Menu Tutup

Kompas dan MetroTV Dulu Dipercaya Publik, Kenapa Kini Sering Dipertanyakan Beritanya?

DatDut.Com – Dulu Kompas jadi barometer berita yang dipercaya. Begitu juga Metro TV. Semua orang bangga bila sudah masuk dua media itu. Narasumber paling kompeten pun berlomba untuk bisa diliput oleh keduanya.

Tapi belakangan banyak yang menganggap keduanya seperti telah kehilangan integritas dan kredibilitasnya sebagai pewarta berita dan penyebar informasi yang layak dipercaya. Padahal integritas dan kredibilitas jadi kunci utama industri media berita.

Banyak pihak, terutama umat Islam, menilai keduanya semakin tidak profesional dan berpihak pada kubu dan kelompok kepentingan tertentu. Beberapa kasus belakangan membuktikan media besar seperti keduanya juga rapuh, tak independen, bahkan terjebak pada pemerkosaan informasi untuk kepentingan tertentu.

Apalagi dalam kasus Pilkada DKI ini, tak jarang keduanya blunder dan menelanjangi aib diri sendiri. Kasus pemelintiran hasil wawancara pengamat telematika terkait percakapan Habib Rizieq dan Firda Husein, yang baru-baru ini dimuat Kompas juga jadi semakin memperlihatkan dukungannya pada paslon tertentu.

Komentar Buya Yahya yang dipelintir oleh Metro TV sehingga seolah-olah Buya Yahya melarang umat untuk ikut aksi 112 belum lama ini, juga membuka aib tidak profesionalnya Metro TV. Apalagi Buya Yahya sendiri langsung membuat pernyataan terbuka meralat berita menyesatkan itu. Belum lagi kasus pelintiran wawancara Jonru soal informasi hoax.

Sebetulnya masih banyak kasus yang lain. Namun, sinisme terhadap kedua media ini memuncak ketika keduanya memberitakan jumlah aksi bela Islam dari 411 dan 112 dalam jumlah yang mengecilkan fakta jumlah peserta aksi yang sebenarnya. Sementara ketika berhubungan dengan calon tertentu, keduanya memberitakan dalam jumlah yang juga tak sesuai fakta dan cenderung melebih-lebihkan, hiperbolis, dan hiper realitas. Hingga muncullah hastag #BoikotMetroTV beberapa waktu lalu.

Inilah yang membuat keduanya mestinya mengoreksi dan mengevaluasi diri, apakah selama ini keduanya bekerja atas nama keberpihakan pada kejujuran dan fakta, ataukah keduanya sudah terkooptasi oleh kepentingan pemilik media dan pemilik modal lainnya.

Fatalnya Dewan Pers sebagai pihak yang jadi wasit pada insan media yang offside, tak punya daya dan upaya terkait masalah ini. Dewan Pers justru sibuk dengan verifikasi media yang dirasa oleh insan media juga demi melayani kepentingan penguasa. Maka, tak heran belakangan jadi banyak protes dari insan media atas verifikasi yang terasa ada sortirisasi pada media-media yang kritis pada pemerintah.

Bila begini situasinya, jangan disalahkan kalau publik kini kian apatis dan tak percaya lagi pada media. Jangan salahkan juga kalau banyak orang yang lebih percaya informasi dan berita di media sosial daripada media konvensional. Toh faktanya, media konvesional juga memuat hoax dan berita penuh rekayasa.

Itu artinya bila industri media tak mengubah tabiatnya, mereka akan mati digulung zaman. Harusnya keduanya belajar dari gulung-tikarnya media-media besar di luar sana. Jangan jumawa! Jangan anggap yang kritis, marah, dan boikot berita-berita keduanya, sebagai bukan target pembaca.

Kalau maunya begitu, ya tulis saja di halaman depan, “Media ini untuk kalangan sendiri dan hanya boleh dibaca para pendukung penista”. Itu baru fair. Jangan melukai perasaan umat Islam sebagai konsumen, pemirsa, dan pembaca terbesar media apa pun di negeri ini. Sejelek-jeleknya umat Islam, kalau agamanya dinista, pasti marah. Ya kecuali yang memang punya masalah dengan keimanannya.

Sebagai penutup tulisan ini, media-media yang tidak independen itu sebetulnya sedang berada di ambang kiamatnya sendiri, bila tak melihat lonceng kematian dan tanda-tanda kiamat mereka yang nyata-nyata ada di depan mata. Jangan melawan nurani. Jangan juga melawan logika publik kalau media Anda tak ingin hanya tinggal nama.

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *