Menu Tutup

Masya Allah! Ternyata Ada Juga Pesantren Abal-Abal, Kenali Ini 5 Cirinya

DatDut.Com – Pondok pesantren merupakan tempat pendidikan yang tidak hanya mengisi keilmuan namun lebih menitik beratkan pada sisi budi pekerti dan kepribadian luhur. Seiring perkembangan zaman, pesantren kini tidak hanya mengajarkan santrinya ilmu-ilmu agama dalam kitab kuning. Sudah banyak pesantren salaf yang melengkapi dirinya dengan jenjang pendidikan umum. Bertransformasi ke arah pesantren semi modern.

Bagaimanapun formasi pendidikan yang dipilih, sebuah pesantren harus tetap memenuhi “syarat & rukunnya” pesantren. Seperti dikatakan Hasyim (1998: 39), sebuah pondok pesantren harus memiliki beberapa unsur pokok, yaitu adanya kiai, santri, masjid, pondok, dan kitab kuning. Bisa dikatakan keempat hal tersebut merupakan rukun pesantren. Khusus kitab kuning atau klasik, merupakan ciri khas pesantren Indonesia yang berfaham ahlussunnah wal jamaah dan rata-rata berafiliasi ke ormas NU dan ormas yang seide.

Pesantren yang tak memenuhi minimal 4 rukun tersebut, bisa tergolong pesantren abal-abal. Seperti dilansir Jember Post, disinyalir banyak pondok pesantren abal-abal demi mendapatkan dana hibah dari Pemkab Jember sebesar 10 juta pertahun.

Sementara itu, ada juga pesantren yang secara lahirnya sudah memiliki keempat hal di atas, namun sebenarnya tidak layak untuk dijadikan tempat menimba ilmu. Kalau ada pesantren abal-abal, bisa dikatakan pesantren yang keadaannya seperti lima hal berikut ini adalah pesantren semi abal-abal. Apa saja 5 ciri pesantren abal-abal? Mari kita cek.

[nextpage title=”1. Tanpa Pengawasan dari Pengasuh”]

1. Tanpa Pengawasan dari Pengasuh

Ada sebagian pesantren yang pengasuh atau kiainya adalah seorang akitivis. Baik organisasi maupun partai. Pada akhirnya kegiatan di pesantren yang diasuhnya banyak terbengkalai. Bimbingan dan tausiyah yang biasa disampaikan melalui pengajian-pengajian menjadi jarang. Tauladan yang biasa dicontohkan dengan rutin mengimami jamaah, baik seluruh atau sebagian shalat lima waktu pun tidak bisa dilakukan. Otomatis pesantren tak jauh beda dengan asrama penampungan saja.

Kesibukan seorang kiai di bidang lain tak boleh mengesampingkan tugas utama sebagai pembimbing dan pengarah para santrinya. Para santri adalah amanah dari Tuhan dan titipan dari masyarakat. Ketika seorang pengasuh pesantren sudah lebih banyak beraktivitas di luaran tanpa menyeimbangkan dengan kegiatan di dalam pesantren, lama-kelamaan akan ditinggalkan santri.

[nextpage title=”2. Tidak Ada Pengajian Kitab oleh Kiai Pengasuh”]

2. Tidak Ada Pengajian Kitab oleh Kiai Pengasuh

Pesantren selalu identik dengan pengajian kitab. Baik itu dengan makna ala jawa maupun bahasa lain. Khusus bagi para kiai pengasuh, pengajian kitab kuning merupakan saah satu cara kiai sebagai orang tua untuk memberi nasihat, arahan, kritikan, bahkan memarahi para santri. Dengan adanya pengajian oleh kiai, para santri bisa bertemu langsung dan memperoleh bimbingan, merasakan kalau mereka benar-benar punya orang tua.

Nasihat-nasihat yang mengalir dari seorang kiai kepada santri-santrinya merupakan tetesan embun hikmah yang menyegarkan. Dengan pertemuan setiap harinya dalam pengajian kitab, kiai dan santri menegaskan hubungan batin mereka. Kalau sampai pesantren sudah tidak memiliki pengajian kitab oleh pengasuh, bisa dikatakan ini merupakan pesantren semi abal-abal.

[nextpage title=”3. Terlalu Bebas Bepergian”]

3. Terlalu Bebas Bepergian

Ciri khas yang melekat pada pesantren adalah adanya aturan ketat untuk tidak bepergian tanpa seizin pengasuh atau pengurus. Memang pada sebagian pesantren ada yang agak longgar. Namun bukan berarti santrinya bebas pergi pagi pulang malam. Beberapa pesantren yang santrinya bebas bekerja tetap mengatur agar santri bekerja dalam radius tertentu dari pesantren.

Jam kerja juga tidak boleh mengalahkan kegiatan belajar di pesantren. Salah satu rekan saya bercerita bahwa kakak perempuannya sewaktu kuliah dan menetap di sebuah pesantren mahasiswa (PESMA) ternyata biasa dan bebas keluar pesantren. Hanya cukup laporan saja, ia bebas pulang malam.

[nextpage title=”4. Bebas Bertemu Santri Pria dan Wanita”]

4. Bebas Bertemu Santri Pria dan Wanita

Salah satu aturan yang selalu ada di tiap pesantren adalah pemisahan pergaulan santri putra dan santri putri. Baik asrama, kegiatan keseharian bahkan sekolah pun harus terpisah. Memang sebagian pesantren yang belum memiliki fasilitas dan tenaga pengajar yang mencukupi terpaksa melaksanaan proses belajar dan lainnya dalam satu ruangan. Namun tetap ada aturan ketat dan pengawasan yang melarang pria wanita bebas bertemu dan bergaul.

Bebas bertemu tanpa ada aturan. Inilah yang menjadi titik bahasan. Kalau sekedar masih bisa bertemu, memang banyak pesantren yang masih seperti itu karena kekurangan fasilitas.

Masih ingat sinetron berjudul Pesantren dan Rock n Roll di SCTV? Nah itulah contoh gambaran pesantren abal-abal. Sinetron ini juga dianggap melecehkan citra pesantren, sinetron religi yang tidak religi, dan dianggap gagal menggambarkan semua sisi pesantren.

[nextpage title=”5. Tanpa Madrasah atau Sekolah”]

5. Tanpa Madrasah atau Sekolah

Pendidikan di pesantren umumnya melalui tiga jalur. Pengajian kitab dan kegiatan keagamaan ala santri, melalui Madrasah Diniyah dan melalui sekolah bagi pesantren modern atau semi modern. Minimal satu dari tiga hal ini harus ada dalam lembaga yang menamakan diri sebagai pesantren. Kalau sama sekali tidak ada, bisa jadi itu adalah pesantren abal-abal atau semi abal-abal.

Kenapa saya katakan minimal satu dari tiga hal (pengajian kitab, madrasah, sekolah)? Karena ada pesantren yang memang hanya mengaji kitab saja. Contoh pesantren yang dulu diasauh oleh Abuya Dimyati di Pandeglang Banten. Rata-rata pesantren memiliki pengajian kitab dan madrasah diniyyah. Sedangkan pesantren semi modern menambahkan sekolah umum untuk melengkapi pendidikan yang ada.

Nah, kalau suatu pesantren sudah komplit kelima hal tersebut terjadi di dalamnya, maka itulah pesantren abal-abal. Atau bisa juga merupakan pesantren yang non aktif lagi. Kalau masih satu atau dua ciri yang ada, mungkin itu adalah pesantren yang sedang mengalami masa-masa lesu. Bisa juga merupakan pesantren rintisan.

Baca Juga: