Menu Tutup

Orang Liberal Memelintir Penjelasan Ibnu Katsir terkait Al-Maidah 51, Syarif Hade: Itu Memperkosa Tafsir!

DatDut.Com – Salah satu akun seseorang yang sepertinya terafiliasi dengan kelompok liberal beberapa hari lalu memposting pendapatnya terkait QS Al-Maidah 51. Seperti biasa, dengan jumawa dan kepedean dia memposting foto tafsir Ibnu Katsir yang akan dijadikan amunisi untuk menghantam orang-orang yang memahami QS Al-Maidah 51. Berikut postingan tersebut:

Saya tdk sedang membela Ahok. Karena 1000% sya pun tdk akan mencoblos Ahok. Namun harus kita cermati pendapat Ibnu Katsir ini mengenai tafsir surat al maidah : 51. Cermati dg baik pake illustrated nahwu dan Sharaf serta Ilmu balaghah bahkan mantiq juga usul fiqh. Jangan pake buku terjemahan nanti nya akan ngawur cara menyimpulkan pendapat Ibnu Katsir ini.

Kata Ibnu Katsir, Jika nasrani dan yahudi itu tdk memerangi / menghancur kan Islam tdk jadi masalah dia menjadi penolong /wala/pemimpin. Itu mafhum mukhalafah nya. Liat kata “alladzhina hum ‘adaa” ungkapan tafsir Ibnu Katsir tsb. Dlam grametika dan balaghah hal tsb ismul maushul bi syarti.

Tidak lama setelah postingan itu berkeliaran di akun-akun kelompok liberal, tulisan itu pun mendapat tanggapan dari Syarif Hade, peneliti wacana media Islam, pengkaji Linguistik Arab, dan penulis buku Cakrawala Linguistik Arab. Berikut tanggapan Syarif Hade dalam postingannya di akun Facebooknya:

Orang ini sepertinya sudah memperkosa teks Tafsir Katsir demi syahwat menyenangkan kawan-kawan liberalnya dan insting keliberalannya.

Dan, anehnya kawan-kawan liberalnya langsung bersorak seolah menemukan amunisi baru. Padahal pembacaannya terhadap teks, masih bermasalah dan banyak titik lemahnya.

Kesimpulan saya, orang-orang liberal yang konon katanya bagus penguasaan teks Arabnya, ternyata cuma segitu ya. Sungguh saya amat kaget. Ternyata gak sekeren yang saya bayangkan atau yg sering diceritakan para simpatisannya. Ternyata itu hanya mitos yg sengaja diciptakan untuk menakuti-nakuti kucing.

Jadi, saya jadi curiga selama ini mereka menang sok saja dan cuma kowar-kowar. Tapi saya bersyukur juga kebiasaan buruk memperkosa teks demi syahwat liberalismenya, jadi kelihatan ketika teks Arabnya disertakan.

Kembali ke soal pemahaman dan pemerkosaan teks. Di paragraf kedua statusnya, orang ini secara serampangan “mengangkangi” Tafsir Ibnu Katsir dengan membuat lompat logika, padahal di teksnya sama sekali Ibnu Katsir tak mengatakan hal itu. Jadi aneh sekali bila penjelasan Ibnu Katsir dipaksakan untuk dipahami seperti itu.

Kalau dia menyebut seolah-olah tahu mantiq, ushul fiqih, balaghah, nahwu-sharaf (gramatika), dll, tapi dari cara dia memahami teks saya justru melihat dia gak punya bekal yang cukup dan cakap dalam memahami ilmu-ilmu itu.

Kepada penulis status itu, saya hanya ingin mengutipkan pepatah yang berkembang di Asia (niru-niru gaya diplomat Nara), “Bila jari telunjukmu menunjuk pihak lain, maka secara otomatis ibu jarimu menunjuk ke mukamu.” Kalau dia menuduh orang lain pakai terjemahan, maka saya jadi curiga dia juga ambil pemahaman itu dari terjemahan.

Atau, supaya fair, saya bersedia ketemu ybs utk mendiskusikan ini. Siapa tahu saya diajarin cara memperkosa teks dan teknik lompat logika.

Di tempat terpisah, Syarif Hade juga menyebut beberapa kelemahan pemahaman orang liberal itu terhadap penjelasan Ibnu Katsir. Pertama, sejak kapan alladzina menjadi ismul maushul bi syarth. “Ini istilah yang sepertinya tak pernah saya temui di kitab-kitab gramatika Arab. Ini terlalu memaksakan diri agar sesuai dengan asumsi liberalnya,” jelas Syarif Hade. “Pada tafsir itu, kata alladzina jelas menjadi perluasa unsur kata al-yahud dan al-nashara,” imbuh Syarif.

Kedua, Ibnu Katsir jelas-jelas menghadirkan argumen yang memperkuat bahwa ayat itu juga dalam konteks kepemimpinan. Argumen itu berupa kisah tentang Abu Musa Al-Asy’ari yang mengangkat seorang Nasrani sebagai katib (sekretaris). Padahal si Nasrani tersebut bukan termasuk orang yang memusuhi atau memerangi muslim, tetapi Umar bin Khattab tetap memerintahkan agar katib Nasrani tersebut dibatalkan pengangkatannya. “Apa dia tidak membaca atau tak memahami teks itu?”

Ketiga, di Tafsir Ibnu Katsir itu jelas-jelas ada klausa parantetikal (jumlah mu’taridhah) yang tertulis: qatalahum Allah (semoga Allah membunuh dan menghancurkan mereka) yang dituliskan Ibnu Katsir dan dirujukkan dalam konteks pembicaraan ihwal Yahudi dan Nasrani.

“Masa yang begini saja tidak tahu, tapi sudah kepedean memonopoli pemahaman dan menganggap orang lain tak bisa baca teks itu. Menyedihkan!” sindir Syarif Hade, yang mempunyai nama asli Moch. Syarif Hidayatullah, doktor filologi dan analisis wacana Universitas Indonesia dan Ketua Program Studi Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *