Menu Tutup

Ini Sikap, Pendapat, dan Pertanyaan RA Kartini tentang Poligami

DatDut.Com – Setiap tanggal 21 April, sebagai warga Indonesia kita merayakan Hari Kartini. Pada tanggal itu kita memperingati tonggak sejarah kebangkitan dan pemberontakan peran kaum Hawa untuk menuntut persamaan hak dengan kaum Adam, yang sering kita sebut sebagai emansipasi.

Tanggal itu diambil dari hari lahir Kartini yang jatuh pada 21 April 1879. Ia terlahir dari rahim Ngasirah dari seorang ayah yang bernama Sosroningrat, yang saat itu masih wedana dan kemudian hari menjadi bupati Jepara.

Namun, tahukah kita apa yang dialami Kartini ketika konon memperjuangkan hak-hak kaum wanita dan ketika ia harus menjalani hidupnya yang nyata? Dalam surat-suratnya kepada sahabat-sahabat Belandanya, Kartini sangat keras mengkritik poligami.

Namu ternyata akhirnya ia harus menikah dengan Djojoadiningrat yang sudah punya tiga istri dan tujuh anak. Berarti ia istri termuda, yang lebih sering dilihat dalam struktur budaya kita sebagai penggoda. Bahkan, putri tertua suaminya hanya terpaut delapan tahun dengan umurnya. Ini jelas semakin melengkapi citra kurang baiknya ketika itu.

Perkawinan pada 8 Nopember 1903 itu menjadi titik balik mencengangkan,  yang tentu saja jarang diungkapkan para pengagung feminisme dan kesetaraan jender. Perubahan yang dialami Kartini setelah menikah ini memang aneh.

Secara praktis, pernikahan ini mengakhiri perlawanan Kartini terhadap praktik poligami di lingkungan masyarakat Jawa. Seorang pemberontak yang tiba-tiba berbalik arah melakukan hal yang dikritiknya. Setelah diboyong ke Rembang dan menjadi raden ayu di kabupaten, ia memang tidak lagi bicara soal peran perempuan, atau menyerang poligami, bahkan juga cita-citanya mengenai pendidikan. Ia sudah lunak.

Nah, apa sajakah pendapat dan fakta tentang Raden Ajeng Kartini dan poligami? Berikut 5 di antaranya:

1. Pendapat Kartini tentang Poligami

Dikutip dari buku Tapak-tapak Pejuang karya A. Suryana Sudrajat, berikut pendapat Kartini tentang poligami:

“Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah, yang apabila sudah bosan dengan anak-anaknya, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam,” tulis Kartini kepada Stella Zeehandelaar, sahabat korespondensinya.

Katanya, meskipun hal itu seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut ajaran Islam, selama-lamanya dia tetap menganggapnya sebagai dosa. “Bisa dibayangkan bagaimana siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai istri suaminya yang sah?”

Dari tulisan di atas jelaslah bagi Kartini, poligami adalah aib dan dosa, karena memperlakukan perempuan sewenang-wenang. Karena itu, serangan-serangannya amat tajam dan cenderung emosional, seperti terlihat paling tidak dalam surat itu.

[nextpage title=”2. Pertanyaan Kartini terhadap Snouck Hurgronje tentang Poligami”]

2. Pertanyaan Kartini terhadap Snouck Hurgronje tentang Poligami

Kritik Kartini kepada Islam yang mendukung poligami memang keras. Ia bahkan sempat bertanya kepada Snouck Hurgronje melalui sahabat korespendensinya yang lain tentang hak dan kewajiban perempuan, juga anak perempuan, dalam hukum Islam.

Beberapa waktu kemudian dia beroleh jawaban yang intinya bahwa tidak ada masalah dengan hal itu. Ia tentu saja sangat kecewa dengan jawaban Snouck. Ia menganggap aneh sikap dan tanggap Snouck itu. Menurutnya, sang orientalis tidak memahami psikososial wanita Jawa yang mengalami hal itu. Sayang, Kartini tidak mengetahui kalau Snouck juga pelaku poligami. Pakar Islam yang wong londo ini konon juga menikah dua kali dengan gadis pribumi, yang bahkan umumrnya masih bau kencur.

[nextpage title=”3. Poligami Menjadi Musuh Kartini”]

3. Poligami Menjadi Musuh Kartini

Ia menganggap poligami sebagai musuh terbesarnya yang memang berukuran raksasa, tetapi ia merasa tidak punya teman. Ia tak jarang didera keputusasaan. “Saya tidak mau. Mulutku menjerit, hatiku menggemakan jeritan itu ribuan kali,” katanya mengenai musuhnya yang dianggapnya sebagai biang keterpurukan perempuan Jawa, dan bukan tatanan feodalistik masyarakat Jawa yang menjadi biang keterpurukan perempuan yang sebenarnya.

Namun, semua yang terlihat berapi-api itu hanya menjadi wacana belaka ketika Kartini harus menghadapi realitas hidup yang sebenarnya, ketika ia pun tak bisa memilih dengan akal sehatnya. Ia toh akhirnya menjadi istri dari suami yang berpoligami.

[nextpage title=”4. Ketika Ayahnya Berpoligami”]

4. Ketika Ayahnya Berpoligami

Kartini luar biasa memainkan perannya dalam mengarungi bahtera hidupnya. Ia mengalami hidup yang tak bisa dimengertinya, setelah ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Moerjam, keturunan bangsawan Madura.

Wanita saingan ibunya inilah yang kemudian menjadi raden ayu bupati Jepara, bukan Ngasirah yang telah melahirkan delapan anak (teremasuk Kartini), ketika ayahnya menjadi bupati. Ngasirah, putri pedagang kopra dari Mayong, Jepara, tergusur. Ia hanya seorang selir dan tidak berhak tinggal di rumah utama kabupaten.

Ia pun berontak dengan kehidupan yang dianggapnya aneh itu. Saat itu dia selalu mengutuk kegelapan. Mungkin agak tidak nyaman bila saya mengatakan, ketika mengutuk kegelapan, Kartini seperti tidak mampu mencerap sistem yang sebenarnya bertanggung jawab dalam menghinakan dan menindas perempuan.

Tetapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika sistem dan kuasa Tuhan memaksanya untuk melakukan apa yang sangat dibenci sebelumnya. Saudaranya yang lain pun harus melaksanakan paksaan sistem yang membuat saudaranya itu menikah dengan pria beristri. Ia akhirnya menikmati sistem yang dibencinya itu. Dia sendiri menikah dengan jenis laki-laki yang tidak dihormatinya itu.

[nextpage title=”5. Setelah Kartini Menikah dengan Suami yang Berpoligami”]

5. Setelah Kartini Menikah dengan Suami yang Berpoligami

Di kota suaminya, ia tidak lagi bicara tentang nestapa kaum wanita lagi. Meski demikian, ia masih bersuara cukup jernih dan keras tentang rakyat yang miskin akibat pajak dan politik candu pemerintah. Ia bahkan bangga menceritakan usaha suaminya untuk melawan kebijakan pemerintah itu. Kepada sahabat korespondensinya, ia  mengatakan hidupnya bahagia di tengah tiga selir, yang hidupnya tergusur oleh dirinya, seperti dulu ibunya tergusur oleh saingannya yang dari Madura.

Kartini seperti telah melalui masa kelamnya dalam menghadapi masalah dalam hidupnya. Ia mungkin mulai menyadari masalah poligami tidak selamanya berisi kegelapan. Ia mencoba menyalakan lilin pada poligami yang sebelumnya ia anggap hanya berisi kegelapan.

Kartini telah melihat semuanya dari dua sisi. Satu sisi ketika ibunya, Ngasirah, mendapat saingan baru. Ini sisi yang ia benci, karena di situ ia korban. Di satu sisi lain, ia justru menjadi pendatang baru yang menyisihkan istri-istri lama suaminya. Ini sisi yang ternyata ia sukai, karena meskipun mungkin ia merasa menjadi korban, toh ia menikmati perannya sebagai istri muda yang sedikit-banyak lebih memperoleh fasilitas.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *