Menu Tutup

Belajar Praktis Puasa Lahir-Batin dari Ihya Ulumiddin Karya Imam Ghazali

DatDut.Com – Imam Ghazali merupakan ulama multitalenta dan yang telah melalui fase-fase intelektual, emosional, dan spiritual yang panjang. Ia meniti karir mulai dari menjadi santri biasa lalu menjadi asdosnya (asisten dosen) Imam Haramain di Naisapur, lalu menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyah Baghdad.

Setelah itu beliau melakukan uzlah (pengembaraan) selama lebih kurang sepuluh tahun dengan mengorbankan jabatan, popularitas, dan keluarganya demi mencari jati diri dan mencari hakikat. Fi akhiril mathaf beliau balik ke kampungnya Thus (Sekarang masuk wilayah timur laut Iran) dan melahirkan karya ideologisnya yang dahsyat: Ihya’ Ulumiddin.

Sebagaimana diketahui bahwa beliau membagi Ihya’ menjadi empat: seperempat pertama seputar ibadah, seperti puasa; seperempat kedua seputar adab, seperti adab berinteraksi dengan orang lain; seperempat kedua seputar hal-hal yang membinasakan, seperti riya; dan seperempat terakhir tentang hal-hal yang menyelamatkan, seperti taubat.

Terkait masalah puasa, Imam Al-Ghazzali memberi judul bab puasa dengan “Rahasia-rahasia Puasa”, kemudian membagi topik puasa menjadi tiga pasal didahului dengan mukadimah dan penutup.

Sebagai mukadimah beliau memaparkan keutamaann ibadah puasa ketimbang ibadah lainnya didukung dengan dalil Alquran dan hadis, seperti hadis as-shaumu li wa ana ajzi bihi (puasa itu milik-Ku dan Aku sendiri yang akan mengganjarnya tanpa batas).

Pasal pertama dibagi menjadi tiga topik bahasan. Yang pertama tentang kewajiban-kewajiban yang lahiriah, yang kedua tentang konsekuensi batal puasa, dan yang ketiga kesunahan-kesunahan puasa yang lahiriah. Pada pasal kedua, Imam Ghazali memaparkan dua hal. Pertama, rahasia puasa. Kedua, syarat-syarat puasa batin. Pada pasal ketiga, Imam Ghazali membahas tpuasa sunah dan tertib waktunya.

[nextpage title=” 1. Kewajiban Lahiriah”]

1. Kewajiban Lahiriah

Kewajiban lahiriah ada enam. Pertama, monitoring awal bulan Ramadan dengan rukyatul hilal (melihat bulan). Kedua, niat wajib puasa Ramadan di malam hari. Ketiga, menahan diri dari memasukkan segala sesuatu ke dalam jauf (lubang tubuh). Keempat, menahan diri dari jima (bersetubuh). Kelima, menahan diri dari onani. Keenam, menahan diri dari muntah dengan sengaja.

[nextpage title=”2. Konsekuensi Batal Puasa”]

2. Konsekuensi Batal Puasa

Konsekuensi Batal Puasa ada empat. Pertama, qadha (mengganti puasa dengan puasa), yaitu bagi mereka yang meninggalkan puasa baik ada udzur maupun tidak, seperti orang haid dan murtad dll.

Kedua, kafarat, yakni semacam hukuman berat bagi mereka yang jima di siang Ramadan (pas puasa). Kafaratnya ada tiga: memerdekakan budak. Kalau tidak mampu wajib berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa putus. Kalau tetap tidak mampu wajib memberi makan 60 orang miskin.

Ketiga, imsak baqiyatun nahar, yakni orang yang batal puasa dengan makan misalnya tanpa ada alasan yang dibenarkan pada siang hari, maka ia wajib menahan diri dari makan dan sejenisnya hingga maghrib. Ini yang sepertinya belum banyak dipahami oleh orang pada umumnya. Karena sudah kadung batal puasa lalu seenaknya makan minum berulang kali sepanjang hari sampai maghrib. Yang sahih, orang yang maksiat membatalkan puasa di siang hari, lalu makan, maka dia wajib tidak makan lagi sampai maghrib. Inilah yang dimaksud imsak baqiyatun nahar (menahan tidak makan hingga magrib).

Keempat, fidyah, yakni bagi orang yang hamil dan menyusui yang khawatir akan kesehatan dirinya dan bayinya, maka wajib bagi keduanya setiap hari mengganti puasanya dengan satu mud beras dan sejenisnya (setara dengan 0,6 kg. atau ¾ liter) bagi satu orang miskin plus qadha puasa.

[nextpage title=”3. Kesunahan Lahiriah”]

3. Kesunahan Lahiriah

Kesunnahan lahiriah ada enam. Pertama, mengakhirkan sahur. Kedua, menyegerakan buka dengan kurma atau air sebelum shalat maghrib. Ketiga, tidak bersiwak atau gosok gigi setelah zuhur. Keempat, banyak berderma dan sedekah. Kelima, mudarasah Alquran, yakni membaca, memahami, dan atau menghafalnya secara kolektif, seperti program pesantren kilat, tadarus selepas isya, dan sejenisnya. Keenam, i’tikaf di masjid terutama di sepuluh hari terakhir karena itu adat Rasulullah SAW.

[nextpage title=”4. Puasa Batin”]

4. Puasa Batin

Syarat puasa batin ada enam. Pertama, menundukkan pandangan dan menjaganya dari pemandangan yang tercela dan yang melalaikan dari Allah SWT. Kedua, menjaga lisan dari meracau, bohong, ghibah, adu domba, omongan jorok, debat kusir dan permusuhan, menjaga diam menuju memperbanyak zikir, dan membaca Alquran. Inilah puasa lisan.

Diriwayatkan bahwa pada zaman Rasulullah ada dua wanita puasa lalu mereka kehausan dan kelaparan merasa tidak mampu melanjutkan dan mengirim utusan ke Rasulullah agar berkenan mengizinkan batal puasa. Lantas Rasulullah memberi utusan mereka sebuah wadah sembari bersabda, “Katakan ke mereka muntahkan ke dalam wadah ini apa yang telah kalian makan.”

Lalu salah satu mereka memuntahkan—isi perutnya berupa—darah dan daging segar memenuhi separuh wadah itu, dan salah satunya lagi memuntahkan yang sama ke wadah itu hingga penuh. Orang-orang heran dengan kejadian itu.

Maka, Rasulullah kemudian bersabda, “Dua perempuan ini berpuasa dari hal-hal yang dihalalkan Allah bagi keduanya, tapi batal puasa lantaran melakukan hal yang diharamkan Allah atas keduanya. Mereka duduk bersama lalu bergosip dan menggunjing orang. Inilah yang telah mereka makan berdua berupa daging manusia (ghibah),” (HR Ahmad).

Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengarkan setiap yang tidak patut. Karena setiap yang tidak patut diucapkan tidak patut pula didengarkan.

Keempat, menahan semua anggota badan; tangan dan kaki dari melakukan perbuatan dosa dan menahan perut ketika buka dari memakan yang syubuhat (samar-samar hukum halal-haramnya), seperti uang partai, uang pelicin, uang dengar, uang tutup mulut, papa minta saham, dll.

Kelima, mengurangi banyak makan yang halal saat buka, sebab tidak ada perut yang paling dibenci Allah kecuali perut yang penuh dengan makanan yang halal.

Pada poin ini Imam Ghazali sekitar 905 tahun yang lalu mengkritik, bagaimana tujuan puasa bisa dicapai jika ketika buka orang-orang makannya ‘balas dendam’. Bahkan biasanya makanan-makanan yang tidak ada pada bulan lain, tumpah ruwah pada bulan Ramadan. Semuanya dilahap. Padahal tujuan puasa adalah mengosongkan perut alias kelaparan. Karena lapar senjata yang ampuh untuk melemahkan syahwat. Kalau syahwatnya lemah, maka jalan setan tertutup.

Keenam, setelah buka hendaknya hati orang yang berpuasa harap-harap cemas) atau bahasa agamanya bainal khaufi war raja’, yakni antara berharap puasa kita diterima dan cemas kalau-kalau puasanya ditolak oleh Allah. Naudzubillah min dzalik.

[nextpage title=”5. Kesempurnaan Puasa”]

5. Kesempurnaan Puasa

Sebagai penutup, Imam Ghazali menyampaikan bahwa kita semua mencari kesempurnaan dan kesempurnaan itu tergambar dari sejauh mana seseorang memahami makna puasa. Makna hakikat puasa adalah tasfiyah al-qalb (mensucikan hati) dan menfokuskan cita lillahi ta’ala (hanya karena Allah).

Beliau juga menyatakan bahwa ulama akhirat memahami ‘sah’ suatu puasa dengan ‘qabul’ (diterima). Yang dimaksud qabul adalah wushul ila maqsud (tercapai yang dimaksud). Yang dimaksud maqsud di sini adalah berakhlak dengan akhlaq Allah, yaitu shamadiyah (mandiri dan berkarakter) serta mencontoh malaikat dalam perkara menahan nafsu.

Sebagai penutup tulisan ini Imam Al-Ghazali membagi puasa menjadi tiga. Pertama, puasa umum yang berpusat pada perut dan bawahnya perut (jima).  Kedua, puasa khusus yang berpusat pada anggota badan yang menahan dari dosa. Ketiga, puasa super khusus yang berpusat pada hati yang menahan dari segala sesuatu yang melupakan Allah. Wallahu a’lam.

 

Baca Juga: