Menu Tutup

Di Balik Kamus Al-Munawwir yang Laris dan Legendaris, Ada 5 Kisah Keteladanan

DatDut.Com – Hampir seluruh santri Indonesia kenal Kamus Al-Munawwir. Kamus setebal 1591 halaman utama tersebut menjadi rujukan penting dalam mempelajari bahasa Arab, utamanya terkait dengan kitab kuning.

Sejak diterbitkan pertama kali tahun 1997 oleh Pustaka Progresif, Surabaya, kamus ini telah cetak ulang hingga 22 kali. Pertahunnya menembus angka penjualan hingga 20.000 eksemplar sebagaimana dilansir nu.or.id.

Kamus Al-Munawwir merupakan karya legendaris K.H. Ahmad Warson Munawwir (wafat 8 Jumadil Akhir 1434 H/18 April 2013), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Beliau merupakan pengasuh pesantren Al-Munawwir setelah wafatnya K.H. Ali Maksum yang merupakan kakak ipar sekaligus gurunya. Karena berulangkali naik cetak dan terjual puluhan ribu eksemplar, Kamus Al-Munawwir tergolong buku best seller.

Di balik kesuksesan dan ketenaran kamus ini, apa saja kelebihan dan rahasianya? Berikut 5 fakta tentang kamus Al-Munawwir.

[nextpage title=”1. Penulisan Butuh Waktu 15 Tahun”]

1. Penulisan Butuh Waktu 15 Tahun

Penulisan Kamus Al-Munawwir telah dilakukan semenjak Mbah Kiai Ali Maksum masih hidup, sekitar tahun 1960. Beliau mendampingi K.H. Ahmad Warson menyelesaikan kamus ini. Mengutip dari website resmi pesantren, munawwir.com, Kamus Al-Munawwir dicetak pertama kali pada 1976 masih dengan tulisan tangan dan baru sampai huruf dzal. Hal itu diungkapkan oleh alumni yang membantu penerbitan Kamus Al-Munawwir bernama K.H. Habib Syakur.

[nextpage title=”2. Tashih Model Setoran”]

2. Tashih Model Setoran

Dalam Kamus Al-Munawwir tertulis bahwa pentashih kamus tersebut adalah K.H. Ali Maksum (Mbah Ali). Hal itu karena memang beliaulah yang membimbing dan mendampingi penulisan kamus.

Proses tashih kamus kepada Mbah Ali dilakukan dengan metode setoran. Setiap kali K/H. Ahmad Warson menyelesaikan beberapa halaman, ia lalu membawa naskah itu kepada Mbah Ali untuk dikoreksi. Mbah Ali kemudian memeriksanya sambil minta dipijit. Begitu yang selalu dilakukan hingga tuntasnya penulisan kamus.

[nextpage title=”3. Sistematis dan Cocok untuk Mempelajari Kitab Kuning”]

3. Sistematis dan Cocok untuk Mempelajari Kitab Kuning

Penulisan Kamus Al-Munawwir didasarkan pada sistem tashrif atau perubahan kata bahasa Arab. Dimulai dengan kata kerja paling dasar dalam tiga huruf, istilah sharf-nya fiil tsulasi mujarrad. Diurut mengikuti abjad. Satu kata kemudian dikembangkan menurut peralihan arti dengan mengikuti urutan abjad arab.

Jadi, untuk nyaman menggunakan kamus ini, perlu memiliki dasar-dasar ilmu sharf. Bagi santri, kamus ini mengasah kembali kemampuan untuk mencari asal kata yang ingin dicari maknanya. Contoh mudahnya, untuk mendapatkan makna kata اَلشُّؤْمُ, harus mencari di bagian abjad syin, lalu mengerti bahwa kata tersebut huruf dasarnya adalah syin, hamzah, dan mim.

Sehingga langsung menuju huruf syin bagian hamzah dan mencari kata شَأَمَ yang merupakan kata kerja dasarnya. Barulah meruntut ke bawah hingga ketemu kata tersebut yang maknanya adalah kesialan, kemalangan.

[nextpage title=”4. Ada Versi Indonesia-Arabnya Juga”]

4. Ada Versi Indonesia-Arabnya Juga

Kamus Al-Munawwir sukses menarik minat para pelajar dan santri pesantren. Melihat itu penulis kemudian melengkapinya dengan menulis Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab. Kali ini yang menjadi pentashih adalah kakak K.H. Ahmad Warson, K.H. Zainal Abidin Munawwir. Seperti pendahulunya, penyusunan kata dalam kamus ini menggunakan sostem kata dasar.

Meskipun sama-sama bernama Al-Munawwir, kamus versi Indonesia-Arab ini nampaknya kalah tenar dari versi Arab-Indonesia yang lebih dulu memasyarakat di kalangan pesantren.

[nextpage title=”5. Rahasia Larisnya Kamus Al-Munawwir”]

5. Rahasia Larisnya Kamus Al-Munawwir

Apa rahasia di balik larisnya Kamus Al-Munawwir ini? Rahasia ini diungkapkan oleh sahabat karib K.H. Ahmad Warson, H. Iskandar. Ia pernah bertamu dan diberitahu oleh Nyai Khusnul, istri K.H. A. Warson, bahwa penjualan kamus laris ketika direncanakan uang hasil penjualan akan digunakan untuk bangunan pondok. Tapi kalau ada rencana ingin menggunakan untuk kepentingan pribadi, penjualan kamus langsung seret.

Tak rasan-rasan, nek niat neng ati arep tuku ngene, tuku ngono nganggo duwit dodolan kamus, kamuse ndadak ora laku. Tapi nek diniati duwite digawe bangun pondok, kok kamuse laris banget.”

(Rasa-rasanya, kalau di hati ada niat mau beli ini beli itu dengan menggunakan uang hasil penjualan kamus, kamusnya tiba-tiba tidak laku. Tetapi kalau niatnya uang hasil penjualan kamus dibuat bangun pondok, itu kamusnya kok laris sekali),” ujar H. Iskandar menirukan ucapan Nyai Khusnul, sebagaimana dilansir nu.or.id.

 

Baca Juga:

1 Comments

  1. Fitri Nur'aini

    Pondok pesantren Al Munawir keren banget, selain mempelajari Al Qur’an ada kajian kitab salafnya juga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *