DatDut.Com – Tulisan ini merupakan respons atas tulisan Saudara Moch. Syarif Hidayatullah beberapa waktu lalu (Baca: Loh, Kenapa Orang Puasa yang Minta Dihormati Haknya, Justru Dianggap Lemah Iman?). Ketika itu publik di Tanah Air dihebohkan dengan razia warteg di Serang yang menggunakan dalih pelaksanaan Perda Syariah di daerah tersebut. Tulisan berikut saya sarikan dari diskusi online bersama Mas Syarif terkait tulisannya yang sempat jadi viral di media sosial.
Salah satu persoalan besar yang masih menjadi “pekerjaan rumah” komunitas Muslim di Indonesia adalah bagaimana membangun kode etik atau tata cara hubungan sosial yang baik dengan pemeluk agama lain dalam kerangka kehidupan bernegara.
Semangat yang tinggi untuk menjalankan ajaran agama tak jarang membuat sebagian Muslim di negara ini –dan banyak negara lain– mengabaikan ajaran penting bahwa selain niat baik, etika juga sangat diperlukan untuk menjalankan ajaran agama dengan baik.
Sekadar ilustrasi, bayangkan bahwa kita sedang berada dalam satu ruang guna menyelenggarakan suatu acara resmi kenegaraan yang melibatkan beragam pemeluk agama yang berbeda. Ketika hari menjelang siang, seorang pemuda Muslim yang ikut hadir dalam acara tersebut berdiri dan dengan keras mengumandangkan azan sebagai tanda panggilan salat zhuhur.
Kemudian, dia maju ke muka dan menggelar sajadahnya untuk menunaikan salat, sementara acara kenegaraan masih berlangsung. Pemuda Muslim tersebut mungkin beranggapan bahwa dia menjalankan salat sebagaimana keyakinan agamanya mengajarkannya. Akan tetapi, dalam konteks etika kenegaraan, benarkah tindakan pemuda Muslim tersebut?
Kita akan sependapat bahwa tindakan pemuda Muslim tersebut di atas adalah tidak benar. Dia tidak mengindahkan kode etik kehidupan bernegara yang baik. Bahkan secara etika kegamaan, beberapa kaidah keagamaan akan menyatakan bahwa tindakan pemuda tersebut tidak benar.
Islam mengajarkan umatnya untuk berbuat adil, yakni meletakkan segala sesuatu pada tempat yang semestinya. Pemuda tersebut telah berbuat tidak adil karena telah mengganggu jalannya acara resmi kenegaraan yang melibatkan pemeluk agama yang berbeda-beda.
Nabi Muhammad SAW juga menekankan pentingnya adab (akhlaq al-karimah) dalam bergaul dengan sesama manusia. Padahal, ada beberapa cara lain yang bisa digunakan oleh pemuda tersebut untuk menunaikan sholat atau mengajak orang lain untuk melaksanakan ibadah salat tanpa harus mengganggu jalannya acara resmi kenegaraan yang sedang berlangsung.
Meski ilustrasi tersebut di atas terlihat ekstrim dan sekaligus menyederhanakan, namun pesannya jelas: pelaksanaan ibadah perlu memperhatikan tata cara atau etika sosial kehidupan antar sesama manusia.
Terlebih dalam konteks kehidupan kenegaraan masa kini yang ditandai dengan perbedaan dan kesetaraan, umat Islam perlu merumuskan kembali kode etik hubungan sosial yang santun dan beradab dengan pemeluk agama lain –dan bahkan dengan kelompok minoritas dalam Islam seperti Ahmadiyah atau Syiah dalam konteks Indonesia.
Sayangnya, beberapa kalangan Muslim kurang mengindahkan pentingnya kode etik hubungan sosial. Alih-alih mengembangkan etika sosial yang santun, mereka justru memaksanakan kote etik ritual peribadatan ke dalam kode etik hubungan sosial. Secara ritual, Islam berpandangan bahwa segala bentuk peribadatan hanya ditujukan kepada Tuhan, dan harus tunduk dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan Rasul-Nya.
Akan tetapi, kode etik ritual hanya mengangkut beberapa tindakan khusus yang yang telah ditentukan. Sementara dalam bidang lainnya, umat Islam sebaliknya dituntut untuk menggunakan akalnya untuk memikirkan etika sosial supaya tidak melakukan kesalahan atau kerusakan sosial.