Menu Tutup

Jangan Permasalahkan Imsak, Niat Puasa, dan Tarawih Kami! Karena Kami Punya Dalilnya

DatDut.Com – Dalam menjalani puasa Ramadan, muslim Indonesia punya macam-macam tradisi yang unik. Mulai cara membangunkan sahur hingga pelaksanaan ibadah tarawih. Untuk menyikapinya tentu harus memahami mana bagian yang termasuk dalam ranah ibadah dan mana yang dalam ranah tradisi baik.

Sebenarnya permasalahan-permasalahan tradisi di bulan Ramadan sudah terjawab dalam berbagai penjelasan. Namun hal itu tak membuat orang lantas berhenti mempermasalahkannya. Maka perlu penyegaran ulang untuk memahami landasan tradisi baik tersebut, dan agar orang lebih toleran terhadap pemahaman yang berbeda dari pendapat kelompoknya.

Karena tradisi-tradisi yang baik itu layak dipertahankan, maka tulisan ini coba mengetengahkan beberapa dalil dan alasan untuk tradisi yang biasa terjadi di masyarakat. Kalaupun dalam praktiknya suatu tradisi menimbulkan hal kurang baik, maka pelaksanaanya yang perlu diperbaiki, bukan lantas diberantas total dengan hukum haram dan divonis bidah.

Berikut ini tradisi di bulan ramadan yang biasa dipermasalahkan dan dipertanyakan dalilnya:

[nextpage title=”1. Mengucapkan Niat Puasa”]

1. Mengucapkan Niat Puasa

Niat merupakan salah satu yang menjadi hal pokok dalam berbagai ibadah. Mulai dari salat, zakat, puasa dan sebagainya. Niat sendiri ditegaskan saat mulai melaksankan ibadah dan tempatnya dalam hati. Tanpa niat dalam hati, ibadah dianggap tidak sah.

Soal pengucapannya, merupakan hal baik bahkan sunah untuk menguatkan niat dalam hati saat memulai suatu amal ibadah. Landasan yang dijadikan dasar mengiyaskan pengucapan niat adalah hadis yang menceritakan bahwa rasulullah Saw. melafalkan niatnya saat ibadah Haji.

عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا

Dari Anas r.a. yang berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw. mengucapkan, “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji.” (HR Muslim)

Qiyas pengucapan niat ibadah lain, misalnya salat, terhadap pengucapan niat haji dan umrah tersebut salah satunya dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj (II/h.12). “Disunahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya. Walaupun pendapat yang mewajibkan tersebut adalah syadz (menyimpang). Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pengucapan dalam niat haji.”

[nextpage title=”2. Menetapkan Waktu Imsak”]

2. Menetapkan Waktu Imsak

Kita biasa mengikuti peringatan imsak untuk menghentikan kegiatan sahur. Dalam berbagai jadwal imsakiyah bulan Ramadan, imsak ditetapkan 10 menit sebelum waktu subuh. Imsak sendiri merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak melanggar waktu subuh.

Rasulullah Saw. juga menghentikan kegiatan makan sahur sebelum tiba waktu subuh.

عن أنس عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال تسحرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم ثم قام إلى الصلاة قلت كم كان بين الأذان والسحور قال قدر خمسين آية

Dari Zaid bin Tsabit Ra. berkata, “Kami makan sahur bersama Rasulullah Saw., kemudian beliau berdiri untuk melakukan salat.” Anas bertanya kepada Zaid bin Tsabit, “Berapa lama jarak antara azan dan sahur?” Zaid menjawab, “Kira-kira (membaca) 50 ayat.” (HR Bukhari)

Hadis ini dicantumkan oleh Imam Bukhari dalam bab Qadr Kam Baina as-Sahur wa Shalat al-Fajr yang dijelaskan artinya oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul Bari dengan artian “waktu selesainya atau berhentinya makan sahur dan permulaan salat”.

[nextpage title=”3. Pemakaian Sirine atau Sejenisnya sebagai Pengingat untuk Buka dan Sahur”]

3. Pemakaian Sirine atau Sejenisnya sebagai Pengingat untuk Buka dan Sahur

Sebenarnya azan sudah cukup sebagai tanda masuknya maghrib dan pertanda waktunya berbuka puasa tiba. Namun sebagian umat Islam memang tidak langsung azan saat masuk waktu magrib. Sebagai tanda digunakanlah berbagai cara untuk menandai tibanya waktu buka. Ada yang menggunakan sirene, beduk, dan lainnya. Baru setelah membatalkan puasa sekadarnya, azan maghrib dikumandangkan.

Untuk waktu sahur, sudah lumrah tradisi membangunkan orang dengan berbagai alat. Paling umum adalah pengeras suara di masjid. Ada juga yang sukarela berkeliling dengan membawa musik tradisional.

Perlu ditegaskan bahwa keberadaan dan penggunaan alat-alat tersebut bukanlah dalam ranah ibadah. Beduk dan sirine saat maghrib juga bukan pengganti adzan. Alat tersebut dipakai untuk menandakan masuknya waktu saja. Begitu juga membangunkan sahur dengan berbagai cara. Tidak dimaksudkan menggantikan azan pertama sebelum subuh.

Sebagai catatan, seperti dilansir Dream.co.id, Arab Saudi melestarikan tradisi penggunaan meriam selama Ramadan. Meriam itu digunakan untuk menandai masuknya bulan Ramadan, waktu buka puasa, waktu imsak, dan masuknya bulan Syawal.

[nextpage title=”4. Peringatan Nuzulul Qur’an”]

4. Peringatan Nuzulul Qur’an

Peringatan Nuzulul Qur’an tidak lain adalah untuk menghidupkan malam ketujuh belas Ramadan dengan kegiatan bernilai ibadah. Biasanya diisi pengajian, zikir dan sebagainya. Mengistimewakan malam tujuh belas Ramadan dicontohkan oleh Zaid bin Tsabit r.a.

عن خارجة بن زيد بن ثابت عن أبيه : أنه كان يحيي ليلة ثلاث وعشرين من شهر رمضان وليلة سبع وعشرين ولا كاحيائه ليلة سبع عشرة فقيل له : كيف تخص ليلة سبع عشرة ؟ فقال : إن فيها نزل القرآن وفي صبيحتها فرق بن الحق والباطل وكان فيها يصبح مبهج الوجه

Dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit dari ayahnya bahwa Zaid selalu giat beribadah pada malam 23 dan 27 bulan Ramadlan. Namun tidak seperti ketika beliau menghidupkan malam ke 17. Zaid bin Tsabit ditanya, “Mengapa engkau mengkhususkan malam ketujuh belas?” Zaid menjawab, “Pada malam itu al-Qur’an diturunkan dan pada paginya dipisahkan antara yang hak dan yang batil.” (HR at-Thabrani)

[nextpage title=”5. Komando Saat Tarawih”]

5. Komando Saat Tarawih

Tradisi di masyarakat dalam tarawih juga melibatkan adanya seorang petugas yang menyerukan ajakan salat dan doa taradhi (ucapan radhiyallahu anhu ketika menyebut nama khulafa rasyidin). Bentuk seruannya berbeda-beda. Intinya mengajak shalat, disisipi seruan salawat dan taradhi bersahutan dengan jamaah. Adanya seruan salawat bersahutan itu juga dalam rangka melawan kantuk saat tarawih.

Pemberlakuan seruan semacam ini salah satunya dijelaskan dalam dalam kitab Hasyiyataa Qulyubi wa ‘Umairah, 2/hal.128.

وَيُقَالُ فِي الْعِيدِ وَنَحْوِهِ مِمَّا تُشْرَعُ فِيهِ الْجَمَاعَةُ كَالْكُسُوفِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَالتَّرَاوِيحِ ( الصَّلَاةَ جَامِعَةً ) لِوُرُودِهِ فِي حَدِيثِ الشَّيْخَيْنِ فِي الْكُسُوفِ وَيُقَاسُ بِهِ نَحْوُهُ

“Dalam salat id dan shalat yang disyariatkan pelaksanaan secara berjamaah (seperti salat khusuf, salat istisqa dan salat tarawih) disunahkan membaca ‘As-shalatu Jami’ah‘. Hal ini berdasarkan hadis Bukhari-Muslim tentang salat kusuf, adapun yang lainnya diqiyaskan dengannya.”

Hadis yang dimaksud adalah:

عن عروة عن عائشة : أن الشمس خسفت على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فبعث مناديا الصلاة جامعة

Dari ‘Urwah; dari Aisyah r.a yang menceritakan bahwa pada masa hidup Rasulullah Saw. telah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seorang yang menyeru (untuk mengucapkan), “Ashalatu Jami’ah”.

Begitulah, para ulama mengiyaskan seruan bilal tarawih dengan seruan salat gerhana. Bahkan dalam al-Qashidah al-Bakriyyah al-Hadhramiyyah fii al-Raddi ‘Ala al-Rafidhah al-Imamiyah, pembacaan taradhi merupakan bagian dari upaya menentang Syiah Imamiyyah yang gemar mencaci 3 sahabat nabi selain Imam Ali r.a.

Baca Juga: