Menu Tutup

Ada Dai Seleb, Profesor Parpol, dan Doktor Artis, Salah Siapa?

DatDut.Com – Mungkin kita semua ikut andil melahirkan figur-figur publik yang bermasalah. Kita yang menghebat-hebatkan dai-dai yang masuk TV, padahal kualitas dakwahnya tidak berisi dan tak memadai. Tak jarang tak ubahnya pelawak atau motivator yang hanya dilabeli ustaz atau kiai.

Kita bahkan bersedia bayar mahal untuk panggung dakwahnya, padahal tak ada kontribusi nyata yg diberikan mereka utk perbaikan kondisi umat.

Di sisi lain, kita biarkan kiai-kiai dan ustad-ustad yang ikhlas berjuang untuk masyarakat dan umat, hidup dengan ala kadarnya tanpa ada perhatian dari kita. Bahkan, sebagian berharap belas kasih pemerintah yang justru memperalatnya untuk kepentingan politik praktis yang sadis.

Kita juga secara sengaja membedakan honor ceramah mereka gara-gara memakai mobil mewah, padahal isi ceramahnya tak ada yang menempel di kepala.

Maka, para tokoh agama ramai-ramai beli mobil mewah. Gara-garanya bila datang dengan mobil biasa, atau naik motor, apalagi naik angkot, dia tak dihargai sepantasnya, bahkan bila materi ceramahnya pun persis sama.

Di kampus pun demikian. Profesor atau doktor yang hidupnya biasa saja dan tak punya jabatan justru kalah dihormati dengan mereka yang meski hanya lulusan S2, tapi punya jabatan dan bawa mobil mewah.

Maka, para profesor dan doktor pun berlomba-lomba untuk merapat ke parpol agar mendapat kesempatan untuk hidup mewah dan menjabat. Lalu, setelah itu dia masuk dalam lingkaran setan yang membuatnya tak husnul khatimah di akhir jabatan.

Kalau tidak masuk parpol, dia “mengamen” jadi artis di televisi, baik sebagai host, pengamat, maupun bintang tamu talkshow. Di saat yang sama dia melupakan tugas utamanya sebagai pengajar mahasiswa. Tak pernah masuk kelas dan bahkan membimbing skripsi, tesis, dan disertasi pun enggan, apalagi cuma memeriksa tugas mahasiswa.

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan dai bertarif, dai seleb, profesor parpol, atau doktor artis. Tulisan ini justru mengingatkan ada salah dan andil kita semua dalam melahirkan orang-orang itu. Kita terlalu memuja dunia dan menilai kehebatan orang hanya dengan ukuran kepemilikan harta.

Anehnya, ketika mereka menjadi dai seleb, profesor parpol, atau doktor artis, kita ikut-ikutan mencela. Padahal, secara tidak langsung kitalah yang membuat mereka menjadi seperti itu. Kita yang menjadikan mereka terpaksa membungkus diri dengan topeng keduniaan, karena faktanya kita lebih suka topeng daripada isi.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *