Menu Tutup

Syekh Abdul Qadir al-Jailani di Mata Ibn Taymiyah, Ibn Katsir, dan Para Ulama Besar

DatDut.Com – Nama lengkapnya Abdul Qadir bin Abi Shalih Abdullah bin Janki Dusat al-Jaylani. Al-Jaylani itu dinisbatkan pada Jil, satu daerah di belakang Tabaristan. Di tempat itulah tokoh ini dilahirkan. Selain Jil, tempat ini disebut juga dengan Jaylan dan Kilan.

Dalam buku Mawa’idz al-Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jaylani karya Shalih Ahmad al-Syami, Syekh Abdul Qadir memulai kehidupan intelektualnya sesampainya di Bagdad pada tahun 488 H. Saat itu Bagdad menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam.

Semua ahli dari berbagai disiplin ilmu ada di sana. Ia mengembara ke sekolah-sekolah fikih dan forum pengkajian hadis. Ia menghabiskan waktunya untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Dalam Dzayl Thabaqat al-Hanabilah, Ibn Rajab menuturkan, “Ia menguasai tiga belas bidang ilmu. Banyak orang yang belajar pada Syekh tentang tafsir, hadis, dan persoalan mazhab. Setiap berfatwa, ia menggunakan kaidah fikih Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ia juga menguasai Ilmu Perbandingan dan Pertentangan, Ushul Fikih, Nahwu (gramatika Arab). Selepas zuhur, ia selalu mengkaji Ilmu Qira’at.”

Banyak ulama besar yang ikut menghadiri pengajiannya. Ratusan tinta dipergunakan untuk mengkaji ilmu yang disampaikannya. Ini mengingatkan pada forum pengkajian Imam al-Ghazali. Luasnya ilmu pengetahuannya menjadi faktor utama yang mendorong para ulama besar menghadiri forum pengkajiannya.

Tak heran bila Syekh mendapat komentar positif dan pujian dari ulama-ulama besar sezamannya atau ulama berikutnya. Tak kurang dari Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Katsir, dan bahkan Ibnu Taymiyah.

Untuk mendapat gambaran yang utuh tentang kehidupan tokoh ini, berikut kutipan sebagian komentar ulama yang hidup semasa atau setelahnya tentang Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

1. Komentar   Syekh al-Islam Ibn Hajar al-‘Asqalani

“Syekh Abdul Qadir dikenal sangat teguh memegang hukum syariat. Ia selalu mendorong orang lain untuk mengikuti jalan syariat dan menjauhi menentang syariat. Ia menyibukkan orang lain dengan syariat. Ini masih didukung dengan keteguhannya menjalankan ibadah dengan bersungguh-sungguh.”

2. Komentar Syekh Ibn Qudamah al-Maqdisi, Penulis al-Mughni   

“Saya datang ke Bagdad pada 561 H. Saat itu Syekh Abdul Qadir berada di puncak karier keilmuan, pengamalan ilmu, posisi, dan fatwa. Banyaknya ilmu yang dikuasai, membuat seorang pelajar tidak ingin belajar di tempat lain. Ini juga didukung kesabaran dan lapang dada Syekh dalam melayani banyaknya orang yang ingin belajar. Saya belum pernah melihat orang yang diagungkan karena ilmu agama melebihi Syekh ini.”

 

3. Komentar Imam Ibn Rajab

“Syekh Abdul Qadir itu guru zamannya, panutan para arif, dan sultan para syekh. Ia penggiat agama. Ia tampil di saat yang tepat dan mendapat sambutan gegap gempita dari masyarakat. Kemunculannya menghantarkan ahlussunnah sebagai pemenang di pentas ilmu. Pelaku bidah dan penyimpangan lain tidak bisa berbuat apa-apa. Posisi, ucapan, dan keistimewaannya sangat terkenal. Permintaan fatwa datang dari berbagai penjuru. Para khalifah, para menteri, dan pejabat yang lain menghormatinya.”

4. Komentar Al-Hafizh Ibn Katsir

“Ia punya jasa besar dalam bidang Hadis, Fikih, Etika, dan Ilmu Hakikat. Ia punya reputasi yang baik. Ia lebih memilih diam, kecuali bila terkait dengan amar makruf dan nahi munkar. Secara keseluruhan, ia termasuk pemimpin para syekh.”[1]

5. Komentar Al-Hafizh al-Dzahabi

“Ia seorang Syekh yang dikenal sangat cerdas, zahid, arif, dan juga sebagai panutan. Ia patut mendapat gelar Syekh al-Islam dan figur menonjol dalam kewalian.”[2]

6. Komentar Ibn Taymiyah

Ibn Taymiyah juga sering kali memuji dan mengistimewakan Syekh. Satu waktu ia menggelari Syekh dengan “Guru Besar”. “Komentar ulama besar itu seperti komentar Syekh Abdul Qadir dan ulama besar yang lain,” kata Ibn Taymiyah satu waktu. Di waktu yang lain, Ibn Taymiyah juga mengatakan, “Syekh Abdul Qadir termasuk salah satu ulama besar di zamannya.”[3]

“Para pemimpin sufi dan syekh yang terkenal harum namanya, seperti al-Junayd dan pengikutnya, Syekh Abdul Qadir dan yang mengikuti polanya, jelas termasuk tokoh besar dalam menunaikan tugas sebagai penggiat amar makruf dan nahi munkar.”[4]

Ada informasi bahwa setiap kali nama Syekh Abdul Qadir al-Jaylani disebut, Ibn Taymiyah langsung mengucapkan, “Qaddassa Allah ruhahu (semoga Allah menyucikan rohnya).”[5]

7. Komentar Abu al-Hasan al-Nadwi

“Syekh Abdul Qadir al-Jaylani tampil di Bagdad. Ia memegang tampuk kepemimpinan agama. Ia hidup hampir satu abad sendirian dalam dakwah menuju Allah. Dampak positifnya dirasakan oleh dunia Islam di sekitarnya. Ia sangat berpengaruh besar. Belum ada tokoh yang berpengaruh dalam waktu sepanjang itu.”[6]

===============

[1] ‘Abd al-Razzaq al-Kaylani, al-Syekh Abdul Qadir al-Jaylani, hlm. 295. Informasi ini dirujuk dari Qala’id al-Jawahir.

[2] Siyar A’lam al-Nubala’, jil. 20, hlm. 439.

[3] Al-Fatawa, jil 10, hlm. 463, 488.

[4] Al-Fatawa, jil 8, hlm. 369.

[5] Al-Fatawa, jil 8, hlm. 306; jil. 10, hlm. 468; jil. 10, hlm. 470.

[6] Abu al-Hasan al-Nadwi, Rijal al-Fikr wa al-Da’wah fi al-Islam, hlm. 252.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *