Menu Tutup

Syekh Al Buthi, Ulama Besar Suriah yang Syahid di Meja Ceramah

DatDut.Com – Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, sebuah nama yang sangat familier dan bersanding erat dengan sebuah negara yang kini tengah tercabik perang dahsyat dalam berbagai tema, Suriah.

Empat tahun lalu, tepatnya pada 21 Maret 2013, beliau syahid dalam sebuah serangan di masjid saat sedang memberikan ceramah. Pihak yang bertanggung jawab masih simpang siur. Namun yang pasti, beliau menjadi salah satu korban keganasan sebuah peperangan yang melibatkan berbagai pihak, baik antar anak bangsa Suriah maupun dengan para ‘pejuang’ dari negara-negara lain.

Sementara di negeri kita, saat ini pertempuran pendapat tak kalah serunya. Perbedaan pendapat itu tak jarang berujung pada stempel-stempel buruk semacam munafik, bahkan murtad. Di media sosial, saya kerap menjumpai meme dan artikel yang membubuhkan atau membahas perkataan Imam Al Syafi’i yang satu ini:

“Perhatikanlah panah-panah musuh (ditujukan kepada siapa), maka akan menunjukimu siapa pengikut kebenaran.”

Di antara rekan saya ada yang menerjemahkannya dengan mengatakan ulama A atau B sebagai representasi pembawa kebenaran saat ini dengan melihat apa yang telah dilakukannya dan apa yang menimpanya.

Dalam kesempatan yang sama, rekan saya itu mengatakan ulama atau orang lain sebagai ulama palsu atau seorang munafik dengan mengacu pada perkataan lain Imam Al Syafi’i berikut:

“Ikutilah ulama yang dibenci kaum kafir, kaum munafik dan kaum fasik. Jauhilah ulama yang disenangi kaum kafir, kaum munafik dan kaum fasik karena ia ia akan menyesatkanmu, menjauhimu dari ke-ridha-an Allah.”

Meskipun tidak menyebut secara lugas siapa orang-orang yang dimaksud, deskripsinya tentang apa yang dilakukan si tertuduh cukup melegitimasi pendapat saya mengenai siapa orang yang dimaksudkannya.

Bukan bermaksud meragukan kesahihan pendapat Imam Al Syafi’i, namun saya hanya tidak sependapat dengan ‘hasil istinbath’ mereka. Kelihaian saudara-saudara saya itu saya nilai sebagai sebuah ketergesa-gesaan dalam menyikapi sebuah perbedaan pendapat. Karena berpangkal dari situ, dengan mudah pikiran saya melayang kepada sosok ulama yang dimuliakan oleh ratusan bahkan mungkin ribuan orang alim lain, Syekh Al Buthi.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa beliau dekat dengan rezim penguasa, baik semasa Hafez Assad maupun anaknya, Bashar Al Assad. Namun apakah tindakan Syekh Al Buthi tersebut tanpa pertimbangan yang matang dari sudut pandang agama? Lalu apakah parameter satu-satunya yang digunakan untuk menuduh si C munafik atau si D ulama palsu adalah kedekatannya dengan penguasa yang kadung dicap fasik atau kafir?

Mari kita cermati tentang kisah syaikh Al Buthi. Deskripsi (dengan suntingan) di bawah ini ditulis oleh Ustaz Nandang Burhanuddin yang pernah menjadi saksi atas kealiman seorang Syekh Al Buthi. Semoga nantinya kita bisa menahan diri dari melayangkan tuduhan-tuduhan keji terhadap sesama muslim dengan berkaca pada kisah ini.

[nextpage title=”Riwayat Hidup”]

Riwayat Hidup

Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi dilahirkan di kampong Gelika pulau Buthan wilayah Kurdistan, Turki tahun 1929, 5 tahun setelah khilafah Utsmani dibubarkan oleh Attaruk. Ayahnya bernama Syaikh Mala Ramadhan Al Buthi, seorang alim, takwa, dan memiliki keluasan ilmu.

Hanya 4 tahun Al Buthi tinggal di kampong kelahirannya. Hingga tahun 1933 ia hijrah dibawa ayahnya ke Suriah, akibat maraknya tindakan pembersihan ulama-ulama Islam oleh Attaturk. Keluarga Al Buthi menetap di kampung ‘Ain Dewar, dekat perbatasan Turki-Suriah. Akhirnya, kampung inilah yang ditulis di akte lahir Al Buthi dan adik-adiknya.

Al Buthi mengenyam pendidikan hingga doktor di Al Azhar. Lulus dari Sekolah Agama Islam kesohor Ma’had At Taujih Al Islami di Damaskus yang dipimpin oleh Syaikh Hasan Habannakah Al Maidani. Kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Syariah Universitas Al Azhar tahun 1953 dan berhasil meraih gelar ‘Alamiyah (Syaikh) tahun 1955.

Setelah itu kembali ke kota Homs tahun 1958 dan menetap hingga 1961, menjadi guru di beberapa Sekolah Islam, hingga ditunjuk menjadi dosen pembantu di Fakultas Syariah Universitas Damaskus.

Kemudian Al Buthi dikirim untuk mengambil program Doktor dan meraihnya tahun 1965. Tak lama kemudian ia ditunjuk menjadi dosen penuh di fakultas Syariah, hingga menjadi Dekan.
Al Buthi memiliki banyak karya ilmiah. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Termasuk bahasa Indonesia. Salah satunya yang masyhur adalah Sirah Nabawiyah.

[nextpage title=”Al Buthi dan Hafez Assad”]

Al Buthi dan Hafez Assad

Sepulangnya dari menimba ilmu di Al Azhar, Syekh Al Buthi bekerja menjadi guru PNS di sekolah-sekolah milik pemerintah. Setelah itu diangkat menjadi dosen resmi di Universitas Damaskus.

Ketika Hafez Assad berkuasa tahun 1970, artinya jarak antara Al Buthi lulus dari Al Azhar dan Hafez Assad berkuasa sekitar 16 tahun. Hubungan Assad dengan Al Buthi tentu belum terjalin. Al Buthi seorang dosen, sedangkan Assad menjadi Presiden Suriah.

Hingga pada tanggal 16 Juni 1979, terjadi peristiwa “pembantaian Sekolah Altileri Darat di Aleppo (300 km dari Damaskus)”. Sekolah militer tersebut terletak di wilayah Romusa dekat kota Aleppo sebelah utara Suriah.

Pembantaian dilakukan oleh Kapten Ibrahim Yusuf, perwira di bagian Bintal sekolah Altileri dibantu oleh Front Tempur Jamaah Ikhwanul Muslimin, sebagai aksi pembalasan atas tindakan represif rezim yang salah satu komandannya adalah Hafez Assad. Peristiwa tersebut menewaskan 32 Taruna dan 54 luka-luka.

Usai peristiwa tersebut, kementrian Informasi meminta Syekh Muhammad Ramadhan Al Buthi untuk mengeluarkan fatwa syariah tentang pembantaian. Al Buthi meresponsnya dengan mengungkapkan dalil-dalil syariat yang mengharamkan aksi pembantaian.

Tak lama berselang, kesempatan Al Buthi menuju jalan istana terbuka. Tak disangka, setelah tampil di media hubungan Al Buthi dengan Hafez Assad terbuka.

Hingga pada tahun 1982, Kementrian Wakaf Suriah (Kemenag) yang diwakili menterinya bernama Muhammad Al Khathib mengundang Al Buthi untuk menjadi pembicara tunggal dalam acara Festival Menyambut Abad 15 H. Acara tersebut dihadiri oleh Presiden Hafez Assad. Al Buthi memanfaatkannya untuk menyampaikan nasihat dan doa bagi Hafez Assad.

Hubungan Al Buthi dengan Al Assad semakin intens. Bahkan Al Assad suka mengajak Al Buthi ke istana, berdialog hingga berjam-jam (6-7 jam), membicarakan banyak hal. Saya sempat menjadi saksi sejarah, saat 1998 berkunjung ke Suriah menyaksikan Islamic Book Fair di Damaskus ke-14, Al Buthi benar-benar dicintai rakyat dan penguasa.

Tentu ada juga yang mengkritisi sikap Al Buthi, salah satunya Syaikh Usamah As Sayyid yang menulis buku bantahan terhadap pemikiran Al Buthi berjudul, Ar Raddu Al ‘Ilmi ‘alal Buthi (Bantahan Ilmu untuk Al-Buthi).

[nextpage title=”Hasil Nasihat Al Buthi”]

Hasil Nasihat Al Buthi

Usaha Al Buthi untuk menasihati penguasa berbuah di tataran nyata. Tentu dengan pengorbanan tak sedikit, salah satunya, Al Buthi dituduh tutup mata dengan tindakan Assad. Di antara hasilnya adalah:

1. Al Buthi pernah diundang selama 7 jam, berdialog dengan Hafez Assad. Al Buthi lebih banyak menyimak curhatan Assad, hingga akhirnya Al Buthi menyarankan Hafez Assad untuk membebaskan tokoh-tokoh dan tawanan politik dari Jamaah Ikhwanul Muslimin. Rentang beberapa minggu kemudian, para tapol IM dibebaskan.

2. Saya memprediksi, kesediaan Assad untuk membuka Suriah bagi para pengungsi Palestina setelah peristiwa Pembantaian Shabra dan Syatila terjadi pada September 1982, di Beirut, Lebanon, yang saat itu diduduki oleh Israel adalah hasil dari nasihat yang diberikan oleh Al Buthi.

Bahkan Suriah membuka diri kepada HAMAS untuk membuka satus-satunya kantor Perwakilan HAMAS. (Saat itu, tidak ada satu pun negara Arab yang mau menerima HAMAS untuk membuka markas di luar Palestina – redaksi).

3. Penerbitan buku-buku Islam Sunni termasuk Al Qur’an, sangat digalakkan. Bahkan saat saya mengunjungi toko-toko buku di Suriah, penerbit-penerbit Suriah sukses menjadi penerbit-penerbit buku Islam terkemuka hingga di Mesir.

Beberapa penerbit di Mesir, malah justru dimiliki orang-orang Suriah. Termasuk maraknya majlis-majlis taklim di Damaskus yang didukung penguasa Assad, semisal: Kajian Hadits Bukhari oleh Syaikh Musthafa Dib Al Bugha, Kajian Fiqh dan Syariah oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Kajian Sirah Nabawiyah oleh Al Buthi, hingga kajian dan Kuliah Singkat di Mujamma’ Abun Nur Al Islamy yang dipimpin oleh Syaikh Kaftaro. Di mana kurang lebih ada 25 orang mahasiswa/i Indonesia yang turut menikmati pendidikan di sekolah-sekolah tersebut.

4. Hafez Assad sebelum wafatnya, mengundang Al Buthi ke kediamannya. Ia berpesan agar saat wafat, Al Buthi sukahati menjadi imam. Al Buthi pun menunaikan pesan Al Assad. Hingga peran ini, banyak yang berpendapat, Hafez Al Assad telah melunak dari paham Syi’ah Rafidhah-nya. Dan terbukti, dukungan Suriah terhadap Lebanon melawan Israel semakin menguat.

[nextpage title=”Al Buthi dan Bashar Assad”]

Al Buthi dan Bashar Assad

Hubungan manis Al Buthi dengan rezim Assad, berlanjut hingga kekuasaan Suriah berpindah kepada Bashar Assad. Singkat kata, hingga menjelang demonstrasi yang mengakibatkan revolusi dan perlawanan senjata, Al Buthi telah menjalankan fungsinya sebagai penasihat utama rezim Assad.

Al Buthi bersama rombongan ulama Sunni, mendatangi Assad dan menuntut beberapa hal:

1. Assad membuka diri bagi tuntutan reformasi. Hal ini disanggupi Al Assad dengan melakukan perubahan birokrasi, mengubah menteri di 6 kementrian, dan memecat Perdana Menteri.

2. Assad diminta untuk tidak menggunakan tindakan represif. Al Assad menyanggupi, asalkan demonstrasi anti dirinya dihentikan.

Namun mengapa Assad mengajukan sebuah dokumen kepada Al Buthi bahwa pihak demonstran telah disusupi anasir-anasir Wahabi yang didukung oleh Saudi Arabia, yang justru didukung oleh AS-Barat. Di sini kembali harus bijak dalam bersikap.

Dalam benak Al Buthi, kesatuan rakyat Suriah lebih diutamakan. Maka dalam pelbagai khutbah Jumat, Al Buthi menyerukan persatuan dan kesatuan itu. Al Buthi ingin memahamkan kepada semua elemen termasuk jamaah Ikhwanul Muslimin, di awal-awal demonstrasi untuk menahan diri. Karena demonstrasi dan revolusi sudah ditunggangi.

Tak ada yang mengambil manfaat dari kisruh Suriah, kecuali Israel. Bahkan di salah satu khutbahnya, Al Buthi mengungkapkan hadits sahih tentang keharusan taat kepada pemimpin (amir), terlepas pemimpin itu baik atau jahat, saking pentingnya persatuan dan kesatuan serta stabilitas.

Hadis-hadis yang disampaikan Al Buthi, adalah hadis-hadis yang digunakan oleh rezim Al Sa’ud di Saudi Arabia, rezim Al Nihyan di UAE, atau Al Khalifah di Qatar, dan lain-lain. Sebaiknya kita tengok tanggal dan waktu kapan Al Buthi menyampaikan khutbah, selain kita pun harus mendengar khutbah tersebut harus utuh, tidak sepotong-sepotong.

[nextpage title=”Kesimpulan “]

Kesimpulan

Saya yang sempat beberapa kali menghadiri taklim beliau, sangat yakin akan ketulusan, keikhlasan, dan muruah yang dimiliki Syekh Al Buthi. Bahkan saya mendengar, Al Buthi tidak mengambil royalti dari buku-buku yang diterbitkan.

Selain berwasiat untuk menginfakkannya di jalan Allah. Termasuk buku-buku yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Sebagai orang yang dekat dengan kekuasaan, Al Buthi jauh dari kata borju atau memperkaya diri. Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan beliau sejak kecil hidup susah.

Adapun sikap beliau yang mendukung penguasa, bagi saya sangat lumrah dan masuk akal:

1. Beliau adalah salah satu saksi sejarah atas tindakan represif Attaturk di Turki yang membantai para ulama, menghancurkan masjid, memupus bahasa Arab. Hingga ia dan seluruh keluarganya memilih berhijrah ke Suriah.

Pengalaman pahit tindakan bengis penguasa ini, tak akan bisa dihapus. Maka sikap beliau yang memilih loyal kepada pemerintah, dipahami sebagai “dakwah” untuk menjaga generasi muda Islam dan alim ulama dari pembantaian rezim Assad.

2. Beliau memiliki alasan yang didukung Alquran dan Sunnah tentang kewajiban taat kepada pemimpin, karena beliau melihat dan merasakan, hampir tak ada pemimpin Arab yang peduli terhadap Islam selain Raja Faisal. Seluruh pemimpin Negara Arab adalah pemimpin diktator.

Ingat, Al Buthi hidup di 5 generasi. Mulai generasi Raja Faruq di Mesir hingga Mursi. Dari generasi Syah Iran-Khumaeni-hingga Ahmadinejad. Beliau paham betul, kepedihan dari praktik zalim penguasa terhadap para ulama dan aktivis gerakan Islam di seluruh negeri Arab. Oleh karena itu, beliau masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dalam rangka menasihati, tidak lebih.

3. Sebagai alim dan mujtahid, saya meyakini, apa yang beliau lakukan dengan mendukung rezim penguasa adalah bagian dari ijtihad. Jika salah mendapatkan 1 pahala, dan jika benar mendapatkan dua pahala.

Saya yakin beliau adalah sosok terbaik. Bila ada kekurangan, saya meyakini kekurangan atau khilaf adalah hal yang lumrah dari manusia. Namun kekurangan yang sedikit, tidak boleh membuat kita mencaci-maki. Terlebih yang mencaci maki hanyalah bau kencur yang tak memiliki karya, amal saleh, hingga pengalaman hidup setinggi beliau.

Wallahu a’lam.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *