Menu Tutup

Ini 5 Penjelasan tentang Pemimpin Non-Muslim dalam Konteks Indonesia

DatDut.Com – Beberapa waktu lalu pernyataan Ustad Maulana dalam ceramahnya di televisi swasta menjadi kontroversi. Ustad yang mempunyai jargon ‘jamaah,ooooh jamaah’ ini menegaskan bahwa agama bukanlah syarat penting menjadi seorang pemimpin. Pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, dan lain sebagainya boleh menjadi pemimpin.

Tentu, pernyataan ustad humoris ini mengundang pro dan kontra. Hari-hari ini isu terkait pemimpin non-Muslim ramai diperbincangkan kembali. Ini tentu terkait dengan Pilkada DKI pada 2017. Wacana Gubernur Muslim Jakarta mengerek kembali isu ini. Terlepas pro-kontra tersebut, 5 penjelasan di bawah ini mengupas kepemimpinan non-Muslim dalam konteks Islam Indonesia.

[nextpage title=”1. Penerjemahan Ayat Alquran Kepemimpinan non-Muslim”]

1. Penerjemahan Ayat Alquran Kepemimpinan non-Muslim

Perbedaan pendapat terkait kepemimpinan non-Muslim bersumber di antaranya atas perbedaan penafsiran kata auliya dalam surat al-Maidah ayat 51 dan 57. Kata auliya diterjemahkan pemimpin-pemipin. Ini artinya mayoritas Muslim tidak boleh dipimpin non-Muslim.

M. Quraish Shihab memilih tidak menerjemahkan kata auliya dengan pemimpin. Ulama pakar tafsir ini justru membiarkan kata auliya tanpa diterjemahkan. Menurutnya, kata auliya memiliki arti dasar ‘dekat’. Kemudian makna kata tersebut berkembang menjadi pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain sebagainya.

[nextpage title=”2. Penfasiran Ayat Alquran Kepemimpinan non-Muslim”]

2. Penfasiran Ayat Alquran Kepemimpinan non-Muslim

Penulis Tafsir Al-Mishbah mengutip pendapat Sayyid Thanthawi dalam menafsirkan ayat ini. Menurut ulama Mesir ini non-Muslim terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang hidup bersama umat Muslim dan hidup damai tanpa merugikan mayoritas umat muslim. Kelompok ini memiliki hak dan kewajiban sosial yang sama dengan umat Muslim.

Kedua, kelompok yang memerangi atau merugikan umat Muslim dengan berbagai cara. Ketiga, kelompok yang tidak memerangi umat Muslim, namun ditemukan indikator bahwa mereka tidak bersimpati dengan umat Muslim. Mudah-mudahan mayoritas non-Muslim di Indonesia termasuk dalam kategori yang pertama.

[nextpage title=”3. Pemimpin Sejati Pilihan Rakyat”]

3. Pemimpin Sejati Pilihan Rakyat

Pemimpin pilhan rakyat tentu harus memiliki kriteria jujur, adil, dan dapat menyejahterakan rakyatnya. Penduduk Indonesia sudah bosan melihat tayangan televisi yang memberitakan korupsi para pemimpin di negeri ini. Tindakan korupsi ini berdampak negatif bukan hanya dengan koruptor pribadi, namun secara  sosial, orang-orang di sekitarnya pun terstigma buruk atas tindakannya.

Bahkan, agama yang dipeluk koruptor juga akan menjadi korban. Sehingga, istilah ‘lebih baik pemimpin non muslim baik, jujur, dan adil daripada pemimpin muslim koruptor’ sering kita dengar. Inilah yang seharusnya kita koreksi sebagai Muslim. Mengapa istilah demikian tertanam dalam benak setiap orang.

Fanatisme berlebihan terhadap partai politik, organisasi, dan mazhab juga menjadi salah satu hambatan dalam menyeleksi pemimpin pilihan rakyat. Siklus perbedaan lembaga-lembaga di Indonesia saat ini tidak lagi memegang prinsip Bhineka Tunggal Ika.

[nextpage title=”4. Hindari Kata Kasar dan Kotor Bila Tidak Sependapat dengan Orang Lain”]

4. Hindari Kata Kasar dan Kotor Bila Tidak Sependapat dengan Orang Lain

Menghargai pendapat orang lain bukanlah perkara mudah. Hal tersebut membutuhkan kedewasaan berpikir dan wawasan yang luas dalam semua bidang. Kita tidak boleh merasa paling benar dan pintar sendiri, sehingga semua pendapat yang tidak sesuai dengan yang kita ketahui dianggap salah dan sesat.

Bukankah Alquran menegaskan, wa fauqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim, di atas langit masih ada langit? Inilah yang seharusnya kita lakukan sebagai muslim yang baik. Toh, masalah kepemimpinan non-Muslim merupakan perbedaan pendapat penafsiran. Tidak setuju wajar, namun menghardik dan menghakimi ini yang bukan tuntunan Islam.

[nextpage title=”5. Non-Muslim Memiliki Hak Politik yang Sama dengan Muslim”]

5. Non-Muslim Memiliki Hak Politik yang Sama dengan Muslim

Berbicara hak politik tentu berkaitan dengan hak memilih dan dipilih sebagai pemimpin. Semua penduduk Indonesia berhak memilih pemimpin dan dicalonkan sebagai pemimpin tanpa melihat suksu, agama, dan budaya.

Dalam hal ini, tentu kita harus berlomba dan bersaing mencari pemimpin terbaik dari kalangan muslim sendiri. Berpartisipasi dalam pemilihan politik hal wajib yang harus dilakukan untuk menghindari terpilihnya pemimpin yang tidak kita inginkan.

Pada akhirnya, kita harus terus berupaya agar lahir pemimpin-pemimpin Muslim berkualitas, sehingga ungkapan negatif di atas bisa hilang dengan sendirinya. Faktanya, banyak sekali pemimpin Muslim hari ini yang sangat berprestasi. Sebut misalnya Ridwan Kamil, Ibu Risma Walikota Surabaya, Bupati Banyuwangi, Bupati Purwakarta, dan Bupati Bantaeng. Apalagi demokrasi meniscayakan kelompok mayoritas sebagai pemimpin.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *