Menu Tutup

Tradisi Riset, Dilema Kampus, dan Setengah Hatinya Dukungan Pemerintah

DatDut.Com – Cita-cita bangsa ini untuk menjadi negara maju tidak diiringi dengan usaha yang serius dan berkepanjangan. Di antara negara-negara yang tergabung dalam G-20 Indonesia merupakan negara yang menganggarkan dana untuk riset hanya sebesar 0,1 dari produk domestik bruto.

Alhasil dari rendahnya dana yang dianggarkan oleh pemerintah berdampak pada hasil riset yang dilakukan oleh para peneliti. Lihat saja negara kita masih dikuasai oleh teknologi negara lain, mulai dari telepon seluler, mobil, sepeda motor, komputer dan masih banyak yang lainnya. Padahal riset bagi suatu negara merupakan suatu hal yang sangat urgen ditengah pertumbuhan teknologi yang begitu pesat.

Aktivitas riset di negara-negara maju menempati posisi tertinggi dan dinggap sebagai kebutuhan primer, karena di negara maju semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus melalui tahapan riset terlebih dahulu agar apa yang dilakukan tidak salah sasaran, selain itu setiap hasil riset akan diakomodasi pemerintah.

Berbeda dengan Indonesia yang kerap kali membuat suatu kebijakan yang mentah dan lebih sering kebijakannya tidak tepat sasaran dan sekalipun ada yang melakukan riset hasilnya lebih sering terabaikan.

Jika di negara maju seperti Jepang dan Amerika kegiatan riset sudah dikenalkan sejak dini atau setidaknya sejak awal jadi mahasiswa dan setiap mahasiswa diberikan mentornya masing-masing. Berbeda dengan Indonesia, di negara ini kegiatan riset baru diperkenalkan menjelang tugas akhir (skripsi) dan hanya didampingi oleh dosen alakadarnya saja dan banyak dari mahasiswa yang menjadikan kegiatan riset ini hanya sebagai syarat prosedural untuk lulus saja.

Selain itu dosen-dosen di perguruan tinggi banyak yang hanya terfokus pada pengajaran dan menjadi konsultan proyek. Perguruan tinggi yang diharapakan menjadi penyokong tenaga riset ternyata malah menjadi salah satu faktor utama tidak produktifnya kegiatan riset. Jumlah peneliti Indonesia menempati posisi terendah di antara negara anggota G-20, yaitu hanya 89 orang per satu juta penduduk, berbanding jauh dengan Singapura yang punya 6.658 peneliti per satu juta penduduk (Kompas20/9/16).

Selain jumlahnya yang sangat kecil, kualitas peneliti Indonesia relatif rendah. Dari beberapa lembaga penelitian, seperti Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), hanya BPPT yang 10 persen pegawainya berpendidikan doktoral, yang lainnya hanya sekitar 2 persen.

Lagi-lagi jika dibandingkan dengan negara maju hanya orang yang berkualifikasi doktor yang bisa jadi peneliti. Orang yang bergelar sarjana dan magister hanya menjadi pendamping. Keadaan berbeda dengan negara maju, di Indonesia orang yang baru bergelar sarjana dan magister sudah jadi peneliti. Hal ini menandakan betapa kurangnya tenaga peneliti di negara ini.

Umur rata-rata peneliti di sejumlah lembaga penelitian kini mulai memasuki masa tua. Sekitar separuh tenaga peneliti di LIPI, BATAN, LAPAN, dan BPPT berumur lebih dari 45 tahun. Itu berarti sekitar 5 sampai 7 tahun kedepan banyak dari mereka yang pensiun. Artinya akan banyak tenaga peneliti yang berkurang. Hal ini akan berdampak buruk jika tidak segera ditangani dengan mempersiapkan generasi yang lebih muda untuk menjadi peneliti.

Hasil riset peneliti Indonesia seringkali terabaikan atau tidak terakmodasi dengan baik. Banyak hasil riset peneliti Indonesia yang malah dipakai oleh negara lain, seperti jaringan 4G pada jaringan internet yang ditemukan oleh peneliti Indonesia yang sekarang dikembangkan oleh Jepang.

Ada setidaknya dua kemungkinan yang melatarbelakangi hal itu. Pertama karena memang para peneliti risetnya dibiayai oleh negara lain dan kedua karena Indonesia belum mampu mengakomodasi hasil riset dan kemudian direalisasikan.

Selain hasil riset peneliti Indonesia yang seringkali lebih dipentingkan oleh negara lain, hasil riset di Indonesia juga sering tumpang tindih. Contohnya, BATAN memiliki penelitian benih padi varietas ungul tetapi tak termanfaatkan karena Kementerian Pertanian lebih memprioritaskan varietas padi unggul hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) yang ada di bawahnya.

Belum lagi rencana-rencana riset lainnya yang membutuhkan pendanaan besar terpaksa ditunda karena anggaran yang ada tidak bisa memenuhi kebutuhan riset, karena anggaran negara ini lebih sering digunakan untuk penyelenggaran program yang lebih bersifat ceremonial ketimbang yang substansial seperti riset.

Pada masa BJ. Habibie pemerintah jelas sangat berpihak pada kegiatan riset, dibuktikan dengan pembangunan infrastruktur riset yang mempuni dan menyelenggarakan pendidikan riset dengan mengirim pelajar-pelajar Indonesia untuk kuliah di luar negeri dengan harapan saat kembali bisa mengembangkan riset di Indonesia.

Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini para pakar peneliti seperti Kepala LIPI Iskandar Zulkaranain mengharapkan agar semua elemen pemerintahan seperti, Presiden, Menteri dan DPR harus mendukung penuh riset.

Dukungan yang diperlukan adalah sistem yang mengatur tentang riset harus diperbaiki harus disesuikan dengan perkembangan zaman, kemudian anggaran riset harus disesuiakan dengan kebutuhan lembaga-lembaga riset dan harus ada sikap saling percaya antara pemerintah dengan lembaga riset serta mau mengakomodasi hasil riset para peneliti.

Untuk menjaga agar riset dan pengembangan teknologi terarah, maka pemerintah harus menyusun Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2015-2045, agar jelas arah tujuan riset yang akan dilakukan (Kompas, 21/9/2016).

Perbaikan sistem dalam bidang riset harus dijalankan secara berkesinambungan, hal ini dilakukan untuk meningkatkan produktifitas negara. Inovasi-inovasi harus segera dilakukan karena di tengah pesatnya pertumbuhan teknologi kegiatan riset sangat diperlukan karena inilah yang bisa menunjang kebutuhan negara akan teknologi.

Kemudian hasil riset yang matang harus diakomodasi oleh pemerintah. Pemerintah harus melakukan riset untuk menetapkan suatu kebijakan agar tepat sasaran dan berdaya guna untuk masyarakat.

Ternyata masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan bila kita tak ingin semakin tertinggal dari negera lain, terutama negara-negara tetangga yang dulunya malah belajar dari kita.

 

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *