Menu Tutup

Penjelasan Lengkap tentang Aurat Laki-laki dan Wanita sesuai Pendapat Empat Mazhab

DatDut.Com – Salah satu bentuk penghormatan Islam terhadap harkat dan martabat manusia adalah adanya bagian-bagian yang terlarang untuk dilihat maupun diperlihatkan secara sengaja kepada orang lain. Bagian itu lazim disebut aurat.

Para ahli fikih telah bersepakat tentang kewajiban menutup aurat dan mengharamkan membukanya. Hanya saja mereka berbeda pendapat akan batasan-batasan sampai di mana bagian-bagian yang diharamkan untuk dibuka dan diperlihatkan kepada orang lain.

[nextpage title=”1. Pendapat al-Shabuni tentang Batasan Aurat”]

1. Pendapat al-Shabuni tentang Batasan Aurat

Muhammad Ali al-Shabuni, Guru Besar pada Fakultas Syari’ah dan Kajian Islam di Universitas Ummul Qurra, Mekkah, Saudi Arabia, mengklasifikasikan aurat ke dalam empat kategori.

Pertama, aurat seorang lelaki yang tidak boleh dilihat lelaki lainnya. Kedua, aurat seorang wanita yang tidak boleh dilihat wanita lainnya. Pada dua kategori ini batasan auratnya adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut.

Ketiga, aurat seorang lelaki tidak boleh dilihat seorang wanita. Pada bagian ini dibedakan antara mereka yang termasuk mahram (tidak boleh dinikahi) dengan mereka yang sama sekali orang lain.

Jika ia termasuk mahram, maka auratnya adalah antara pusar dan lutut. Berbeda jika ia bukan termasuk mahram. Ada yang mengatakan auratnya adalah seluruh badannya, kecuali bila yang melihatnya adalah istrinya sendiri. Meski ada pula yang mengatakan bahwa auratnya sama seperti untuk mereka yang termasuk dalam kategori mahram, yaitu antara pusar dan lutut.

Keempat, aurat seorang wanita yang tidak boleh dilihat seorang pria. Menurut pendapat yang dianggap sahih menyebutkan bahwa auratnya adalah seluruh anggota tubuhnya. Ada pula yang berpendapat bahwa hanya wajah dan kedua telapak tangan yang yang tidak masuk dalam kategori aurat.

[nextpage title=” 2. Batasan Aurat pada Mazhab Syafi’i dan Hanbali”]

2. Batasan Aurat pada Mazhab Syafi’i dan Hanbali

Pada kategori terakhir ini muncul perdebatan antara mereka yang menganggap seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat, yang diwakili kalangan pengikut mazhab Syafi’i dan Hanbali, dengan mereka yang menganggap kedua telapak tangan dan wajah tidak termasuk aurat, yang dikemukakan kalangan Hanafiyah dan Malikiyah.

Kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah mengajukan beberapa argumen dari Al-Quran dan Hadis dalam mendukung pendapatnya. Pertama, pada ayat yang menjelaskan mengenai larangan bagi para wanita memperlihatkan perhiasannya yang terdapat pada surat Al-Nur [24] ayat 31, disebutkan kalimat “janganlah mereka memperlihatkan perhiasan diri mereka” yang berarti larangan menampakkan perhiasan diri bagi seorang wanita secara mutlak.

Menurut mereka, “perhiasan diri” itu terbagi ke dalam dua bagian, alami dan hasil rekayasa. Mereka berpendapat bahwa wajah adalah perhiasan diri yang alami. Wajah bisa menjadi sumber malapetaka dan fitnah yang sangat efektif. Karenanya, wajah—juga telapak tangan—tidak boleh  ditampakkan  pada orang  lain. Maksud dari kalimat “kecuali yang tampak darinya” (lanjutan kalimat sebelumnya) adalah sesuatu yang secara tidak sengaja tampak, bukannya sesuatu yang secara sengaja ditampakkan.

Kedua, banyaknya hadis yang menjelaskan keharaman melihat bagian tubuh lawan jenis termasuk wajah dan kedua telapak tangan. Sebuah hadis misalnya menyebutkan bahwa seseorang hanya berhak untuk pandangan kali pertama, sedangkan pandangan berikutnya adalah bukan menjadi haknya lagi. Hadis itu jelas sekali menyebutkan pandangan, yang tentu saja erat kaitannya dengan bagian tubuh yang ada di daerah wajah.

[nextpage title=”3. Batasan Aurat pada Mazhab Maliki dan Hanafi”]

3. Batasan Aurat pada Mazhab Maliki dan Hanafi

Sementara itu, argumen yang dikemukakan kalangan Malikiyyah dan Hanafiyyah,  pertama, pada ayat di atas terdapat penjelasan mengenai kebolehan memperlihatkan bagian yang memang telah nampak.

Menurut mereka, penjelasan itu mengandung pengertian bahwa pada bagian-bagian tertentu yang mutlak diperlukan untuk dapat dilihat dan ditampakkan, seperti telapak tangan dan wajah, diperbolehkan untuk dilihat. Mereka mengutip pendapat Sa‘id bin Jubair dan ‘Atha’ yang menyatakan bahwa maksud dari “apa yang tampak itu” adalah dua telapak tangan dan wajah.

Kedua, ada sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari A’isyah yang menyebutkan bahwa wanita hanya boleh menampakkan bagian telapak tangan dan wajahnya. Ketiga, seorang wanita pada saat melakukan salat maupun ketika melakukan ihram diperbolehkan membuka wajah dan telapak tangannya. Sekiranya kedua bagian tubuh itu menjadi aurat, tentu keduanya akan dilarang dibuka.

[nextpage title=”4. Suara Termasuk Aurat, Kah?”]

4. Suara Termasuk Aurat, Kah?

Selain masalah wajah dan kedua telapak tangan seorang wanita, para ahli fikih juga berselisih pendapat mengenai suara wanita. Kalangan Hanafiyyah menegaskan bahwa suara seorang wanita adalah aurat. Mereka mendasarkan argumennya pada bagian akhir ayat 31 itu “janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan”.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa seorang wanita tidak boleh berjalan sampai-sampai suara gemerencing gelang kakinya terdengar orang lain. Karena, itu dikhawatirkan akan dapat menggerakkan syahwat lawan jenisnya. Dari ayat ini mereka beristinbath, kalau bunyi gemerencing gelang kakinya saja dilarang, apalagi suaranya sendiri yang jelas-jelas lebih akan mengundang tergeraknya syahwat lawan jenisnya.

Kalangan Syafi’iyyah menyatakan bahwa suara seorang wanita bukanlah termasuk aurat. Menurut kalangan ini bahwa dalam Islam seorang wanita  dibenarkan melakukan transaksi jual beli dan ia juga mempunyai hak untuk menyampaikan kesaksiaannya.

Dalam transaksi dan kesaksian, tentu saja suara merupakan hal yang penting. Karenanya, menurut mereka tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa suara seorang wanita adalah aurat. Meski demikian, kalangan ini tetap sepakat apabila itu akan menimbulkan fitnah, maka hal itu lebih baik dilarang.

Jadi, perintah menutup aurat ditetapkan demi untuk menjaga harkat dan martabat manusia. Alasan utama perintah itu adalah dikhawatirkannya akan timbul fitnah berupa tergeraknya syahwat lawan jenis. Karena pada prinsipnya, Islam selalu mengharamkan segala sesuatu yang dapat mengundang fitnah, apalagi itu sudah masuk dalam kategori mendekati sesuatu yang sangat dilarang oleh Islam, yaitu zina.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *