DatDut.Com – Dahulu, bulan masih terang di malam-malamku. Menghampar tikar, dan tidur di halaman. Sementara ibu biasa memasak di dapur. Hampir setiap purnama aku melakukannya, tidur di halaman rumah. Bahkan terkadang selama sepuluh malam pertengahan bulan.
Setiap aku melakukannya, aku merasakan bahwa rembulan itu adalah wajah ibu. Wajah yang terang dan penuh kasih sayang tanpa dapat dibandingkan dengan apapun.
Tapi apalah artinya sebuah istilah, jika pada akhirnya semua itu berubah menjadi potongan bayang kenangan dan bulir air mata.
Sebentar, aku belum ingin bercerita yang sebenarnya. Aku ingin mengatakan padamu bahwa sangat berarti kasih sayang dan nyawa dari orang tua.
Sering kita lihat di film-film, senakal-nakalnya seorang pemuda pasti menumpahkan air mata penyesalan saat ditinggal orang tuanya.
Kenapa? Karena orang tua adalah hidup kita, orang tua yang menghidupi kita. Setidaknya melahirkan kita dari sistem biologis yang sangat berat luar biasa.
Kita tidak dikandung barang sehari, ataupun dua hari. Kita dikandung selama sembilan bulan. Dan itu adalah perjuangan yang luar biasa dari seorang ibu.
Begitu pun perasaanku sekarang, kehilangan. Tak ada lagi kecupan hangat di keningku. Tak ada lagi putih murninya air susu. Tak ada lagi.
Aku tinggallah mengerang dalam hati, menjerit sekuat-sekuatnya, dimana ibu sekarang? Dan seketika itu juga aku jawab dengan ingatan, setidaknya ingatan bahwa ibu sudah meninggal.
Dulu aku menangis, namun masih ada ibu yang bisa menghapus air mataku. Sekarang aku juga menangis, siapa yang bisa menghapus air mataku? Aku hanya melarikan diri pada Tuhan, ibu sudah tiada.
Tak mungkin kembali ke dunia ini. Dengan kekuatan apapun, tak mungkin. Yang ada hanyalah torehan kisah tentang perjalanan di sore hari, senja yang ingin juga kuceritakan kepadamu kali ini.
Hari itu senja menggiring matahari menuju ufuk yang mengiring sunyi. Bapak duduk sambil menikmati rokok di pinggir selasar surau. Sementara aku menempa kening, terlentang tidak jauh disampingnya sambil membayang ibu di ingatanku.
“Pak, ibu gimana dulu pas mau meninggal?” aku bertanya dengan suara yang pelan hampir tak terdengar. Karena pikiranku berbaur dengan hayalan, hayalan nyata tentang ibu.
“Ibumu dulu sakit-sakitan. Hampir setahun lamanya, batuk-batuk dan muntah.” bapak menjawab denga suara serak sambil menghisap rokok di tangannya.
“Memang tidak di obati pak?” aku melanjutkan obrolan penuh keingintahuan tentang ibuku.
“Sudah. Sudah dicariin dukun sama nenekmu”.
“Kok masih sakit pak?” tanyaku membayang keaadaan ibu waktu itu.
“Ya, tidak tahu. Ibumu sakit semenjak bapak membuang kucing ke gunung di sebelah utara sana”.
“Kucing apa pak? kok di buang?” Tanyaku penasaran.
“Kucing peliharaan kita. Warnanya putih hitam, dia sering makan anak ayam”.
“Ooooh. Kasian juga ya pak, kucingnya. Tapi kalo tidak dibuang ayam kita bisa habis juga”.
“Ya iyalah”. Bapak menjawab singkat kemudian menundukkan mukanya.
“Buangnya gimana pak, apa langsung dilempar dan bapak lari?”
“Ya, nggak dilempar, dari rumah kucing itu bapak masukkan kedalam karung dulu. Lalu dibawah kesana. Pas mau dilepas, bapak bilang: aku tidak niat membuangmu ya. aku hanya ingin melepasmu dengan bebas. ini aku titip makanan. Gitu”.
“Oooh, jadi ada caranya juga ya pak?”.
“Iya. Biar kucingnya tidak marah. Katanya. Biar tidak mendatangkan musibah.”
“Terus, apa hubunganny dengan ibu pak, apa kucing itu masih mendatangkan musibah?”
“Entahlah. Yang jelas, ibumu sakit berkepanjangan sejak kucing itu bapak buang. Entah siapa yang salah. Mungkin itu takdir ibumu dengan alasan kucing terbuang”. Bapak mulai menyeka air matanya. Rokoknya dibuang dan tak lagi dihisap.
“Bisa juga ya, pak. Dulu waktu ibu mau meningal, di sore hari ibu pergi jalan kaki ke rumah nenek dan aku berlari menyusul ibu sampai bertemu di sungai.”
“Tapi, waktu itu aku tidak melihat bapak, bapak tidak ikut sepertinya bapak tidak memeperlakkan ibusebagaimana cara kucing yang dibuang. padahal seingatku pas nyebrang sungai, ibu tersngkur karna sakitnya dan tak kuat lagi berjalan,” kataku lagi.
“Untung ada rombongan dari rumah nenek yang membawa kursi sama batang bambu, kemudian ibu dipapah duduk di atas kursi itu dan dipikul kerumah nenek. Waktu itu sore hari dan malamnya pada dini hari ibu meninggal,” lanjutku.
Bibiku menjerit, aku hanya menangis digendong kakak. Seingatku, bapak hanya menggendongku waktu ibu sudah berbaring dengan kafan putih di ujung surau. Sebelum-sebelumnya bapak kemana, kenapa aku tidak melihat bapak?”
“Waktu itu bapak trauma, nak. Penyakit ibumu parah, bapak tidak terima. Makanya bapak menyimpan tangis dan tidak seperti biasa menuntun ibumu. Bapak sudah gila, stres. Hilang akal sehat bapak, tak rela ibumu meninggal. Dan benar, ternyata ibumu meninggal juga” kali ini bapak benar-benar renyuh memasung debu pada lututnya.
Aku tidak langsung menyambung. Menahan tangis dalam cerita itu. Aku tidak tahu apa yang harus diperbuat. Sementara mega senja semakin larut. Aku masih tak terima mengenang cerita ibu. Cerita yang mengundang sekian pertanyaan dan hikayat yang tak wajar.
“Kamu tidak boleh menyesali kepergian ibumu, itu sudah bagian dari takdirnya. Biarkan dia tenang. Kalau kamu senang, ibumu akan senang. Kalau kamu sedih ibumu juga sedih di alam sana.” Suara bapak sudah terasa berat.
“Mungkin saat ini kamu tidak melihat ibumu. Tapi sebenarnya ibumu melihatmu. Sekarang tugas kamu mendo’akan ibu. Agar ada cahaya terang di kuburnya. hanya itu yang bisa kamu berikan untuk ibu sekarang,” kata bapak lagi.
Pesan bapak menutup pintu segala cerita menjadi gelap. Dan tak wajar.
Sumenep, 2010