Menu Tutup

Mendudukkan Masalah Akidah pada Penggunaan Atribut Natal bagi Seorang Muslim

DatDut.Com – Perdebatan mengenai ucapan selamat Natal, menggunakan atribut Natal selalu menghangat pada bulan Desember. Perbincangan tahunan ini selalu saja berulang setiap saat. Sayangnya, masyarakat kita yang pro dan kontra terkadang kurang dewasa menyikapi perdebatan tersebut (Baca: 5 Fenomena Tahunan yang Selalu Hangat Diperdebatkan Umat Islam Indonesia).

Sikap menghormati sesama pemeluk agama harus terus kita jaga selalu. Pergeseran nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika yang dulu tertanam kuat dalam benak masyarakat Indonesia, kini kian hari kian memudar.

Hal tersebut disebabkan di antaranya karena fanatisme mazhab, golongan, politik, dan lain sebagainya. Namun tentunya ini butuh kedewasaan sesame pemeluk agama, tidak saling memaksakan pendapat masing-masing.

Untuk menanggapi hal tersebut, 5 hal di bawah ini bisa dapat menjadi pertimbangan agar tidak saling membenci sesama umat beragama, khususnya Muslim dan Kristen terkait Hari Natal.

1. Komentar Kementerian Agama soal Atribut Natal

Sikap Kementrian Agama (Kemenag) terkait penggunaan atribut agama tertentu sudah jelas. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa Kemenag memang tidak akan membuat aturan mengenai penggunaan atribut tertentu dalam memperingati hari besar keagamaan, seperti dikutip dari Kemenag.go.id.

Namun, Menag meminta semua pemeluk agama saling menghormati satu sama lain. “Bertoleransi bukan saling meleburkan dan mencampurbaurkan identitas masing-masing atribut dan simbol keagamaan yang berbeda, tapi saling mengerti dan memahami,” tegas Menteri Agama pada (09/12/14).

2. Analisis Bahasa Surah Al-Baqarah

Salah satu ayat Alquran yang dijadikan argumen diharamkannya menghormati hari besar umat Kristiani adalah surah Al-Baqarah ayat 120, wa lan tardha anka al-Yahudu wa la an-Nshara hatta tattabi’a millatahum.

Dalam redaksi ayat tersebut, untuk menegasikan keridaan umat Yahudi dan Kristian terhadap ajaran Nabi Muhammad Saw., Islam, Allah membedakan keduanya dengan menggunakan harf (partikel) lan untuk umat Yahudi dan la untuk Nasrani.

Dalam bahasa Arab, titik tekan partikel lan dan la digunakan dalam konteks yang berbeda. Lan menunjukan arti penegasian yang sifatnya selamanya, sementara la digunakan untuk penegasian yang sifatnya temporal. Artinya, sikap Yahudi dan Nasrani teradap Muslim memang antipati. Namun, sikap antipati Yahudi lebih besar daripada Nasrani terhadap Muslim (Baca: Alquran dan Teologi Kristen).

3. Tafsiran Thahir bin Asyur Terkait Surah al-Baqarah

Bila membaca ayat tersebut secara tekstual, ada kesan bahwa umat Yahudi dan Nasrani begitu membenci umat Islam. Ayat itu hanya menyatakan bahwa umat Yahudi dan Nasrani enggan menerima ajaran Islam.

Menurut Penulis Tafsir at-Tahrir wat-Tanwir ini, pembedaan penggunaan partikel lan dan la ini untuk menyatakan bahwa ayat tersebut mengindikasikan umat Nasrani lebih toleran terjadap Muslim daripada Yahudi.

Apalagi, Alquran menegaskan, “Muhammad, Anda akan selalu menyaksikan kedekatan umat Nasrani terhadap orang-orang beriman lebih hangat dan lebih toleran,” (QS Al-Maidah [5]: 82). Tentu, ini tidak mengabaikan bahwa kedua-duanya tidak rida akan ajaran Islam (Baca: Alquran dan Teologi Kristen, Ini Ada 5 Fakta Tak Terbantahkan).

4. Ucapkan Salam pada Non-Muslim Boleh

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menyatakan tidak boleh mendahului memberikan salam, assalamu ‘alaikum, pada non-Muslim. Namun sikap tersebut tidak membuatnya abai pada pendapat-pendapat ulama yang membolehkan mendahului salam pada non-Muslim.

Menurut Al-Baihaqi, yang dikutip oleh Imam Nawawi, sahabat Nabi yang bernama Abu Umamah selalu mendahului memberikan salam pada non-Muslim. Menurut Abu Umamah, salam kita pada sesama Muslim itu bentuk penghormatan (tahiyyah), sementara salam kita untuk non-Muslim (ahli dzimmah) itu untuk menjaga ketentraman dengan mereka (aman).

Selain itu, Imam Nawawi juga menyebutkan bahwa Imam at-Thabari membolehkan mendahului memberi salam pada non-Muslim ketika ada alasan yang dibenarkan, seperti adanya hubungan kekerabatan, tetangga, rekan kerja, dan lain sebagainya.

5. Pertimbangkan Orang yang Kerja

Pendapat pada poin keempat mungkin dapat menjadi solusi bagi para pekerja yang diwajibkan menggunakan atribut Natal di kantornya. Tidak mungkin kita memberikan solusi pada mereka untuk keluar dari kantornya? Biasanya para pekerja hanya diwajibkan menggunakan atribut sinterklas dan menata pohon natal.

Hal ini tentu berbeda dengan perintah untuk mengenakan salib di leher. Ini terkait kesadaran kedua belah pihak. Tidak bisa dipaksakan, apalagi dikafirkan karena di kantornya diwajibkan mengenakan atribut Natal.

Bagi kita yang tidak ada kaitan apa pun dengan Hari Natal, kita tidak perlu menggunakan atribut-atribut tersebut untuk sekedar bersimpati dan basa-basi, karena untuk menjaga kehati-hatian akidah.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *