Menu Tutup

Qawa’idul I’lal fish Sharf, Kitab Kecil tentang Berbagai Perubahan Kata Bahasa Arab

DatDut.Com – Qawaidul I’lal adalah salah satu kitab rujukan dan pelajaran di berbagai pesantren di Indonesia. Kitab ini masih tergolong membahas ilmu sharf atau perubahan kata bahasa arab. Keberadaannya merupakan materi penguat pelajaran nahwu dan Amtsilat Tahsrifiyyah.

Dalam berbagai literatur nahwu telah masyhur ungkapan yang kurang lebihnya berbunyi an-nahwu abu al-‘ulum, wa ash-sharfu ummuha (Nahwu adalah sebagai bapaknya berbagai ilmu, dan sharf adalah induknya ilmu).

Ungkapan tersebut mengacu  pada kenyataan bahwa berbagai ilmu pengetahuan khususnya tentang agama Islam, terlebih Alqur’an dan hadis tak lepas dari bahasa Arab. Sehingga untuk membacanya perlu pengetahuan tentang perubahan berbagai harakat akhir dan kedudukan suatu kata dan kalimat.

Ini bisa didapat dengan ilmu nahwu, sedangkan sharf berfungsi mengetahui akar kata dan perubahan serta harakat tengah suatu kata. Perpaduan keduanya menghasilkan kemampuan seseorang untuk membaca dan memahami berbagai ungkapan sesuai dengan arti yang tepat. Apalagi ditunjang dengan pengetahuan sastra Arab dengan ilmu balaghah.

Sedangkan posisi Qawaidul I’lal merupakan penunjang dalam mengetahui perubahan suatu kata dalam bahasa Arab karena adanya huruf ilat, huruf yang sama, huruf yang sukun dan berbagai aturannya.

Jadi, jika pelajaran sharaf dengan kitab Amtsilah tashrifiyyah bertujuan agar santri menggetahui dan hafal perubahan berdasarkan makna, maka Qawaidul I’lal mengajak santri untuk mengetahui asal dari suatu kata.

Kenapa kok lafadz ini jadi begini dan seterusnya. Ingin lebih kenal dengan kitab kecil Qawaidul I’lal? Berikut ini ulasannya.

1. Kiai Mundzir Nadzir Sekaran, Penyusun Kitab Qawaidul I’lal

Kitab Qawaidul I’lal merupakan salah satu karya Kiai Mundzir Nadzir. Biografinya jarang diulas dalam berbagai referensi, namun ada beberapa kitab karya beliau yang dipakai di kalangan pesantren.

Selain Qawaidul I’lal misalnya kitab nadzam Tanwirul Qari yang berbahasa jawa dan menerangkan ilmu tajwid. Sebagian pesantren menempatkannya sebagai pelajaran tajwid tingkat menengah sebelum beajar kitab tajwid Al-Jazariyyah-nya Ibnu al-Jazari. Dalam kitab inilah agak banyak dimuat tentang identitas penulisnya.

Seperti dijelaskan oleh beliau di akhir kitab Tanwirul Qari, nama asli Mundzir Nadzir adalah Munhamir. Namun disebutkannya pula bahwa nama aslinya adalah Ibnu Mundzir. Sedangkan ayahnya bernama Haji Muhammad Nadzir.

Melihat dalam beberapa kitabnya beliau menggunakan nama Mundzir Nadzir, maka disimpulkan bahwa nama tersebut sebagai panggilan atau nama pena. Kiai Munhamir lahir di dusun Sekaran, Keludan, Kertosono, Kediri.

Selain kitab berbahasa Arab Kiai Mundzir Nadzir atau Munhamir juga memiliki karyanya yang lumayan terkenal di masyarakat Jawa. Tidak digunakan sebagai pelajaran namun sering menjadi acuan membaca pertanda zaman. Fafiru Ilallah, nama kitab berbahasa Jawa itu. Pembahasan dalam kitab ini seputar tanda akhir zaman dan segala peristiwa setelah kematian berdasarkan hadis dan penjelasan ulama.

