Menu Tutup

Ini 5 Masalah yang Kerap Ditemui dalam Penerjemahan Alquran

DatDut.Com – Penerjemahan Alquran adalah mengalihkan pesan Alquran, ke bahasa asing selain bahasa Arab, agar dapat dikaji oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab, sehingga dapat dimengerti maksud dari firman Allah tersebut sesuai pemahaman umum yang diterima oleh umat Islam. Oleh karenanya, seorang penerjemah Alquran harus berpedoman pada tafsir dalam menerjemahkannya. Ini tentu saja tafsir-tafsir yang diterima oleh umumnya umat Islam.

catatanSelain berpegang pada tafsir tertentu sebagai rujukan memilih arti, seorang penerjemah dapat juga membandingkan hasil terjemahan yang sudah ada. Dengan membandingkan hasil terjemahan yang sudah ada, seorang penerjemah diharapkan dapat menentukan model terjemahan yang dipilihnya, termasuk metode, pendekatan, dan teknik yang akan dipakai.

Ia juga bisa belajar dari kesalahan atau kekurangakuratan yang dihasilkan oleh penerjemah sebelumnya untuk kemudian memberikan alternatif perbaikan yang diusulkannya sebagai bagian dari sumbangsihnya dalam terjemahan Alquran.

Namun dalam proses pengalihan pesan tersebut tak jarang ditemukan masalah-masalah baik kebahasaan maupun nonkebahasaan, yang justru membuat hasil terjemahan menjadi aneh dan terasa asing. Berikut 5 contoh masalah yang kerap ditemukan pada terjemahan Alquran yang beredar:

1. Penerjemahan Partikel Waw

Partikel waw selalu diterjemahkan dengan dan, padahal tidak semua waw merupakan harf ‘athf. Contoh penerjemahan QS Fathir, 35:

والله الذي أرسل الرياح فتثير سحابا

Dan Allah, Dialah Yang mengirimkan angin; lalu angin itu menggerakkan awan.

Seharusnya, kata dan itu tidak perlu ada, karena wa pada ayat itu merupakan waw ibtida’. Terjemahan ayat tersebut bisa seperti berikut:

Allah-lah yang mengirimkan angin yang bisa menggerakkan awan.

2. Penerjemahan Partikel Inna

Selain penerjemahan waw, penerjemahan partikel inna yang sering diterjemahkan dengan sesungguhnya. Padahal, tidak semua inna bermakna taukid (penegasan). Ada pula inna yang juga berfungsi pembuka wacana. Hal ini seperti pada QS Al-Naba’, 31 berikut:

إن للمتقين مفازا

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan.

Pada ayat tersebut bisa diterjemahkan sebagai berikut:

Orang-orang yang bertakwa pasti mendapat ke-menangan.

3. Diksi

Masalah lainnya juga terkait dengan keakuratan pemilihan diksi. Penerjemahan kata tufsidu dengan membuat kerusakan, seperti pada QS Al-Anfal, 56 berikut:

ولا تفسدوا في الأرض بعد إصلاحها

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.

Kata tufsidu pada ayat itu, menurut Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir, lebih bermakna ‘kemusyrikan dan kemaksiatan’, sementara kata ishlah ‘perbaikan dengan terutusnya para rasul’. Dengan merujuk pendapat Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir tersebut, ayat itu seharusnya bisa diterjemahkan sebagai berikut:

Janganlah berlaku menyimpang di muka bumi dengan syirik dan maksiat setelah terutusnya para rasul.

Masalah diksi juga bisa ditemui pada penerjemahan wa la tamutunna illa wa antum muslimun, seperti pada QS Al-Baqarah, 132:

فلا تموتن إلا وأنتم مسلمون

Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.

Bila diterjemahkan demikian, seolah-olah ada larangan untuk mati. Padahal, mati bisa datang kapan saja. Oleh karenanya, terjemahan ayat tersebut bisa seperti berikut:

Peganglah teguh agama Islam hingga maut menjemput kalian.

4. Pemadanan Bercatatan 

Kata فتنة yang menjadi faux amis dengan kata fitnah bahasa Indonesia. Perhatikan ayat berikut:

والفتنة أشد من القتل

Fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan (QS Al-Baqarah [2]:191)

والفتنة أكبر من القتل

Fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan (QS Al-Baqarah [2]: 217)

Karena tidak ditulis dengan huruf miring pada terjemahan itu, banyak orang mengira bahwa kata fitnah dalam terjemahan tersebut adalah sama dengan fitnah dalam pengertian bahasa Indonesia, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 318):

‘Perkataan bohong atau tanpa dasar kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang). Memfitnah berarti menjelekkan nama orang (menodai nama baik, merugikan kehormatan, dsb).

Akibatnya, lahirlah ungkapan “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”. Padahal, kata fitnah dalam kedua ayat di atas artinya adalah:

Menimbulkan kekacauan, seperti mengusir sahabat dari kampung halamannya, merampas harta mereka dan menyakiti atau mengganggu kebebasan mereka beragama. Atau, tindakan penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas agama Islam dan kaum Muslimin.’

5. Pengalihan Isyarat dan Kebiasaan

Setiap kebudayaan mempunyai isyarat dan kebiasaan yang khas dan berbeda dengan kebudayaan yang lain. Bahkan tak jarang, isyarat dan kebiasaan yang sama, tetapi maknanya berbeda. Dalam kasus bahasa Arab, hal ini bisa kita temukan pada kasus ayat berikut:

ولا تجعل يدك مغلولة إلى عنقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسورا

Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (QS Al-Isra [17]: 29).

“Tangan terbelenggu pada leher” adalah simbol kikir yang bersumber pada isyarat tangan yang dikenal di kalangan bangsa Arab. Isyarat dan kebiasaan seperti ini dengan makna ‘kikir’, ternyata tidak dikenal dalam budaya bahasa Indonesia. Kalaupun ada, maknanya berbeda.

syarif hade

Dr. Moch. Syarif Hidayatullah | Founder DatDut.Com

@syarifhade

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *