Menu Tutup

Di Mana Adab Jonru pada Quraish Shihab?

DatDut.Com – Mengapa Nabi Muhammad Saw menekankan pentingnya punya rasa malu sebagai bagian dari cabang keimanan?! Bahkan, di satu riwayat disebutkan, kalau kau tak lagi punya malu, silakan lakukan apa saja yang kau mau! Untuk tahu jawabannya, silakan baca tulisan berikut sampai akhir.

Salah satu bentuk malu yang paling sering dilupakan adalah soal sifat tahu diri, sadar diri, tahu kadar diri, dan mengaca diri. Kita sering kali kepedean mengkritik, bahkan tak segan-segan menyesatkan orang yang ilmu dan kesalehannya di atas kita.

Kita sering merasa punya hak untuk menilai siapa saja dan seenak mulut/tangan kita, padahal orang yang kita nilai itu jelas-jelas secara keilmuan dan kesalehannya di atas kita. Bahkan, kita berani nantangin orang yang tidak kita kenal, padahal orang itu jauh segala-galanya dari kita.

Saya terus-terang geli membaca tulisan seseorang yang diposting di suatu situs yang menyesatkan dan menganggap bahaya pemikiran Pak Quraish.

Dia beri judul tulisannya, “Kritik Ilmiyah…” yang terang-terangan menyesatkan Pak Quraish. Setelah saya baca tulisannya, sama sekali jauh dari kesan dan standar ilmiah. Lagi, klaim sebagai kritik ilmiah itu agak lucu juga dalam dunia akademis. Singkatnya, kepedean dan seperti ada kenarsisan akut yang diidap.

Yang lebih menggelikan lagi ada orang yang modalnya hanya tulisan itu untuk mengkritik Pak Quraish, menyuruh saya untuk baca tulisan itu dan tulisan lain yang mengkritik Pak Quraish.

Kalau boleh bicara agak sombong, ini terasa kayak mengajari ikan berenang. Dikira ketika saya menulis kritik terhadap orang yang mengkritik dan menuduh yang bukan-bukan terhadap Pak Quraish, saya asal bunyi atau asal ketik.

Saya sudah fokus pada masalah ini selama 2 tahunan dan saya gerah dengan kelakuan Jonru dan para simpatisannya yang tidak mengukur diri dan kepedean mengkritik Pak Quraish.

Ini bukan soal “lihat substansinya dan jangan lihat siapa yang mengatakannya” (seperti yang sering dipakai oleh para simpatisan Jonru).

Tapi ini soal adab dan kepatutan Jonru mengkritik Pak Quraish. Siapa Pak Quraish dan siapa Jonru, terlalu tidak seimbang dan tidak sepantasnya Jonru sengawur itu menyerang Pak Quraish.

Kata mahasiswa saya, ibarat baynas sama’ was sumur. Selisihnya terlalu jauh. Jonru bukan ilmuan, bukan ahli, dan bukan orang yang mengerti di bidang yang digeluti Pak Quraish.

Jonru hanyalah bonek (bondo nekat) di medsos. Persis seperti Denny Siregar, Abu Janda, dan makhluk-makhluk sejenis. Sayangnya banyak orang yang terpesona. Tapi yang terpesona, ternyata ya orang yang punya karakter sama.

Tidakkah kita dan orang-orang itu belajar adab pada al-Iraqi ketika mengkoreksi beberapa hadis dalam Ihya Ulumuddin yang dinilainya tidak ditemukan dalam kitab-kitab induk hadis.

Al-Iraqi yang sadar diri dan tahu kadarnya bila dibandingkan dengan al-Ghazali, tak berani buru-buru menyebut “maudhu'” (palsu) pada hadis-hadis yang ada di Ihya. Beliau hanya berani maksimal menilai “lam ajid lahu ashlan” (saya belum ketemu sumbernya).

Begitulah cara orang berilmu menyampaikan ketidaksetujuannya. Bukan malah menyerang membabi-buta dan memprovokasi umat untuk memusuhi dan membenci orang yang tidak disetujui pendapatnya.

Apalagi kalau tujuan melakukan provokasi itu hanya untuk mencari like dan share yang ujung-ujungnya bisa mendatangkan penghasilan dan dijadikan mata pencaharian.

Lebih-lebih apa yang dikritik berada dalam ruang ijtihad dan khilafiyah. Di kalangan ulama saja belum satu pendapat soal itu. Nah, kok ya berani-beraninya mengkafirkan dan menyesatkan Pak Quraish.

Terakhir, sebutan paling bodoh yang dialamatkan pada Pak Quraish yang saya baca belakangan ini adalah “pendeta Syiah”. Ketahuan kan kadar pengetahuan orang yang mengatakan itu tentang Syiah. Setahu saya, tokoh-tokoh Syiah tak pernah disebut sebagai “pendeta”. Jangan-jangan Syiah itu apa, mereka juga tak tahu.

Maka mari waspada dengan orang-orang seperti Jonru. Orang-orang seperti Jonru ini mungkin yang dimaksud al-Ghazali (mengutip ungkapan al-Khalil bin Ahmad, seorang linguis Arab klasik) sebagai “rajulun la yadri wa la yadri annahu la yadri”. Tugas kita semua untuk membuatnya “yadri”, agar tak banyak orang yang tersesat karena kesesatan alam pikirnya dan agar dia punya sifat yang ditekankan Nabi pada hadis di atas. Wallahu a’lam.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *