DatDut.Com – Masih dalam suasana semester baru, perkuliahan baru, dan pastinya mahasiswa baru yang sebelumnya adalah anak-anak SMA. Pastinya, banyak dari mereka yang semangat, dan ingin cepat merasakan bagaimana bangku kuliah berjalan. Apakah seru? Apakah enak? Atau jangan-jangan malah di luar ekspektasi mereka.
Sayangnya, mungkin yang saya sebutkan tadi hanya segelintir “besar” dari para Maba (mahasiswa baru) yang diterima di jurusan yang ia inginkan. Bagaimana yang salah jurusan, atau lebih tepatnya “terjerumus” di lubang yang salah.
Jujur, saya seorang mahasiswa di kampus Islam ternama di ibukota Jakarta, yang dulu terkenal dengan nama IAIN. Saya akui, kampus ini hebat dan banyak melahirkan banyak tokoh ternama, seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, dan seorang Ketua DPR pun lahir dari kampus ini. Tetapi, sejujurnya kampus ini bukanlah tujuan utama dalam melanjutkan perjalanan akademik saya.
Tujuan saya adalah kampus paling ternama di Indonesia, yang namanya pun sama dengan nama negeri kita. Tapi, impian tinggal impian yang tak tersampaikan. Mencoba dengan berbagai jalur, ditolak dan akhirnya “terdampar” di kampus saya sekarang. Mungkin, ini terdengar alay dan berlebihan. Itu adalah pengalaman paling buruk yang pernah saya rasakan semasa hidup.
Memang bagus, dan setidaknya saya masuk ke kampus negeri. Yang mana, orang lain pun belum tentu bisa masuk ke kampus yang banyak diminati oleh ratusan ribu dari seluruh Nusantara. Tetap saja rasa minder masih bergelayut di hati, bahkan tidak keluar juga sampai hari pertama kuliah.
Tetapi, suatu saat ketika mata kuliah yang kalau tidak salah namanya Studi Islam. Mata kuliah yang dibawakan oleh dosen hebat, dan dalam pandangan saya saat itu anti-mainstream. Dengan ringannya beliau katakan, kalian “pasti” orang yang tersesat alias nyemplung. Tanpa tedeng aling-aling. Malahan, beliau menyuruh kami untuk keluar dan berhenti saja. Bukan menyemangati.
Saya agak bingung, kok ada dosen yang bukannya mendukung justru membuat kata yang amat melekit. Tak sampai di sana rupanya. Beliau lanjutkan sedikit demi sedikit, dan walhasil sampai kepada “maksud” utama. Beliau katakan, manusia itu bukan dari jurusan atau fakultasnya, apalagi dari hartanya. Tetapi, akal dan otaknya yang membuat dirinya hebat.
Sebuah kata yang amat singkat, dan amat padat. Membuat saya termenung agak lama kala itu. Sampai perkuliahan beliau berikutnya, masih berputar kata-kata itu di kepala saya. Seperti pencucian otak yang perlahan. Mengikis demi tipis otak saya hingga akarnya.
Di pikir-pikir juga benar, dan memang sangat benar. Bahasa kasarnya seperti ini, kalau ijazah itu bukan sebagai “setir” dalam kehidupan kita. Tapi, akal dan diri kita sendiri yang menjadi komando atas diri kita. Bagaimana pun tempat kita berada, dan berpijak saat ini. Itu semua adalah sekolah kehidupan untuk kita.
Seorang Susi bisa jadi Menteri, dan memiliki prestasi hebat. Bagaimana dengan kita yang “terpelajar” mengenyam pendidikan di kampus ternama seperti sekarang. Tentunya, harus lebih hebat dong! Jangan terbelenggu seperti itu. Anggap kita ini di “sesatkan” oleh Tuhan di jalan kebenaran. Setidaknya.
Lagipula, kita ini Mahasiswa loh. Bukan MASIH siswa.
- Pengumuman Kelulusan Sertifikasi Dai Moderat ADDAI Batch 3 - 2 September 2023
- ADDAI Akan Anugerahkan Sejumlah Penghargaan Bergengsi untuk Dai dan Stasiun TV - 18 November 2022
- ADDAI Gelar Global Talk Perdana, Bahas Wajah Islam di Asia Tenggara - 7 Oktober 2022