Menu Tutup

Ribakah Menukar Uang Pecahan ke Tukang Jasa Tukar di Pinggir Jalan?

DatDut.Com – Lebaran selain momen tepat untuk bermaafan juga saat yang digunakan banyak orang untuk berbagi. Saat hati dan perasaan diliputi kegembiraan dan kebahagiaan, maka memaafkan orang lain akan terasa lebih gampang. Saat yang sama pula, banyak orang yang tangannya ringan untuk bersedekah. Ya, momen lebaran banyak orang yang bersedekah, utamanya pada anak-anak yang datang bersama orangtua mereka ataupun berkunjung bersama teman sebaya.

Ngomong-ngomong soal sedekah uang kepada anak kecil, banyak orang menjelang lebaran sibuk mencari uang pecahan. Dari uang lima ribuan hingga sepuluhan ribu. Uang pecahan sebesar itu adalah yang paling umum dan paling digemari. Bagi anak-anak calon “mustahiq” angpao lebaran, uang lima ribu sudah merupakan rezeki besar. Sepuluh ribuan bisa menjadi rezeki super bagi mereka.

Soal tukar uang, selain di Bank, banyak juga yang memanfaatkan jasa tukar uang. Mereka ini disebut tukang tukar uang, calo uang dan sebagainya. Daripada harus antri berjubel di bank, menukar uang pecahan besar dengan pecahan yang lebih kecil akan lebih menghemat waktu dan tenaga. Meski harus rela memberi semacam ongkos kepada mereka ini. Misalnya tukar uang Rp.100 ribu akan mendapat pecahan uang sejumlah Rp.90 ribu. Ongkosnya Rp.10 ribu. Biasanya ongkos calo uang pecahan ini memang 5-10% dari total uang.

Lalu termasuk akad apa kasus tersebut. Berikut ulasannya:

[nextpage title=”1. Termasuk Akad Jual Beli?”]

1. Termasuk Akad Jual Beli?

Dalam Hasil Keputusan Bahtsul Masail ke-9 FMP3 (Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri) se-Jawa Timur komisi A, di Ponpes Putri Modern Ar-Rifa’ie Gondanglegi Malang, 6-7 Februari 2016, disimpulkan bahwa akad yang terjadi antara penyedia uang recehan/pecahan dengan pemilik uang bisa tergolong akad jual-beli. Ingat, dalam bahasa fikih, istilah bai’ yang biasa diterjemahkan sebagai akad jual-beli, juga mencakup terhadap praktik barter atau tukar menukar barang/harta.

Hal itu didasarkan pada realitas bahwa posisi mata uang di zaman sekarang bukan lagi menunjukkan cadangan emas suatu negara melainkan terkait dengan neraca perdagangan antarnegara sehingga terjadilah naik turunnya harga mata uang ketika dibandingkan dengan mata uang negara lain seperti yang biasa kita jumpai.

[nextpage title=”2. Mata Uang Non-Logam Mulia Bukan Mal Ribawi”]

2. Mata Uang Non-Logam Mulia Bukan Mal Ribawi

Lebih lanjut dijelaskan bahwa mata uang rupiah tidak tergolong mal ribawi (emas, perak, bahan makanan) menurut mazhab Syafi’i. Karena bukan tergolong harta ribawi, maka tukar-menukar dengan selisih nominal pun diperbolehkan. Seperti dijelaskan dalam I’anah ath-Thalibin, Juz 3/11-12.

“Harta ribawi, hanya terbatas pada dua hal saja yaitu makanan seperti gandum, jewawut, kurma kering, kurma basah, garam, beras, jagung, kacang ful, dan mata uang emas perak baik yang telah dicetak maupun lantakan. Dalam transakasi tukar-menukarnya, bila sesama jenis disyaratkan kontan dan serah terima langsung….”

Ungkapan muhsanif nuqd dalam at-Tuhfah yang dijelaskan sebagai berikut: “Ilatnya riba dalam logam mulia adalah kebendaannya sebagai penentu harga, karenanya riba tidak terjadi pada uang tembaga meskipun mata uang tersebut terlaku umum.”

Karena tidak tergolong sebagai benda ribawi inilah, sehingga dalam fikih Syafi’iyyah, sebagaimana dipaparkan dalam Hasil Bahsul Masail tersebut bahwa tukar menukar uang rupiah dengan selisih nominal adalah boleh.

Sementara mazhab Malikiyyah melarang transaksi tukar uang dengan selisih nominal karena memandang sisi rupiah/alat tukar non emas dan perak sebagai alat pembayaran. Sehingga mata uang tersebut bisa disamakan dengan emas dan perak, dan karenanya tidak boleh ditukarkan dengan sesamanya berselisih nominal.

Seperti salah satu keterangannya dalam al-Fawakih ad-Dawani, 5/403, “Terjadi beda pendapat tentang ilat riba dalam mata uang logam. Ada yang berpendapat karena keumuman menjadi harga, ada juga yang mengatakan karena kemutlakan sifat menjadi harga. Kalau menurut pendapat pertama, maka fulus (mata uang non emas/perak) tidak tergolong benda ribawi (karena tidak menjadi mata uang yang umum terpakai). Sementara` menurut pendapat kedua, fulus termasuk benda ribawi karena kemutlakannya sebagai harga.”

[nextpage title=”3. Pendapat K.H. Abdurrahman Navis”]

3. Pendapat K.H. Abdurrahman Navis

Agak berbeda dari hasil bahsul masail tersebut, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, K.H. Abdurrahman Navis mengatakan kepada nu.or.id bahwa praktik penukaran uang rupiah dengan selisih nominal adalah tidak boleh. Harus dengan nominal yang sama. Jangan ada pengurangan.

Keterangan tersebut tampaknya mempertimbangkan sisi kemutlakan sifat menjadi alat tukar pada uang kertas/rupiah. Solusinya, biaya atau ongkos penukaran diminta di luar nominal yang ditukarkan. Jadi uang satu juta tetap ditukar uang pecahan sejumlah 100 juta, sedangkan ongkosnya diminta setelahnya. Sehingga proses transaksi tukar menukar uang rupiah tersebut tetap dalam koridor tukat-menukar. Lalu setelah proses tukar uang selesai, barulah uang yang dinamakan dengan “ongkos antri bank” bisa diberikan.

Demikian terkait boleh tidaknya tukar uang pecahan dengan selisih nominal kepada tukang uang recehan. Semoga menambah wawasan.

Baca Juga: