Menu Tutup

Buya Hamka; Ulama, Ilmuwan, Sastrawan, Politikus, atau Penulis? Ini Penilaian A Suryana Sudrajat

DatDut.Com – A. Suryana Sudrajat, penulis dan wartawan senior, pernah menulis buku yang berjudul Ulama Pejuang dan Ulama Petualang (2006). Dalam buku itu, ia memberikan penilaian terhadap sosok Buya Hamka terkait sepak terjangnya selama hidup. Berikut tulisan lengkap A. Suryana Sudrajat terkait Buya Hamba di buku itu:

Buya Hamka adalah ketua umum MUI pertama ketika organisasi itu didirikan pemerintah pada 1975. Di kalangan peneliti, Hamka selain menjadi sumber penting dalam penulisan sejarah Indonesia, penulis prolifik itu merupakan tokoh yang banyak dipertanyakan. 

Pertama, apakah Hamka seorang ilmuwan? Jawabannya, jelas bukan. Ia tidak menguasai teori-teori dari satu atau lebih bidang keilmuan. Ia juga tidak pernah menulis sebuah risalah yang mendalam dalam lapangan apa pun, meski dia menulis empat jilid Sejarah Islam.

Ia cenderung mengambil kesimpulan yang sudah ada dari para pemikir besar dengan cara menyederhanakannya, dan kadang-kadang salah.

Tidak heran jika dalam buku-bukunya kita menjumpai nama-nama besar sejak Ibn Khaldun, Karl Marx, Freud, Bertrand Russel, dan penulis besar lainnya. Tapi, kita tidak tahu, sejauh mana dia mendalami pemikiran orang-orang itu.

Kedua, apakah Hamka seorang pengarang atau sastrawan? Dia memang menulis roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Kaabah yang berkali-kali cetak ulang.

Tapi, sumbangannya dalam sejarah sastra Indonesia modern hampir tidak pernah dibicarakan, kecuali bahwa dia pernah dituduh melakukan plagiat oleh kalangan Lekra. Dengan kata lain, mutu karya sastranya dinilai di bawah standar. Bahkan pada awal-awal kariernya sebagai penulis di Medan, Buya dikenal sebagai penulis roman picisan.

Ketiga, apakah Hamka seorang ulama? Sejak masih muda dia memang dikenal sebagai mubalig yang digemari dan disegani. Hampir 30 tahun ia menjadi imam Masjid Agung Al-Azhar. Ia juga menjadi ketua umum MUI yang pertama dan “seumur hidup” kalaulah tidak mengundurkan diri.

Ia juga menulis Tafsir Al-Azhar, yang disebut-sebut karya utamanya. Tapi, dalam pengertian seorang yang menguasai ilmu-ilmu keislaman tradisional (kalam, fikih, tasawuf, falsafah), Hamka juga tidak masuk klasifikasi.           

Keempat, seorang politikus, barangkali? Dia memang pernah memainkan peran yang cukup kontroversial pada masa pendudukan Jepang. Tapi tidak begitu signifikan, seperti halnya ketika dia menjadi anggota Konstituante.

Dia juga pernah menjalani tahanan politik Soekarno. Tidak sebagaimana Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, atau Prawoto Mangkusasmito, yang sampai akhir hayatnya menjadi musuh Orde Baru, Hamka justru “menikmati kewibawaannya” sebagai ulama besar pada rezim Soeharto.

Dia memang mengundurkan diri dari ketua MUI, tetapi itu bukan karena ia protes pada rezim yang represif. Alasannya, justru karena urusan yang boleh dikatakan “sepele”, apalagi jika dilihat dari kacamata sekarang.        

[nextpage title=”Sosok Penting dalam Sejarah Indonesia Modern”]

Sosok Penting dalam Sejarah Indonesia Modern    

Lalu, mengapa Hamka menjadi pembicaraan dalam sejarah Indonesia modern, dan diakui sebagai sumber yang penting bagi para sejarawan dan penulis? Dalam salah satu ceramahnya di LIPI pada 1982,  James Robert Rush mengatakan, Hamka sesungguhnya hanyalah satu di antara banyak orang dalam generasinya yang dikenal sebagai politikus, ulama, dan pengarang yang tulisan-tulisannya mengarah kepada perubahan Indonesia.

Sesungguhnya, kata Rush, di antara mereka ada yang lebih terpelajar, baik dalam pengetahuan Barat maupun studi yang mendalam tentang Islam. Ada pula yang mempunyai gagasan yang lebih orisinal ketimbang Hamka. Tapi, justru Hamkalah yang tampak menonjol. Mengapa?

Yang terpokok, menurut Rush, Hamka adalah seorang penulis yang tidak hanya produktif dan cakap dalam beberapa hal, tetapi juga populer. Pada akhir 1930-an buku-buku Hamka sudah dapat ditemukan di perpustakaan sekolah umum. Para pelajar sering dianjurkan untuk membacanya.

Dalam perkembangan kebudayaan nasional, pengaruh penulis populer lebih luas dibandingkan peranan cendekiawan, ilmuwan, dan lainnya. Dan jangan lupa, tema utama yang dibawakan adalah tema “kemajuan”, yang amat digandrungi masyarakat pada waktu itu.

Bukankah Hamka menamakan tasawufnya dengan Tasauf Modern? Lihatlah pula, gambar yang menyertai logo Pedoman Masyarakat, publikasinya di Medan pada tahun 1940. Di tengah-tengah gambar kapal modern, pesawat terbang, mobil, dan kereta api yang sedang bergerak.

Di tengah gedung yang megah, muncul sebuah rumah Minangkabau. Di situ yang menonjol adalah masjid. Kepiawaian menulis dan kemampuan membaca “arus pasar” ini, ditambah sifatnya yang cenderung membesarkan pengaruhnya, yaitu wibawa keulamaan, Hamka akhirnya menjadi “orang penting” dan “sumber yang penting”.           

Jefferey Hadler, sejarawan yang kini mengajar di Universitas California, Berkeley, dalam tulisannya di majalah Indonesia terbitan Cornell menyebut bahwa semangat “nasionalisme” adalah bebas bukan dari Belanda atau kolonialisme, tetapi dari Minangkabau. Hamka, memang pengecam adat Minangkabau sehingga ia tidak merasa “berumah” di tanah kelahirannya itu.           

Indonesianis itu mungkin benar, tetapi tulisan-tulisan Hamka sejak 1930-an sesungguhnya sudah dipengaruhi semangat kemerdekaan dan nasionalisme. Baik secara terang-terangan maupun terselubung, ia banyak menulis hal-hal yang subversif terhadap pemerintah kolonial. Buya wafat pada Jumat pagi, 24 Juli 1981, dalam usia 73 tahun, 25 bulan.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *