DatDut.Com – Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, peneliti khotbah jihad dalam Perang Aceh abad ke-19 dari UIN Jakarta, menyebut lucu ancaman Biksu Wirathu yang akan menyerang Aceh karena tak terima ada dua orang pemeluk Buddha di Aceh yang terkena hukuman cambuk.
Wirathu yang dikenal anti-Islam dan dalang pembantaian ratusan ribu muslim di Rohingya ini diberitakan menebar ancaman akan membalas perlakuan muslim di Aceh terhadap umat Buddha.
“Wirathu sepertinya lupa kalau Aceh masih menjadi bagian dari NKRI. Itu artinya serangan terhadap Aceh adalah serangan terhadap kedaulatan NKRI. Myanmar, apalagi cuma sekelompok biksu rasis dan teroris itu, tak ada apa-apanya bila mau macam-macam dengan kita. TNI, apalagi Kopassus, mungkin bisa melumpuhkan negeri itu hanya dalam sehari saja,” kata Syarif.
Seperti diberitakan banyak media, salah satunya Aljazeera, Wirathu menyombongkan para pengikutnya yang sudah membantai massal umat Islam Rohingnya hingga ratusan ribu. Mereka over percaya diri mau melakukan penyerangan terhadap Aceh dan menaklukkan semua wilayah Asia Tenggara.
“Pembantaian itu bisa ia dan pengikutnya lakukan, karena pemerintah di negaranya tak mencegah tindakan teror sadis yang dilakukannya. Genosida yang dilakukannya kepada etnis Rohingnya Muslim, dimungkinkan karena umat Islam minoritas di negara itu dan nyaris tidak memiliki kekuatan politik apa pun,” tegas Syarif.
Lebih lanjut menurut Syarif, Wirathu mungkin tak pernah membaca sejarah Aceh. Wilayah yang mendapat julukan Serambi Mekah ini, sudah terlalu terbiasa dengan perang. Ajakan atau ancaman perang, apalagi cuma serangan, bukan sebagai suatu yang menakutkan bagi masyarakat Aceh.
“Di masa penjajahan Belanda, semua peneliti menyebut Perang Aceh merupakan perang terlama. Sebagian ahli, seperti Alfian dan Hadi, menyebut perang ini berlangsung selama 40 tahun. Ada juga peneliti, seperti Hasjmy, yang menyebut bahwa perang ini berlangsung selama 50 tahun. Bahkan, van’t Veer, peneliti Belanda, menyebut perang ini berlangsung selama 69 tahun,” jelas Syarif.
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta ini menunjukkan juga sumber Belanda yang menyebut bahwa Perang Aceh terjadi sebanyak empat kali. Perang Aceh I terjadi pada tahun 1873. Perang Aceh II terjadi pada 1874-1880. Perang Aceh III terjadi pada 1884-1896. Perang Aceh IV terjadi pada 1898-1942.
“Dengan kata lain, Perang Aceh selain merupakan perang terlama dalam sejarah kolonial Belanda di Indonesia, juga perang termahal bagi pemerintah Hindia Belanda. Itu kesimpulan dari para peneliti tentang Perang Aceh dari dalam dan luar negeri,” lanjut Syarif.
“Itu baru Perang Aceh. Belum lagi ketika Aceh mengalami masa Daerah Operasi Militer (DOM) yang berlangsung sekian tahun lamanya. Saat ini bahkan mantan panglima dan pimpinan kombatan dari Gerakan Aceh Merdeka banyak yang menjadi kepala daerah dan memegang posisi penting di Aceh. Mereka sudah sangat tahu medan Aceh, karena pernah berperang secara gerilya. Intinya jangan nantangin Aceh perang, lah,” kata Syarif sambil terkekeh.
Syarif yang juga peneliti wacana media online, menunjukkan respons masyarakat Aceh, seperti yang diberitakan di media online dan di lini masa media sosial. Menurutnya, tak ada ketakutan sedikit pun yang terlihat. Ini karena hukuman terhadap dua orang Buddha itu dilakukan sudah sesuai dengan qanun syariah yang berlakuk di Aceh. Dan, hal itu berlaku untuk semua, termasuk untuk umat Islam.
Mungkin biksu meng hayal kayak di flem2 jetli …,biksu ….!kami..atas nama pibumi aceh khususnya..dan indonesia umum nya…sngat meng hargai tatangan anda…!!
Biksu pungoe !!! Welcome to aceh…