Menu Tutup

Kenapa Kau Tulis Namamu di Kulit Hewan Kurbanmu?

DatDut.Com – “Allahu akbar Allahu akbar, Allaahu akbar walillaahil hamd”. Esok hari, hingga tiga hari ke depannya, takbir akan selalu bergema tanpa henti, tak peduli hujan, panas, atau badai sekalipun. Karena, euforia ini hanya terjadi setahun sekali. Begitulah, karena hari ini adalah Idul Adha.

Semua umat muslim merayakan dengan suka cita, dan tentunya berbahagia. Mungkin, tak semeriah Idul Fitri. Setidaknya, di momen kali ini kita bisa berkumpul bersama keluarga, dan calon keluarga. Ehem (pengecualian untuk saya, karena masih single).

O iya, satu lagi yang khas dari Idul Adha adalah kurban. Entah itu kurban sapi, kambing, atau unta sekalipun. Asal, jangan kurban ayam saja. Tidak akan diterima, dan tentunya tak masuk syarat sebagai hewan yang boleh dikurbankan. Pelaksanaan kurban dimulai setelah salat Id selesai. Lalu, dimulai lah “penjagalan” masal.

Berbicara masalah kurban, yang mana adalah pemotongan hewan berkaki empat yang tadi saya sebutkan. Bahwasanya, adanya kurban ini karena perintah Tuhan langsung kepada utusannya Nabi Ibrahim a.s. Beliau diperintahkan untuk menyembelih anak tersayangnya, Nabi Ismail a.s. Peristiwa ini tertera di Kitab Suci umat Islam, tepatnya di surah As-Saffat, ayat 102-107.

Memang, banyak polemik tentanng ayat ini. Karena, dalam redaksi ayat tersebut tak disebutkan nama Nabi Ismail di dalamnya. Berbagai tafsir pun menjelaskan, mulai dari Jalalain hingga Hasiatus Shawi menjelaskan tafsiran makna ayat tersebut. Saya tak mau menjelaskan panjang lebar, apalagi mempermasalahkan untuk kali ini. Kenapa? Saya masih awam, dan bukanlah seorang yang paham tafsir apalagi mumpuni.

Adanya tulisan ini, hanya dijadikan sekadar tulisan santai saja. Lagi pula, saya bukan tipikal orang yang terlalu serius-serius amat. O iya, kembali lagi masalah kurban tadi. Setelah Ibrahim menerima perintah seperti itu, yang datangnya dari mimpinya yang berulang. Tak sanggup pada awalnya, dan goyahlah hatinya ini. Bahkan, seorang Nabi pun masih bertabrakan antara iman dan juga naluri kebapakanya.

Di sini imannya benar-benar mendapatkan ujian besar, yang bahkan ngotak pun susah sekali. Bagaimana mungkin, kalau kita miliki anak laki, sudah begitu ia juga saleh. Apa kita tega menyembelihnya? Jangankan sembelih, melukai hatinya pun tak sanggup saudara!

Ia datangi anak tersayangnya itu, dan bertanyalah Ibrahim dengan hati bergetar “anakku, aku di perintahkan Tuhan kita untuk menyembelih dirimu,” dengan bibir yang bergetar, tertatih sekali Ibrahim berbicara. “Lalu ayah?” tanya Ismail memecahkan hening yang telah lama tadi. “Apakah, apakah kau siap?” lanjut Ibrahim. “Sangat siap, demi Tuhan yang jiwaku adalah miliknya ayah,” jawab Ismail dengan mantap.

Malu sekali Ibrahim mendengar jawaban anaknya itu, padahal ia masih kecil, tapi hati tak gentar sekalipun jiwanya “terancam”. Padahal, dari kemarin-kemarin Ibrahim selalu linglung karena mimpinya itu. Tapi, dengan mantap Ismail menjawab tanpa tergurat ketakutan di wajah, atau kedua matanya.

Berangkatlah mereka untuk melaksanakan perintah Tuhannya, yang kini dengan sepenuh hati dilakukan oleh Ibrahim. Saat sudah dimulai, ternyata Ismail muda tergantikan oleh seekor domba muda, sebagai ganti ketulusan hati hambanya. Dan kini, Ibrahim tahu makna sesungguhnya dari kurban yang dimaksud itu.

***

Menilik kisah Ibrahim tadi, tentunya beserta anaknya yang dikurbankan. Bahwa kurban dimaksudkan Allah Swt. untuk sebagai tahap “ujian” terhadap hambanya. Maksudnya, jika seseorang sudah mencapai tahap yang ia mampu untuk melaksanakan kurban itu, akankah ia lakukan? Tentu, harusnya pasti terjawab, “Ya”. Sayang, realitas tak semanis ekspektasi.

Manusia kini (mungkin saya termasuk), mulai meninggalkan, atau lebih tepatnya melupakan siapa “kulit” dari dirinya. Padahal, tanpa kulit seongok kacang bukanlah apa-apa. Pastinya, kacang tak akan bertahan lama dan disebut “cacat”. Nah, realitasnya memang begitu adanya. Kacang lebih sering melupakan kulit.

Contoh kecilnya, kadang anak pun suka lupa terhadap orangtuanya. Padahal, mereka yang mengurusnya, dan juga wujud kasih sayangnya itu “nyata”. Paham kan? Segitunya amat nyata. Terkadang, untuk berkorban pun ogah-ogahan. Bagaimana dengan Tuhan yang kita pun tak tahu bagaimana rupa dan wujudnya! Pasti (maaf) lebih parah.

Sadarlah kita! Terkadang untuk berkurban harus pakai cap, agar masyarakat tahu bahwa hewan yang paling besar adalah milik kita. Padahal, segala pemberian-Nya tak pernah tercap nama-Nya. Jangan sampai, kita berkurban tapi tak ikhlas dalam penyampaianya. Jangan sampai.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *