupakan satu bentuk pelecehan terhadap ketinggian derajat al-Qur’an maupun hadis. Karena keduanya tidak memberikan petunjuk secara eksplisit mengenai teori yang terkait dengan konstitusi politik dan sistem ketatanegaraan dalam khilafah.

 

 

 

Baca Juga: