Datdut.Com – Saat ini masih hangat-hangatnya penerimaan siswa atau mahasiswa baru. Pasti teringat, kan, kegiatan apa yang bakal dilalui diawal-awal seperti ini. Yup, apalagi kalau bukan Masa Oritentasi Siswa alias MOS dan OSPEK alias Orientasi Pengenalan Kampus.
Banyak kegiatan dan hal-hal yang dirasa jauh dari makna masa orientasi yang sesungguhnya. Di samping banyak kekeliruan, kesalahan dan pelanggaran dalam praktik masa orientasi tersebut di lapangan.
Mau tahu, kesalahan dan kekeliruan yang tak terampuni dari saat MOS atau OSPEK bagi masa depan dunia pendidikan kita? Simak, 5 kesalahan tersebut berikut ini:
1. Identik dengan Pemborosan
Ketika masa-masa orientasi, siswa dan mahasiswa baru banyak direpotkan untuk melengkapi atribut-atribut tidak perlu, nyleneh, dan aneh. Beragam pernak-pernik yang dipakai tidak sedikit justru memberatkan siswa dan orangtua.
Apa perlunya menggunakan petai sebagai dasi? Permen menjadi gelang, dll. Ini semua menanamkan bibit pemborosan. Bahan makanan dijadikan mainan yang pada akhirnya akan menjadi terbuang percuma. Padahal itu semua tidak didapat dengan gratis! Semua dibeli! dan secara logika sangat tidak masuk akal.
Mungkin panitia orientasi berpikir bahwa apa yang mereka lakukan supaya peserta didik baru lebih kreatif. Padahal untuk membangkitkan kreativitas tidak harus dilakukan dengan cara-cara tidak mendidik dan tidak berguna. Sebaiknya siswa dan mahasiswa diajarkan bagaimana berpakaian yang rapi dan bersih, sesuai dengan tata tertib dan aturan yang berlaku di sekolah atau kampus mereka. Bukannya diajarkan berpakaian compang-camping dan nggak karuan.
2. Identik dengan Kekerasan
Banyak yang telah menjadi korban bahkan berujung kematian akibat kegiatan orientasi yang tidak mendidik. Kegiatan orientasi selama ini diidentikkan dangan ajang perploncoan, kekerasan, menyuburkan benih bullying dan pengelompokan (gank) dan lain sebagainya.
Sebagian mereka berdalih bahwa ajang orientasi semacam ini adalah sebagai momen perkenalan antara senior dan yunior, dan begitu sebaliknya. Ada yang berdalih bahwa kekerasan diperlukan demi menegakkan disiplin bagi mereka. Tentunya, dalih semacam ini tidaklah benar dan jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri.
MOS atau OSPEK yang identik dengan kekerasan hanya akan melestarikan budaya kekerasan dari generasi ke generasi. Sang yunior yang dibentak-bentak dan diberi hukuman fisik, pastilah menyimpan sebuah dendam di hati yang itu nantinya akan dilampiaskan ke yunior tahun berikutnya. Selalu seperti ini berulang terus tiap tahunnya.
Jika kita merujuk kepada tujuan pelaksanaan orientasi yang ditetapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka kegiatan orientasi banyak memberikan manfaat kepada siswa baru. Kegiatan orientasi merupakan wahana pengenalan sekolah kepada siswa atau mahasiswa baru, agar mereka siap untuk belajar di sekolah baru.
Peserta didik baru perlu dibekali pengetahuan tentang lingkungan sekolah misalnya visi dan misi sekolah, program dan cara belajar, tata tertib dan peraturan sekolah, kegiatan-kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Oleh karena itu, agar pelaksanaan kegiatan orientasi tidak keluar dari koridor yang telah ditetapkan maka pemantauan guru pembina, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dan kepala sekolah perlu ditingkatkan
3. Identik dengan Senioritas
Ada beberapa peraturan sepihak yang diberlakukan saat kegiatan orientasi yang banyak merugikan dan harus dijalani siswa atau mahasiswa baru. Aturan ini terdiri dari tiga pasal. Pasal pertama, senior tidak pernah salah. Pasal kedua, yunior harus mematuhi segala perintah seniornya. Pasal ketiga, jika senior salah, maka kembali ke pasal satu. Aturan ini dijadikan dasar bagi kakak kelas untuk berbuat semaunya.
Sejatinya, ajang senioritas ini hanya akan menanamkan bibit gangster, pengkotak-kotakan, dan diskriminasi antarsiswa. Pada akhirnya, hal ini bisa berdampak pada sikap dan tingkah laku mereka yang cenderung anarkis, sinisme, dan berujung pada tawuran antar pelajar atau siswa. Agaknya, ajang senioritas nama lain dari ajang adu kekerasan dan superioritas antar siswa.
4. Budaya Penjajah
Kegiatan orientasi pada dasarnya sebagai upaya menanam kedisiplinan dengan menerapkan beragam hukuman dan bentakan sebagai bentuk militerisme kampus atau sekolah secara sadar atau tidak telah menanamkan budaya feodal atau mental penjajah.
Ajang ini telah mewajibkan siswa atau mahasiswa baru untuk menghormati paksa senior dan menuruti segala kehendak senior. Hanya terkesan memuaskan para senior yang ‘sok gila kuasa’ dan menganggap rendah status mahasiswa baru tak lebih sebagai budaknya. Perilaku feodalisme dalam pendidikan masih tumbuh subur yang dimulai dari kegiatan orientasi siswa semacam ini.
Apa pun alasannya apakah kegiatan tersebut untuk ajang perkenalan ataukah membangun mental-kepribadian untuk siap masuk sekolah atau kuliah, kegiatan tersebut telah membangun sikap “feodal” untuk pertama kalinya siswa mengenal sekolah lanjutan atas dan kampus.
5. Menyisakan Trauma Psikologis
Tidak sedikit juga para siswa atau mahasiswa yang mengalami trauma psikologis setelah mengikuti kegiatan orientasi semacam ini. Sebab, setiap orang memiliki kerentanan psikologis yang berbeda-beda, sehingga hukuman yang serampangan atau perlakuan yang menekan mental pada saat MOS atau OSPEK dapat menimbulkan suatu trauma tersendiri bagi beberapa orang.
Trauma ini pada akhirnya akan menimbulkan abnormalitas kejiwaan seseorang. Sehingga hal ini tidak menutup kemungkinan membuat sebagian siswa atau mahasiswa bersikap minder, penakut, menumpulkan kreativitasnya, tidak percaya diri, dan lain sebagainya.