2. Qawaidul I’lal Berisi 19 Kaidah Penting

Kitab Qawaidul I’lal hanya memuat 19 kaidah saja. Namun kesemuanya cukup untuk membongkar dan menguak berbagai kata yang telah berubah dari bentuk asalnya. Kaidah-kaidah dalam kitab ini ditulis dalam bahasa Arab, lalu dijelaskan menggunakan bahasa Jawa. Kemudian setiap kaidah diperjelas dengan contoh pembahasan kata menggunakan bahasa Arab.

Karena selalu menggunakan metode runtutan yang khas, maka cara menjelaskan kata dalam kitab ini bisa mudah ditebak polanya. Misalnya kata صائن asalnya adalah ini lalu prosesnya seperti ini, lalu menjadi kata ini, alasan pergantian karena ini, dan akhirnya menjadi ini. kata kunci yang pasti muncul adalah ashluhu (asalnya) dan fashara (maka menjadi).

3. Dilengkapi Penjelasan tentang Bina’ (Pola Kata)

Kitab ini diawali keterangan singkat dan padat mengenai bina’. Bina’ adalah istilah untuk berbagai bentuk kata berdasarkan letak huruf ilatnya dan pola huruf shahih. Huruf ilat adalah alif, wawu dan ya, yang dalam ilmu tajwid disebut juga sebagai huruf mad dan huruf layin.

4. Salah Satu Kaidah yang agak Membingungkan

Diantara 19 kaidah yang dijelaskan dalam kitab ini ada satu kaidah yang mungkin membingungkan bagi sebagian santri. Yaitu kaidah ketiga yang berbunyi:

إِذَا وَقَعَتِ الْوَاوُ وَالْيَاءُ بَعْدَ أَلِفٍ زَائِدَةٍ أُبْدِلَتْ هَمْزَةً بِشَرْطِ أَنْ تَكُوْنَا عَيْنًا فِي اسْمِ فَاعِلٍ وَطَرَفًا فِيْ مَصْدَرٍ نَحْوُ صَائِنٍ وَسَائِرٍ وَكِسَاءٍ وَبِنَاءٍ أَصْلُهَا صَاوِنٌ وَسَايِرٌ وَكِسَاوٌ وَبِنَايٌ

Arti bebasnya kurang lebih wawu atau ya harus diganti dengan hamzah ketika keduanya terletak setelah alif ziyadah/tambahan. Hal ini terjadi ketika menjadi ‘ain kalimat pada isim fa’il dan ketika berada di ujung mashdar.

Ternyata kaidah tersebut tidak berlaku pada kata isim fail seperti contoh مُبَايِعٌ yang berasal dari madhi (bentuk lampau) بايع dalam wazan faa’ala. Demikian juga yang terjadi pada isim failnya wazan تَفاَعَلَ. Kenapa kaidah tersebut tidak berlaku?

Penjelasan singkatnya justru dapat ditemukan di kitab Syarah Kitab Alfiyyah, Taudhih al-Masalik wa al-Maqashid karya Ibnu Ummi Qasim al-Muradi (w. 749 H) dalam Bab “Ibdal”, ketika menjelaskan hal yang sama dengan kaidah ketiga di atas, dikatakan bahwa hamzah menggantikan wau dan ya yang berada pada ain kalimat isim fail yang fiilnya mengalami perubahan.

Dengan ini bisa dipahami kenapa isim fail مُبَايِعٌ huruf ya tidak berganti hamzah. Soalnya dalam bentuk madhinya tidak terjadi ilal atau perubahan. Sedangkan dalam bentuk tsulasi mujarrodnya (fiil tiga huruf) kata بائع berasa dari madhi باع yang telah mengalami perubahan dari بَيَعَ.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *