Menu Tutup

Ini 5 Fakta Tak Terbantahkan Kalau Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub Bukan Wahabi

Datdut.Com – Saat menjadi Imam besar masjid Istiqlal, Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub mendapat tudingan hebat. Beliau disebut-sebut sebagai orang Wahabi  pascamunculnya tulisan beliau tentang “Titik Temu NU dan Wahabi” yang dimuat di Republika Online.

Tudingan terhadap seseorang biasanya didasari atas ketidaktahuan atas diri orang lain atau sebatas tahu, tetapi tidak mengenal, dan bahkan tudingan bisa muncul karena provokasi oknum-oknum tertentu yang tidak sependapat.

Nah, bagaimana sebaiknya kita merespons tudingan-tudingan pedas yang dihujamkan kepada salah satu ulama yang kita miliki ini? Jangan hanya karena beliau mencoba menyandingkan antara NU dan Wahabi, lantas kita melabeli beliau seorang Wahabi, tanpa melihat tujuan mulia beliau yang ingin mempersatukan umat Islam.

Tulisan ini mencoba membantu mengenalkan sosok K.H. Ali Mustafa Yaqub dan memberikan fakta bahwa beliau bukanlah orang Wahabi. Yuk, kita simak baik-baik!

[nextpage title=”1. Melakukan Tahlil”]

1. Melakukan Tahlil

Tudingan Wahabi yang dilabelkan kepada  K.H Ali Mustafa Yaqub, saya rasa, tidaklah tepat. Pasalnya, beliau juga salah satu ulama yang melanggengkan tahlilan, bukan hanya melakukannya sendiri bahkan juga mengajak santri-santrinya.  Jika tidak percaya, saya sebagai santri beliau, punya faktanya, loh!

Suatu ketika warga sekitar Pesantren Ilmu Hadis Darussunah binaan Kyai Ali Mustafa Yaqub sedang berduka karena kehilangan salah satu warganya, dan kebetulan beliau adalah seorang satpam yang menjaga keamanan di lingkungan pesantren.

Atas instruksi dari Pak Kyai, santri pun kemudian berkumpul di masjid untuk melakukan salat jenazah dan tahlil bersama mendoakan almarhum. Jangan salah, loh, yang memimpin tahlilan itu beliau sendiri.  Lantas, orang yang masih melestarikan tahlilan apakah pantas diberikan tudingan sebagai orang Wahabi? Kan, Wahabi antitahlilan!

[nextpage title=”2. Berziarah Kubur”]

2. Berziarah Kubur

Sebagai seorang santri, K.H.  Ali Mustafa Yaqub tidaklah melupakan dari mana asal intelektualitas beliau berasal. Beliau pernah nyantri di Pesantren Tebuireng Jombang sebelum terkenal sebagai alumni Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia. Setiap kali kunjungan ke Jombang, beliau selalu menyempatkan untuk berziarah di makam Hadratussyaikh Hasyim ‘Asyari dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk mengirimkan doa sebagai tanda takzim beliau sebagai santri.

Jika mas-mas dan mbak-mbak  masih tidak percaya, kalau Bapak Kyai Ali Mustafa Yaqub melakukan ziarah kubur, maka sampean perlu membaca  karya beliau yang berjudul Cerita dari Maroko. Buku tersebut mengisahkan perjalanan beliau berziarah dari makam satu wali ke makam wali yang lain. Misalnya,  makam Ibn Arabi. Foto-foto kenangan ‘melancong’ ke Maroko pun dilampirkan di akhir karya beliau. Bertentangan sekali dengan Wahabi, kan? Mana ada Wahabi yang membolehkan ziarah kubur?

[nextpage title=”3. Melarang Santrinya Memakai Jubah”]

3. Melarang Santrinya Memakai Jubah

Jangan salah ya, Bapak Ali Mustafa Yaqub yang kini diisukan sebagai orang Wahabi, ternyata malah melarang santrinya mengenakan jubah ketika salat berjamaah, karena hal itu tidak sesuai dengan kultur Indonesia. Beliau juga salah seorang ulama yang mendukung ajaran Islam Nusantara.

Baca5 Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal Bercorak Islam Nusantara

Saya mau cerita sedikit. Saat itu, salah satu teman sejawat kami di Pesantren Ilmu Hadis Darussunnah biasanya melakukan salat zuhur berjamaah di masjid pesantren, yang diimami langsung oleh Pak Kyai. Teman saya itu mengenakan jubah saat salat berjamaah.

Kemudian Pak Kyai mengetahuinya dan langsung menyuruhnya untuk mengganti jubah tersebut dengan baju biasa (sarung, baju koko, dan kopiah) seperti jamaah lainnya. Nah, gimana tuh? Masih menggap beliau Wahabi?

[nextpage title=”4. Mencium Tangan Guru”]

4. Mencium Tangan Guru

Guru tetaplah guru. Mungkin itu slogan yang tepat untuk menunjukkan penghormatan Kyai Ali Mustafa Yaqub pada gurunya. Saya juga pernah melihat langsung beliau cium tangan pada gurunya, almarhum Syaikh Wahbah Zuhaili, salah satu ulama Syiria terkemuka.

Memang apa salahnya cium tangan pada orang saleh? Bukankah Islam menyuruh kita menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda dari kita? Apalagi ini guru beliau sendiri. Masa gitu musyrik? Enggak kan!

[nextpage title=”5. Pemahamannya yang Kontekstual”]

5. Pemahamannya yang Kontekstual

Selama ini yang kita tau orang Wahabi terkenal dengan pemahamannya yang tekstual terhadap Alquran atau Hadis, seperti pemahaman terkait larangan isbal (menjulurkan kain melebihi mata kaki) sehingga orang Wahabi identik dengan celana cingkrang, dsb.

Sementara itu, pemahaman tekstual ala Wahabi dibantah oleh beliau dalam karyanya, at-Thuruq as-Shahihah fi Fahmi al Hadist an-Nabawiyah (Cara Benar Memahami Hadis Nabi). Dalam karyanya ini, beliau menulis betapa pentingnya sebuah hadis dipahami tidak hanya teksnya saja, tetapi juga konteksnya.

Misalnya, dalam memahami hadis secara kontekstual dibutuhkan pemahaman majaz (gaya bahasa), takwil, geografi hadis, dan budaya Arab, dan juga bisa dipahami dari segi latar belakangnya, seperti asbabul wurud (sosio-historis), kondisi sosial masyarakat, dan ‘illat hadis.

Nah, pokoknya jangan percaya, deh, sama oknum-oknum yang mengatakan beliau orang Wahabi, karena saya tahu persis bagaimana amaliyah beliau, and He is not Wahaby.

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *