Menu Tutup

Wahai Mahasiswa! Menikah Jauh Lebih Baik Daripada Pacaran yang Melanggar Norma

 

DatDut.Com – Mahasiswa yang menikah sebelum lulus kuliah (S1) dianggap tabu dan tidak lumrah. Sedangkan pacaran, yang jelas mengindahkan norma agama, melampuai batas, dan menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf memprihatinkan, dinilai biasa-biasa saja.

Disadari atau tidak, ini fakta yang ada di masyarakat kita. Sebuah fakta yang bertentangan dengan apa yang seharusnya. Semestinya pernikahan bagi mahasiswa adalah hal yang dianggap lumrah, sementara berpacaran bagi mahasiswa dengan lawan jenis yang bukan mahram dianggap tabu dan dinilai tidak bermoral.

Mahasiswa adalah seorang thalibul-‘ilmi (penuntut ilmu), di mana Imam al-Ghazali dalam Bidayatul-Hidayah-nya, dan Imam az-Zarnuji dalam Ta’limul-Muta’allim-nya, telah mengemukakan adab, tatakrama, anjuran, kewajiban, dan larangan bagi seorang thalibul-‘ilmi.

Pacaran jelas sejelas-jelasnya merupakan suatu hal yang yang mesti dijauhi. Khawatir sekali, ilmu takkan berkah dan bermanfaat, jika selama menuntut ilmu dibarengi dengan pacaran. Dilema memang.

Di satu sisi, pacaran itu larangan agama, di sisi lain, menikah itu butuh persiapan. Kalau semasa kuliah tidak berpacaran, hati tersiksa dan merasa kesepian. Sedangkan berpacaran dosa. Mau menikah belum punya persiapan. Kalau tidak menikah, kemudian berpacaran, dosa. Ruwet sekali!

Akan tetapi, percayalah, sebetulnya masalahnya tidak seruwet itu. Yang ruwet ialah opini keliru yang berkembang sebagaimana dijelaskan di atas. Cara berpikir kita sebagai manusia yang mudah manggut wae dan manut wae terhadap opini mainstream.

Marilah kita tilik sebuah hadis berperingkat shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari yang populer “Pemuda yang sudah mampu untuk menikah, bersegeralah untuk menikah,” pesan Nabi.

Syabab (pemuda) yang diseru oleh Nabi dalam hadis itu ialah mereka yang berusia 16-32 tahun menurut Imam al-Qurthubi, 16-30 tahun menurut Imam an-Nawawi dan az-Zamakhsari, yang berarti mahasiswa tercakupkan.

Syabab yang ba’ah (matang atau mampu) dianjurkan atau diwajibkan menikah. Mayoritas ulama, terutama sebagaimana tertera di dalam literatur-literatur fikih syafi’iyyah, menyatakan bahwa ba’ah yang dimaksud dalam hadis ini ialah mampu membayar mahar pernikahan dan memberi nafkah.

Bagi suami miskin, nafkah yang diwajibkan ialah 1 mud, bagi suami kelas menengah 1 1/2 mud, dan bagi suami yang kaya raya, 2 mud. Namun, dalam menerjemahkan penjelasan di dalam kitab-kitab fikih secara praktis dan menyimpulkannya, masyarakat sering salah dan keliru.

Ketika di dalam fikih dijelaskan bahwa di dalam menikah, calon suami harus mampu membayar maskawin atau mahar, dan seorang suami harus memberi nafkah kepada istri, tidak dapat disimpulkan bahwa kalau tidak mampu, berarti harus berpacaran.

Di dalam lanjutan hadis di atas, Rasulullah memberikan jalan keluar, sebagaimana juga dijelaskan dalam sebagian kitab-kitab fikih, “waman lam yastathi’ fa’alaihi bish-shaumi” (yang tidak ba’ah, hendaknya berpuasa). “Fa’innahu aghaddu lil-bashari wa’ahshanu lil-farji” (agar lebih bisa mengekang syahwatnya).

Jika dengan berpuasa syahwat masih belum juga terkendali, daripada berpacaran, tidak perlu ragu untuk menikah. Persoalan materi jangan sampai menghambat azam dan keinginan kuat seseorang untuk melangsungkan pernikahan.

Fauzil Adzim menyampaikan, meski belum mempunyai kemampuan ekonomi yang memadai, orang-orang yang telah berbekal kesiapan ruhiyah lebih siap bertanggung jawab atas keluarganya. Allah menjamin rezeki bagi mereka yang mau menikah (Q.S. An-Nur: 32).

Selain itu, Diana E. Papalia dan Sally Wendkos Olds mengemukakan, usia terbaik untuk menikah bagi perempuan ialah 19-25 tahun, sedangkan bagi laki-laki ialah 20-25 tahun. Suryadi Az, dalam Sukses Menikah Sukses Kuliah (2005) juga menyatakan bahwa, umur kuliah adalah masa produktif dan subur.

Pada tataran selanjutnya, bagaimana jika sudah menikah tetapi belum memungkinkan untuk berumah tangga, sedangkan menunda pernikahan membuat hati tersiksa?

Fauzil Azhim, dalam salah satu bukunya, mengangkat sebuah konsep yang barangkali bisa menjadi jalan keluar bagi mahasiswa yang masih menginjak bangku kuliah tetapi berkeinginan kuat untuk menikah.

Kata beliau, “Menikahlah dulu, berumahtangganya kemudian.” Maksud beliau, orang yang menikah belum tentu berumah tangga. Berumah tangga bisa dilakulan nanti setelah lulus kuliah. Simpel, bukan?

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *