Menu Tutup

Sebuah Fragmen Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama, Komite Hijaz, dan Posisi NU

DatDut.Com – Jika selama ini yang kita ketahui tentang Nahdlatul Ulama (NU) adalah bahwa ormas Islam ini dilahirkan dan besar di Indonesia, maka itu tak salah. Karena faktanya NU memang dideklarasikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 / 16 Rajab 1344 H.

Kalau kita berpikir bahwa NU didirikan oleh para ulama ahlussunnah yang dipimpin oleh Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, maka itu juga tak salah.

Ormas Islam yang kini perwakilannya telah merambah berbagai negara itu berdiri atas inisiatif K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang kemudian di-istikharah-i oleh Syekh Hasyim Asy’ari dan mendapat restu pula dari guru beliau, syekh Cholil Bangkalan. Setelah itu, bersama-sama dengan K.H. Bisri Syansuri dan ulama-ulama Jawa dan Madura lainnya, NU dideklarasikan.

Namun adakah yang berpikir bahwa embrio NU sebenarnya sudah bersemayam dalam rahim pemikiran pada ulama Nusantara yang berkhitmad di Haramain pada kurun waktu 1200–1350 H?

Tampaknya ikhwal berdirinya NU seperti yang dituturkan Habib Luthfi itu masih perlu digali sumber-sumbernya untuk meneliti validitasnya serta untuk melengkapi penulisan sejarah ke-NU-an.

Sebagaimana ditulis oleh beberapa media, pada peringatan Hari Lahir NU tahun 2010 di Pekalongan, Habib Luthfi bin Yahya bertutur bahwa pada kurun waktu 1200-1350 H, banyak ulama Nusantara yang bermukim dan mengajar di wilayah yang masih berada di bawah kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmani, Hijaz (kini Saudi Arabia).

Mereka begitu mewarnai khazanah keilmuan Islam mulai dari syariah, tarekat dan ilmu tasawuf. Para ulama yang ilmunya begitu luas itu di antaranya adalah Syekh Ahmad bin Abdussomad Sambas, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad al- Nahrawi al-Banyumasi, Syekh Ubaidillah Surabaya, Syekh Ahmad Khatib Sambas, Syekh Abdul Aziz bin Abdussomad al-Bimawi, Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja, dan masih banyak lagi nama lainnya.

Menjelang berdirinya NU di Indonesia, para ulama Nusantara berkumpul di Masjidil Haram dan bertukar pikiran hingga berkesimpulan bahwa sudah sangat mendesak untuk didirikannya sebuah wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran ahlussunah waljamaah.

Setelah melalui istikharah, diutuslah kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia untuk menemui dua orang yakni Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan dan Syekh Kholil Bangkalan. Maksud diutusnya Kiai Hasyim menemui 2 ulama itu adalah untuk meminta pendapat sekaligus persetujuan didirikannnya sebuah wadah yang kelak diberi nama Nahdlatul Ulama.

Adapun sejarah berdirinya NU yang selama ini diyakini oleh masyarakat adalah yang berkaitan dengan sebuah respon terhadap perubahan iklim keagamaan di Timur Tengah saat itu.

[nextpage title=”Komite Hijaz”]

Komite Hijaz

Dikuasainya Haramain oleh Abdul Aziz bin Abdul Rahman atau dikenal dengan sebutan Ibnu Saud diikuti dengan perubahan iklim beragama di wilayah itu. Ibnu Saud yang berpegang pada ajaran ulama abad ke-18 Masehi, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, atau lazim disebut sebagai Wahabi berkehendak menerapkan mazhab tunggal di dua tempat suci muslim tersebut.

Dengan slogan memurnikan ajaran Islam dari bid’ah dan kesyirikan, rezim baru ini meratakan situs-situs peninggalan Nabi yang dianggap bisa menyeret masyarakat muslim pada kesyirikan.

Sementara itu di tanah air, para ulama yang sebagian di antaranya adalah para alumni Timur Tengah, mulai merasa risau. Setelah melalui komunikasi panjang, mereka bermaksud memberikan respon tertulis terhadap kondisi tersebut.

Diawali saat K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah mengundang sejumlah kiai untuk rapat di kediaman Kiai Wahab di Surabaya. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan tentang perlunya mengirim utusan untuk mengajukan keberatan kepada Raja Abdul Aziz. Untuk menyampaikan nota keberatan itu, maka dibentuklah sebuah komite kecil yang disebut Komite Hijaz.

Secara resmi komite itu terdiri dari K.H. Wahab Hasbullah, Syaikh Ghanaim al-Mishri dan K.H. Dahlan Abdul Qohhar. Tuntutan yang dibawa oleh Komite Hijaz diantaranya adalah:

Pertama, memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Kedua, memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fathimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya.

Ketiga, memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji menganai tarif/ketentuan beaya yang harus diserahkan oleh jamaah haji kepada syaikh dan muthawwif dari mulai Jedah sampai pulang lagi ke Jedah.

Agar bisa mengirimkan utusan ke Hijaz, para kiai membentuk payung berupa sebuah organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926. Meski begitu, Komite Hijaz baru bisa berangkat pada 7 Mei 1928, dua setengah tahun setelah NU berdiri dikarenakan berbagai hal.

[nextpage title=”Posisi NU di Antara 2 Paham di Timur Tengah”]

Posisi NU di Antara 2 Paham di Timur Tengah

Menilik awal mula berdirinya yang terkait dengan perkembangan paham Wahabi di tanah Haramain dan sekitarnya, Syekh Hasyim Asy’ari menuliskan pandangan beliau pada kitab yang dijadikan sebagai rujukan bagi kalangan nahdliyyin yakni Risalah Ahlisunnah wal Jama’ah.

وَمِنْهُمْ فِرْقَةٌ يَتَّبِعُوْنَ رَأْيَ مُحَمَّدْ عَبْدُهْ وَرَشِيدْ رِضَا ، وَيَأْخُذُوْنَ مِنْ بِدْعَةِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ النَّجْدِيْ ، وَأَحْمَدَ بْنِ تَيْمِيَّةَ وَتِلْمِيْذَيْهِ ابْنِ الْقَيِّمِ وَعَبْدِ الْهَادِيْ

“Diantara mereka terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebidahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qayyim dan Abdul Hadi.”

فَحَرَّمُوْا مَا أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى نَدْبِهِ ، وَهُوَ السَّفَرُ لِزِيَارَةِ قَبْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَخَالَفُوْهُمْ فِيْمَا ذُكِرَ وَغَيْرِهِ

“Mereka mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah Saw. serta berselisih dalam kesepakatan-kesepakatan lainnya.”

Mengenai Rafidhah, beliau menuliskan pesan agar menghindari paham itu dalam kitabnya yang lain yakni Qanun Asasi li Jam’iyyati Nahdlatul ‘Ulama. Dalam muqadimahnya, tertulis :

ومنهم رافضيون يسبون سيدنا أبا بكر وعمر رضي الله عنهما ويكرهون الصحابة رضي الله عنهم، ويبالغون هوى سيدنا علي وأهل بيته رضوان الله عليهم أجميعن، قال السيد محمد في شرح القاموس: وبعضهم يرتقي إلى الكفر والزندقة أعاذنا الله والمسلمين منها

“Di antara mereka juga ada golongan Rafidhah yang suka mencaci Sayidina Abu Bakr dan ‘Umar r.a., membenci para sahabat nabi dan berlebihan dalam mencintai Sayidina ‘Ali dan anggota keluarganya, semoga Allah meridhai mereka semua. Berkata Sayyid Muhammad dalam Syarah Qamus, sebagian mereka bahkan sampai pada tingkatan kafir dan zindiq, semoga Allah melindungi kita dan umat Islam dari aliran ini.”

وليس مذهب في هذه الأزمنة المتأخرة بهذه الصفة إلا المذاهب الأربعة، اللهم إلا مذهب الإمامية والزيدية وهم أهل البدعة لا يجوز الاعتماد على أقاويلهم).

“Bukanlah yang disebut mazhab pada masa-masa sekarang ini dengan sifat yang demikian itu kecuali Mazahib Arba’ah (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad). Selain dari pada itu, seperti mazhab (Syiah) Imamiyah dan (Syiah) Zaidiyah, mereka adalah ahul bid’ah yang tidak boleh berpegang kepada pandangan-pandangan mereka”

Jelaslah bahwa NU berpijak pada manhaj para imam yang saleh, para pemuka ahlussunnah wal jamaah yang bermuara kepada pembawa syariat yang mulia, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam.

NU tidak membawa ajaran baru melainkan bagian dari keluarga besar Asy’ariyah Syafi’iyah di dunia yang memiliki pandangan tegas terhadap 2 paham besar yang kini tengah berhadapan dalam peta percaturan Timur Tengah tak terkecuali di ranah geopolitik.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *