DatDut.Com – Bulan Maulid bisa dikatakan juga sebagai bulan salawat. Selain bulan Maulid, biasanya hanya sedikit orang yang bersalawat. Pada bulan Maulid, hampir mayoritas Muslim bersalawat mengagungkan nama Nabi. Itu adalah bentuk ekspresi kecintaan umatnya pada Nabi Muhammad Saw.
Kali ini kita menguak beberapa fakta salah satu salawat yang sangat tenar di Indonesia, bahkan telah mendunia. Salawat Badar. Siapa yang belum pernah dengar lantunannya? Sepertinya telinga kita sudah sangat akrab dengan bait-bait awal salawat dalam rangkaian syair ini. Shalatullah salamullah, ‘ala thaha Rasulillah. Shalatullah salamullah, ‘ala yasin habibillah.
Salawat Badar merupakan untaian doa dalam syair yang memuat tawasul dengan asma Allah Swt., Nabi Muhammad Saw., dan para pejuang Perang Badar. Karena, memuat tawasul dengan orang yang sudah wafat, salawat ini juga dipermasalahkan sebagian kelompok Wahabi (Baca: Lima Ulama yang Tawasul di Kuburan).
Salawat ini biasa dicantumkan dalam kitab Majmu’ Maulid yang biasanya memuat Maulid al-Barzanji, Maulid Diba’, Maulid Syaraful Anam, dll. Sebagian menyangka bahwa Salawat Badar telah seumuran dengan karya-karya yang dimuat dalam kumpulan maulid itu. Padahal tidak demikian adanya. Karena itu, penulis rangkaikan 5 fakta tentang Salawat Badar yang disarikan dari Santri.net.
1. Karya Ulama Banyuwangi, Indonesia
Dalam buku Antologi NU dan Majalah Langitan edisi 54 dijabarkan tuntas sejarah Salawat Badar. Salawat ini adalah hasil karya Kiai Ali Manshur, yang merupakan cucu K.H. Muhammad Shiddiq, Jember. Beliau mahir menulis syair berbahasa Arab sejak nyantri di Pesantren Lirboyo, Kediri.
Salawat itu ditulis sekitar tahun 1962. Saat PKI merajalela dan banyak ulama yang menjadi korbannya. Saat itu Kiai Ali Manshur menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi.
2. Inspirasi dan Mimpi
Berawal dari keprihatinan melihat kacaunya keadaan, Kiai Ali Manshur ingin menyusun suatu doa sebagai munajat kepada Allah Swt. Di sisi lain, beliau terinspirasi kitab “Mandzumah Ahl al-Badar atau Jaliyah al-Kadar fi Fadhail Ahl al-Badar” karya Sayyid Ja’far al-Barjanzi. Setelah terbersit keinginan itu, suatu malam beliau bermimpi didatangi orang-orang berjubah putih-hijau. Di malam yang sama, istri beliau bermimpi bertemu Rasulullah Saw.
Kiai Ali Manshur lalu menceritakan mimpi mereka kepada Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi. Habib Hadi mengatakan bahwa orang-orang yang mendatangi Kiai Ali Manshur dalam mimpi adalah para ahli Badar atau orang-orang yang turut dalam Perang Badar. Malam selanjutnya, Kiai Ali Manshur mewujudkan tekadnya dan mulai menuliskan bait demi bait shalawat yang kemudian bernama Salawat Badar.
3. Hajatan Dadakan
Kesokan hari saat salawat telah usai ditulis, warga kampung tiba-tiba berdatangan ke rumah Kiai Ali Manshur dengan membawa berbagai bahan makanan.
Mereka mengatakan bahwa pada waktu Subuh itu, ada orang berjubah putih yang menyuruh mereka membawa bahan makanan semampunya ke rumah Kiai Ali Manshur, karena akan ada acara besar. Hari itu juga, mereka melakukan persiapan untuk menyambut tamu yang masih belum jelas siapa gerangan.
4. Kunjungan Mendadak dari Jakarta
Kejutan selanjutnya sungguh di luar dugaan. Kiai Ali Manshur, dalam catatan kecilnya, Rabu, 26 September 1962, serombongan habaib yang diketuai oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang datang berkunjung.
Beliau merupakan ulama besar dan terkemuka kala itu. Dalam rombongan itu turut juga Habib Ali bin Husein Al-Athas, Habib Ahmad bin Ghalib Al-Hamid Surabaya, Habib Umar Assegaf Semarang, dan banyak lagi ulama besar yang datang pada waktu itu. Ini menjadi jawaban pertanyaan dalam diri Kiai Ali Manshur.
5. Sebagai Munajat dan Perlawanan terhadap PKI
Pagi itu diadakan pembacaan maulid ‘azab dan ceramah agama. Usai acara tiba-tiba Habib Ali menanyakan salawat yang baru ditulis oleh Kiai Ali Manshur. Padahal tulisan salawat itu belum diperlihatkan kepada siapapun. Tapi Kiai Ali tahu bahwa ini adalah bagian dari keramat Habib Ali bin Abdurrahman.
Kiai Ali kemudian membacakan lantunan Salawat Badar dengan merdu. Para habaib mendengarkan dengan khusyuk. Usai pembacaan salawat, Habib Ali lalu menyerukan ajakan agar Salawat Badar menjadi bagian dalam memerangi PKI.
“Ya akhi, mari kita perangi Genjer-genjer PKI itu dengan Salawat Badar!” ajak Habib Ali kwitang. Salawat Badar mulai terkenal semenjak Habib Ali mengundang Kiai Ali Manshur ke Jakarta untuk membacakannya, kemudian teks dicetak dan disebarluaskan pertama kali oleh percetakan al-Aidrus.
Genjer-genjer sebenarnya adalah lagu berbahasa Osing, bahasa suku asli Banyuwangi. Lagu tersebut diciptakan seniman Banyuwangi bernama Muhammad Arief pada tahun 1940-an. Lagu itu adalah gambaran penderitaan rakyat sebagai sindiran atas pendudukan Jepang.
Setelah kemerdekaan, lagu ini digunakan sebagai alat propaganda PKI sehingga lagu genjer-genjer menjadi sangat identik dengan partai ini. Semasa Orde Baru lagu ini dilarang beredar. Nah, semasa 1960-an itulah Salawat Badar dipakai mengimbangi ketenaran genjer-genjer yang telah tenar sebagai lagu PKI.
Kontributor : Nasrudin | Penggemar martabak dan bakso
FB: Nasrudin El-Maimun
- Pengumuman Kelulusan Sertifikasi Dai Moderat ADDAI Batch 3 - 2 September 2023
- ADDAI Akan Anugerahkan Sejumlah Penghargaan Bergengsi untuk Dai dan Stasiun TV - 18 November 2022
- ADDAI Gelar Global Talk Perdana, Bahas Wajah Islam di Asia Tenggara - 7 Oktober 2022