Menu Tutup

Gus Dur, Piagam Madinah, dan Al-Hikam bagi K.H. Hasyim Muzadi

DatDut.Com – Sempat sehat setelah dirawat di rumah sakit pada Januari lalu, K.H. Hasyim Muzadi akhirnya wafat di kediamannya setelah menjalani perawatan Rumah Sakit Lavalette Kota Malang, Jawa Timur. Tokoh yang terkenal nasionalis dan pluralis itu meninggal dalam usia 72 tahun (lahir 8/8/1944).

Berbagai kesan dan kenangan banyak dimiliki oleh para santri maupun pengagumnya. Demikian pula rekam jejaknya yang selalu mengembangkan pemahaman Islam yang moderat dan ramah.

Ulama yang juga menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) tercatat pernah menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU periode 1999-2010. Juga pernah berpasangan dengan Megawati Soekarno Putri sebagai calon wakil presiden pada pilpres 2004.

Sempat meraih 26.2% suara di putaran pertama, keduanya terkalahkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla di putaran kedua.

Terkait sosok K. Hasyim Muzadi berikut ini 5 fakta seputar beliau. Dari pernyataan hingga tentang pesantrennya, Al-Hikam.

1. Indonesia Butuh Orang Tua

Mendekati hari-hari terakhirnya, K.H. A. Hasyim Muzadi sempat berpesan tentang keadaan Indonesia. Seperti dilansir Tempo.co (16/01/’17) saat keluar dari Rumah Sakit Lavalette, Malang ia sempat menyapa wartawan dan menyampaikan pesan singkat.

“Pesan saya singkat, Indonesia membutuhkan orang tua. Bukan usianya yang tua, tetapi mengerti dan memahami kondisi bangsa,” katanya. Orang tua menurutnya adalah sosok yang yang mengerti dan membela kepentingan masyarakat serta tidak berpihak kepada kelompok tertentu.

2. Nabi Membuat Piagam Madinah Bukan Piagam Negara Islam

Piagam Madinah sering dijadikan model yang dianggap paling ideal sebagai dasar dan alasan keharusan mendirikan negara Islam oleh para aktivis pro-khilafah. Nyatanya piagam tersebut bukanlah suatu model dan contoh disayariatkannya suatu model negara Islam secara khusus. Karena piagam tersebut lebih mengedepankan persatuan bahkan dengan non muslim sekalipun.

Hal itu tersirat dari sebagian ceramah K.H. Hasyim Muzadi saat menjadi penceramah dalam acara Maulid Nabi di Istana Negara (23/12/’15)

“Pada saat itu dirumuskanlah Piagam Madinah. Kenapa bukan piagam negara Islam? Ini bukti kalau Rasulullah memandang persatuan adalah yang utama. Pada saat itu di Madinah tidak semua memeluk agama Islam. Ada yang Yahudi, ada yang Kristen, bahkan ada yang agama masyarakat setempat. Oleh karena itu dirumuskanlah Piagam Madinah. Ini contoh dari Rasulullah sendiri. Bahwa kita tidak harus merasa besar sendiri, merasa menang sendiri,” tuturnya.

3. Hanya Miliki Tanah 2 x 1 Meter

Ini adalah sebagian nasihat dan pernyataan yang juga disampaikan oleh K.H. Hasyim Muzadi. Menurutnya beliau hanya memiliki tanah seukuran 2 x 1 meter dimana di situlah tempatnya nanti dimakamkan.

Nasihat tersebut disampaikan saat acara Tanbihul ‘Am tahun lalu di Pesantren Al-Hikam Depok, Jabar. Nasihat tersebut diposting kembali di Facebook oleh akun Santri Alam yang bernama asli Alfajar, dan akun Ahmad Hilmi Thohiri. Seperti berikut ini yang disampaikannya:

“Saya lahir di dunia ini dengan tidak membawa apa-apa, begitu pula ketika saya meninggal saya tidak akan membawa apa pun. Pesantren sudah saya wakafkan, harta sudah saya berikan kepada anak-anak saya. Saya hanya punya tanah 2 x 1 meter di samping asrama putra untuk dikebumikan nanti. Saya titip Pesantren (Al-Hikam) ini, rawat dengan baik dan jaga, karena Pesantren adalah ruh agama, bangsa, dan negara. Semoga Allah meridhoi kita semua…”

4. Al-Hikam Depok dan Pengajian Ihya’ Ulumiddin

Pesantren Al-Hikam Depok merupakan pesantren untuk santri sekaligus mahasiswa STKQ (Sekolah Tinggi Kulliyatul Quran) Al-Hikam. Di pesantren ini mereka menempuh pendidikan selama 5 tahun (4 tahun studi dan 1 tahun tugas/pengabdian) tanpa dipungut biaya. Salah satu syarat masuk ke pesantren ini adalah harus hafal Alquran 30 Juz dan usia maksimal 25 tahun.

Pengalaman berbeda dialami Ust. Taufik Karuniawan, santri asal Banyuwangi yang juga mondok di Pesantren Darussalam Blokagung sebelum ke Al-Hikam. Saat nyantri sekaligus sebagai mahasiswa di Al-Hikam ini ia mendapat tambahan amanah untuk menmbacakan kitab Ihya’ Ulumidin. Kitab tasawuf karya monumental Imam al-Ghazali.

Taufik yang merupakan lulusan perdana STIQ Al-Hikam ini mengatakan bahwa pengajian itu atas perintah dari putra K.H. Hasyim Muzadi. Dan memang kegiatan pengajian Ihya’ belum pernah diadakan. Karena merasa masih berstatus santri dan perlu izin guru, maka ia minta restu dulu dari pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Blokagung, K.H. Ahmad Hisyam Syafa’at. Hanya saja setelah Ust. Taufik lulus dan menikah, belum ada lagi pengajian kitab tersebut.

5. Pernah Berselilih dengan Gus Dur

Ternyata K.H. A. Hasyim Muzadi juga pernah punya perbedaan pendapat dengan Gus Dur. Kisah ini diunggah oleh akun FB. Rijal Muamaziq Z yang juga merupakan salah satu penulis sekaligus pendiri Penerbit Imtiyaz. Kisah yang ia katakan bersumber dari Gus Muhammad Nuh itu seperti berikut ini:

Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi pernah berbeda pendapat. Ketika keduanya bertemu, tampak begitu kakunya. Padahal dua tokoh tersebut merupakan produsen anekdot atau banyolan yang sangat mumpuni.

Untuk menyegarkan suasana, Pak Syairozi (saat itu Ketua LP Maarif NU Jatim) menyampaikan cerita di hadapan keduanya tentang “pujian” sebelum shalat subuh yang dilantunkan di langgarnya KH. Imron Chamzah (Sidoarjo) dengan agak khas.

Biasanya, di langgar atau di masjid yang dikelola orang NU, sebelum shalat subuh selalu dibacakan “pujian” yang lafadznya “LA ILAHA ILLA ANTA, YA HAYYU YA QOYYUM”. Tapi di langgarnya Kiai Imron, lain. “Pujian”-nya berbunyi “LA ILAHA ILLA ENTE, YA HAYYU YA QOYYUM”.

Mendengar cerita Pak Syairozi tsb, ternyata Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi terpingkal-pingkal. Secara spontan Gus Dur berucap sambil terkekeh, “Wah ternyata di sana warga NU sangat akrab dengan Tuhan. Buktinya Tuhan dipanggil ‘ENTE’.”

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *