DatDut.Com – Masa penjajahan yang dialami oleh negara-negara mayoritas Muslim, membangkitkan kesadaran masyarakatnya untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat. Kesadaran inilah yang ditunjukkan oleh banyak tokoh intelektual muslim seperti, Muhammad Ali, Jamaludin al-Afghani, dan Muhammad Abduh.
Tokoh-tokoh intelektual Muslim itu mengadopsi gagasan-gagasan modern dari Barat, dari berbagai aspek, di antaranya aspek pendidikan, politik, sosial dan ekonomi. Jamaludin al-Afghani, dan Muhammad Abduh melakukan pembaharuan pemikiran Islam. Gagasan keduanya dilatarbelakangi oleh ketertinggalan umat Islam yang saat itu mengalami masa stagnan karena ditutupnya pintu ijtihad.
Jamaludin al-Afghani, dan Muhammad Abduh membawa sebuah gagasan baru untuk menggantikan tradisi pemikiran yang lama yang sudah tidak relevan lagi. Aktivitas pembaharuan yang dilakukan oleh keduanya menyebar ke seluruh dunia Islam dengan cepatnya. Padahal, sebelum Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh, sebetulnya telah ada dua tokoh intelektual Islam yang lebih dahulu menyebarkan gagasannya yaitu, Muhammad bin Abdul Wahab dan Sanusi.
Muhammad bin Abdul Wahab dan Sanusi memiliki karakter yang berbeda dengan Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Perbedaan karakternya adalah jika Jamaludin al-AFghani dan Muhammad Abduh melakukan pembaharuan dengan mengadopsi gagasan-gagasan Barat atau lebih memandang ke depan, sedangkan Muhammad bin Abdul Wahab dan Sanusi melakukan pembaharuannya dengan meniru pandangan zaman salafiyah (generasi awal Islam) atau bisa dikatakan dengan melihat ke belakang.
Pembaruan yang dilakukan oleh keempat tokoh ini menyebar ke seluruh dunia, tak terkecuali Nusantara. Pembaruan yang terjadi di Nusantara didasari oleh beberapa faktor penting, di antaranya, Islam di Nusantara dianggap sinkretis karena tercampur tradisi masyarakat pribumi sehingga ajarannya tidak murni lagi.
Selain itu, pembaruan itu terjadi lantaran banyak orang Nusantara yang belajar ke Haramain. Sepulangnya mereka dari Haramain, ajaran yang didapat di sana diseberluaskan di Indonesia. Faktor yang tak kalah pentingnya adalah adanya pengaruh pendidikan modern yang diperkenalkan oleh para penjajah.
Ide-ide pembaharuan ini kemudian menggantikan ide lama yang telah mapan dan melembaga di masyarakat. Pembaharuan pemikiran di Indonesia terjadi sejak gerakan yang dilakukan oleh kaum Paderi pada 1845-an di Sumatra Barat. Gerakan ini lebih bertendensi kepada peniadaan bid’ah dan khurafat.
Kemudian pada awal abad ke-20 tepatnya pada tahun 1905 didirikanlah Sarekat Dagang Islam (SDI). Ini adalah organisasi yang mewadahi pedagang-pedagang Islam yang menentang politik Belanda, karena memberikan keleluasaan untuk para pedagang asing teutama pedagang Tionghoa yang waktu itu tengah menguasai perdagangan batik.
Berdirinya SDI adalah suatu manifestasi dari pembaharuan pemikiran Islam dalam aspek ekonomi, sebagaimana dikatakan oleh Deliar Noer. SDI ini kemudian pada tahun 1912 tidak hanya terfokus pada aspek ekonomi saja melainkan memperluas jangkauannya kepada bidang politik dan agama. Pada masa ini SDI berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) di bawah pimpinan H.O.S Tjokroaminoto.
Abad ke-20 menjadi titik tolak kebangkitan umat Islam Indonesia dari penjajahan. Hal ini bisa berlangsung dengan melakukan sebuah pembaharuan pemikiran dalam berbagai aspek, karena pada masa ini berdiri juga organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah yang berdiri pada 18 Nopember 1912. Organisasi ini didirikan oleh Muhammad Darwis atau lebih dikenal dengan panggilan Kiyai Haji Ahmad Dahlan.
Pada tahun 12 September 1923 didirikan juga Persatuan Islam (Persis) oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Selain itu ada juga Al-Irsyad yang didirikan pada 6 September 1914 oleh Syekh Ahmad Surkati, seorang ulama yang berasal dari Sudan. Selanjutnya, Nahdlatul Ulama yang berdiri pada 31 Januari 1926 didirikan oleh di antaranya Kiyai Haji Hasyim Asy’ari.
Organisasi-organisasi keislaman ini pada umumnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu ingin membangkitkan umat Islam dari keterpurukan melalui pendidikan, seperti pesantren dan sekolah-sekolah yang juga mengajarkan ilmu pengetahuan umum.
Selain itu, pembentukan organisasi itu juga bertujuan untuk menegakan hukum Islam yang pada waktu itu tercampur oleh tradisi pribumi, maka dapat dikatakan bahwa organisasi-organisasi tersebut menggunakan Islam sebagai semangat kemajuan (the spirit of progress).
Gerakan pembaharuan Islam yang diwujudkan dalam bentuk organisasi itu kemudian mampu membuat banyak perubahan di berbagai bidang seperti pendidikan, politik, sosial, dan ekonomi yang terus berlanjut hingga sekarang.
Kemudian pada pertengahan sampai akhir abad ke-20 muncul para tokoh yang disebut oleh Fachry Ali dan Bachtiar Effendy sebagai “kelompok pemikir baru”. Kemunculan “kelompok pemikir baru” ini dimulai sejak tahun 1970, tokoh-tokohnya seperti Nurcholish Madjid, Djohan effendi, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, dan Abdurrahman Wahid.
Tokoh-tokoh tersebut mengusung tema pokok di antaranya, sekularisasi, kebebasan berfikir, pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Tokoh-tokoh “kelompok pemikir baru” ini mampu memperbaharui pemikiran sebelumnya. Meskipun banyak pro dan kontra dalam perjalanannya, kelompok ini merupakan kelanjutan dari jalan panjang menuju kebangkitan Islam terutama di Indonesia.