Menu Tutup

Surat Ibn Al-‘Arabî kepada Al-Râzî yang Menyindir Kebiasaan Buruk Kaum Intelektual

DatDut.Com – Imam Al-Sya’rânî suatu waktu melihat surat yang pernah dikirimkan Syaikh Muhyî Al-Dîn bin Al-‘Arabî kepada Syaikh Fakhr Al-Dîn Al-Râzî, penulis kitab tafsir Mafâtih Al-Gaib.

Dalam surat itu, Ibn Al-’Arabî menjelaskan kepada Al-Râzî tentang kekurangan tingkat keilmuan yang didapatkan Al-Râzî. Padahal seperti diketahui, Al-Râzî adalah termasuk ulama bereputasi tinggi yang sering disebut-sebut di kalangan ulama dan telah menyelesaikan pengkajian yang mendalam terhadap berbagai disiplin ilmu. Berikut petikan isi surat itu:

Semoga Allah Swt. memberikan taufiq kepada kita, khususnya kepada Anda. Ketahuilah wahai saudaraku! Bagi kami, seseorang belum bisa dikatakan sempurna peringkat keilmuannya, sebelum ilmunya itu datang langsung dari Allah Swt. tanpa ada perantara, baik itu dari menukil maupun dari seorang guru.

Karena seseorang yang ilmunya diperoleh dari menukil atau dari seorang guru, sesungguhnya ia hanya memperoleh ilmunya dari segala hal yang baru. Tentu ini merupakan suatu yang cacat bagi kami.

Seseorang yang menghabiskan umurnya untuk mengetahui segala hal yang baru dan segala tetek bengek-nya, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh bagian dari Tuhannya. Karena ilmu-ilmu yang berkaitan dengan segala hal yang baru akan hanya menghabiskan umur seseorang untuk mengetahui hal-hal itu saja dan ia tidak akan mampu mencapai hakikat yang sesungguhnya.

Wahai saudaraku! Andai saja Anda mau menempuh jalan tasawuf di bawah bimbingan seorang guru sufi, niscaya guru Anda itu akan menghantarkan Anda sampai pada tingkat penyaksian kebenaran yang hakiki, yaitu Allah. Anda akan bisa langsung mengambil pengetahuan tentang segala sesuatu dari-Nya melalui jalan ilhâm, dengan tanpa lelah, capek, dan jaga. Seperti halnya apa yang diperoleh Al-Khadir.

Karena, bagi kami, tidaklah dikatakan suatu pengetahuan, sesuatu pengetahuan yang diperoleh hanya melalui proses penalaran, pemikiran, hipotesis, dan aksioma. Pengetahuan adalah sesuatu yang diperoleh melalui kasyf (pembukaan tirai yang memisahkan antara hamba dan penciptanya) dan syuhûd (penyaksian terhadap hakikat kebenaran).

Suatu waktu, seorang guru agung, Abu Yazid Al-Bisthami, mengatakan kepada para ulama yang semasa dengannya, “Andai semua memperoleh pengetahuan dari para ulama dengan berpegang pada apa yang berada dalam teks buku. Mereka akan mati dan memperoleh pengetahuan dari manusia-manusia yang telah mati. Sementara kami memperoleh pengetahuan kami dari Zat Yang hidup dan tidak akan mati.”

Wahai saudaraku! Sudah sepantasnyalah kiranya Anda tidak mencari lagi pengetahuan kecuali pengetahuan yang bisa menyempurnakan diri Anda di samping pengetahuan itu sendiri akan bisa mengikuti Anda kemana pun Anda berada. Pengetahuan seperti ini hanya bisa kita dapat dari pengetahuan tentang Allah Swt. (al-‘ilm billâh), dengan metode wahb (penganugerahan) dan musyâhadah (penyaksian).

Pengetahuan Anda tentang kedokteran, misalnya, akan hanya dibutuhkan ketika Anda berada di dunia penyakit. Ketika Anda beralih ke dunia lain yang tidak ada kaitannya dengan penyakit, maka tidak akan ada lagi yang membutuhkan terapi dengan bantuan ilmu kedokteran Anda itu.

Wahai saudaraku! Tentu Anda sudah tahu bahwa tidak sepantasnya bagi seorang yang berakal memperoleh suatu pengetahuan, kecuali pengetahuan yang bisa dibawanya ke alam barzakh dan bukan pengetahuan yang akan ditinggalkannya ketika ia akan berpindah ke alam akhirat.

Dan, pengetahuan seperti ini hanya akan bisa didapat hanya dari dua sumber. Pertama, pengetahuan tentang Allah Swt. (al-‘ilm billâh); dan kedua, pengetahuan tentang lokasi-lokasi yang ada di akhirat (al-‘ilm bi mawâthin al-âkhirat).

Dengan dua pengetahuan ini, seseorang tidak akan lagi mengingkari adanya penampakan-penampakan (tajalliyât) yang terjadi kelak di akhirat. Sehingga ketika Allah Swt. menampakan diri di hadapannya nanti, ia tidak lagi mengatakan, “Kami berlindung kepada Allah Swt. darimu,” sebagaimana hal ini pernah dijelaskan dalam sebuah riwayat.

Wahai saudaraku! Sebaiknya Anda dapat membuka tirai dua pengetahuan ini selama Anda masih berada di dunia ini, agar Anda dapat menuai buahnya kelak di akhirat nanti. Anda sepantasnya tidak lagi mencari pengetahuan-pengetahuan yang tidak Anda perlukan dalam proses perjalanan Anda menuju Allah Swt., dengan bantuan term dan cara yang dipergunakan dalam dunia komunitas sufi.

Cara membuka tirai dua pengetahuan ini tidak ada lain kecuali dengan cara melakukan riyâdhah (pelatihan diri), khalwah (pengasingan diri), musyâhadah (penyaksian diri), al-jadzb al-ilâhî (ketertarikan ketuhanan).

Wahai saudaraku! Sesungguhnya aku ingin menjelaskan pada Anda tentang apa itu khalwah, bagaimana persyaratan-persyaratannya, dan hal-hal yang akan nampak pada Anda ketika berkhalwah, secara berurutan dan setahap demi setahap.

Namun sayang sekali itu tidak mungkin saya lakukan, karena waktunya kurang tepat. Yang saya maksudkan dengan “waktunya kurang tepat” adalah “adanya beberapa orang yang kurang mendalami rahasia-rahasia syariat dan hanya gemar berdebat. Bahkan anehnya, mereka mengingkari apa yang mereka tidak ketahui.

Mereka ini telah diracuni sikap fanatisme, gemar populer, cinta kekuasaan, dan mencari makan dengan dalih agama. Sehingga mereka menolak untuk mengapresiasi apa yang disampaikan komunitas sufi, apalagi memberikan penghormatan pada mereka.

(Dikutip dan diterjemahkan dari kitab Al-Thabaqah al-Kubra, karya Imam Al-Sya’rani)

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *