Menu Tutup

Yang Masih Ngeributin Tarawih 11 dan 23 Rakaat, Mungkin Butuh Refreshing

DatDut.Com – Entah sampai kapan umat Islam di Indonesia bisa terbebas dari kebiasaan mengulang-ulang isu yang diperdebatkan. Tak bisakah mencari topik pro-kontra yang baru, agar umat mendapat ilmu baru. Kenapa isu yang sama diulang-ulang tiap tahun, sehingga relatif tak ada yang baru dan tentu tak ada yang diuntungkan dari konflik dan pro-kontra itu.

Hari-hari ini kita kembali disuguhkan silang pendapat yang berseliweran di beranda akun medsos kita. Satu teman men-share pendapat ustad yang menyebut hanya 11 rakaat (ditambah witir) yang dalil yang sahih.

Teman medsos yang satunya lagi men-share pendapat bahwa banyak dalil sahih terkait tarawih yang 23 rakaat (ditambah witir). Yang terakhir menyebut bahwa yang dilakukan para sahabat 20 rakaat. Lalu teman yang pertama bilang, mau ikut Rasulullah apa sahabat. Padahal, tak mungkin sahabat berani membuat variasi ibadah baru yang tak diizinkan Rasulullah.

Sungguh debat dan silang pendapat yang sama sekali tidak dilandasi ilmu. Debat yang hanya ingin memenangkan keegoaan dan kesombongan. Maka, pertanyaan sederhananya, masa hanya gara-gara ibadah sunah, umat Islam justru harus gontok-gontokan, yang justru amat sangat dilarang dalam Islam.

Apalagi yang diperdebatkan adalah sesuatu yang berada di wilayah ijtihad, yang tak bisa dipersalahkan bila ada dalil dan sudah sesuai metodologi pengambilan ijtihad. Bahkan, tarawih berjamaah juga bagian dari ijtihad Sayyidina Umar r.a. yang memandang bahwa ada syiar dalam berjamaah tarawih.

Maka, jauh-jauh hari Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, menyebut bahwa tak ada dalil sahih soal tahdid al-adad (pembatasan jumlah rakaat) dalam ibadah tarawih. Yang mau 11, silakan. Yang mau 23 juga silakan. Bahkan tidak tarawih pun, juga tidak apa-apa. Kalau tarawih, kualitas tarawihnya yang terpenting.

Fatwa Pak Kiai didasari atas banyaknya variasi jumlah rakaat yang berkembang sepanjang perjalanan sejarah umat Islam di berbagai kawasan. Jumlah tarawih tidak hanya 11, 13, dan 23, bahkan sempat dilakukan sejumlah 33, 36, 39 rakaat, dan hingga 100 rakaat.

Pada masa masa Umar bin Abdul Aziz, tarawih bahkan dilaksanakan hingga 36 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Imam Syafi’i bahkan masih sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan tarawih di Madinah dengan 39 rakaat dan di Mekah 33 rakaat. Di beberapa kawasan di Yaman, seperti Tarim, tarawih dilaksanakan sebanyak 100 rakaat hingga hari ini.

Atas dasar apa yang dilihat itulah, Imam Syafi’i berpendapat bahwa jumlah rakaat tarawih memang memiliki kelonggaran. Pertanyaan sederhananya, apakah kita merasa lebih hebat daripada Imam Syafi’i? Kita yang hidup di akhir zaman, kadang sering merasa lebih hebat daripada para pendahulu yang saleh. Sayangnya, kita sering kali alpa menilai, pantaskah perasaan merasa hebat itu bila menilik berapa hapalan Alquran kita, berapa hapalan hadis kita, berapa perangkat ilmu syariah yang kita kuasai.

Nah, pada kesempatan ini saya hanya mengajak, ayo bertarawih, berapa pun jumlahnya. Pilihan rakaat yang Anda pilih, tak perlulah membuat Anda merasa hebat, sombong, dan lebih sunah. Lalu, menilai tarawih orang lain salah, tak berpahala, dan tak ada dalilnya. Karena jika itu yang Anda lakukan, sepertinya ada masalah dengan ibadah Anda. Anda mengerjakan ibadah sunah, tapi pada saat yang sama Anda justru melanggar larangan Allah yang membuat iblis terlempar dari surga.