Menu Tutup

Nusron! Belajarlah Sekali Lagi tentang Tafsir Al-Maidah 51 agar Terbuka Mata Hatimu

DatDut.Com – Menarik sekali acara ILC Selasa, 11/10/2016, yang bertajuk “Setelah Ahok Minta Maaf”. Namun patut disayangkan salah satu nara sumbernya, Nusron Wahid (NW), menyampaikan pendapatnya dengan nada tinggi, bahasa tubuh yang tampak kurang sopan, menggurui dan memonopoli kebenaran terkait tafsir Al-Maidah 51.

Di awal pembicaraannya NW langsung menampakkan kejumawaannya dengan merendahkan umat Islam. “Umat Islam ini memang biasa ramai. Ramainya umat Islam itu selalu disebabkan oleh dua hal: kalau nggak salah paham, pahamnya salah,” ucapnya nyinyir.

Ironisnya yang mengatakan adalah orang yang mengaku Islam. Pernyataannya itu seolah menyatakan bahwa Umat Islam—baik yang awam maupun yang alim mulai zaman Rasul hingga sekarang—hobi gaduh dikarenakan pemahamannya yang salah dan hanya dia saja yang pemahamannya benar termasuk dalam konteks Al-Maidah 51.

Kemudian NW mengemukakan tentang siapa yang lebih tahu tentang Al-Quran. Dia katakan, “Yang paling tahu teks Al-Quran adalah Allah dan Rasul-Nya.” Di akhir kesempatannya berbicara ia mencukupkan bahwa “Yang paling tahu tentang Al-Quran ya Allah Swt.”

Dengan pernyataannya di atas, NW ingin menegaskan bahwa kebenaran tafsir Al-Quran—khususnya dalam konteks Al-Maidah 51—hanya Allah yang paling tahu, sedangkan kebenaran penafsiran-penafsiran ulama bisa salah dan bisa benar alias tidak absolut jika tidak dikatakan absurd.

Dalam hal ini kemudian NW mencatut ayat Al-Quran QS. Al-Baqarah 147 Al-Haqqu min rabbik yang menurutnya itu ilmu tafsir, padahal sejatinya bukan dan keliru dijadikan hujah dalam konteks ini. Sebab maksud QS. [2]:147 adalah bahwa kebenaran (al-haqq) itu yang disampaikan Allah bukan yang dikatakan Yahudi dan Nashrani (Tafsir At-Thabari, 3/190).

Kedua, Al-Quran diturunkan sebagai pedoman hidup dan kehidupan manusia, maka bagaimana mungkin kitab pedoman suci kehidupan itu kemudian tidak dapat dipahami oleh manusia sebagai penerimanya dan hanya Allah yang paling tahu maksudnya? Bukankah ini berarti suatu perbuatan Allah yang sia-sia, sedangkan Allah Maha Suci dari tindakan sia-sia.

Ketiga, dalam ilmu tafsir dikenal peringkat metode penafsiran. Yang pertama dan paling utama adalah tafsir Al-Quran dengan Al-Quran. Artinya menafsiri suatu ayat dengan ayat yang lain. Karena tidak ada yang lebih mengetahui firman Allah kecuali Allah, melalui firman Allah juga pada ayat yang lain.

Contohnya ayat yang ditafsiri dengan ayat yang lain adalah surah Al-Maidah 51 tentang larangan menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai awliya ditafsiri dengan:
Al-Maidah 80-81:

Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi) niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi awliya tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Al-Mumtahanah, 13: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu jadikan walimu kaum yang dimurkai Allah sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.”

Ali Imran, 28: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu.”

Semua ayat di atas menafsiri Al-Maidah 51 dengan gamblang dan mutlak tentang larangan orang muslim menjadikan non-muslim sebagai awliya (penolong, pelindung, pemimpin). (Lihat Adhwaul Bayan fi Idhahil Quran bil Quran, 1/412).

Kemudian tafsir yang paling baik setelah Al-Quran dengan Al-Quran adalah Al-Quran dengan Al-Hadis. Artinya Rasulullah mempunyai otoritas mutlak untuk menafsiri Al-Quran, karena kepada dan melalui beliaulah Al-Quran diturunkan yang kemudian dibaca, dipahami, dihafalkan lalu diajarkan ke para Sahabat, lalu dari sahabat ke tabiin dst.

Contohnya Al-Maidah 3 yang mengharamkan makan bangkai dan darah: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah,” ditafsiri keumumannya dengan Hadis Rasul: “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai yaitu belalang dan ikan. Adapun dua darah yaitu hati dan limpa,” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Contoh lainnya Al-Baqarah 43 tentang kewajiban shalat yang dijelaskan tata caranya oleh Hadis Rasul: “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Lalu tafsir terbaik peringkat ketiga adalah menafsiri Alquran dengan ijtihad sahabat. Contoh berikut ini selaras dengan topik bahasan. Ibnul Arabi dalam Tafsir Ahkamul Quran-nya (3/201) meriwayatkan bahwa ada laporan kepada Sayyidina Umar Bin Khattab bahwa Abu Musa Al-Asy’ari telah mengangkat seorang kafir dzimmi sebagai sekretarisnya di Yaman.

Lantas Umar mengiriminya surat perintah agar mengganti sekretaris tersebut. Di dalam surat Umar tersebut termaktub Surat Al-Maidah 51. Ini menunjukkan bahwa ijtihad Umar di atas menafsiri surah Al-Maidah 51 yang melarang mengangkat seorang non-Muslim sebagai pemangku kebijakan dan jabatan.

Lantas Ibnul Arabi memberikan alasan mengapa Umar melakukan hal itu: Pertama, karena adanya larangan dari Allah. Kedua, karena mereka ketika melakukan kebijakan tidak ikhlas. Ketiga, mereka tidak bisa menjaga amanah. Keempat, mereka saling berkerjasama dengan sesama agamanya.

Dalam kesempatan lain NW menyatakan bahwa Al-Maidah 51 tidak ada kaitannya dengan politik. Justru ijtihad Umar di atas menegaskan bahwa ayat di atas meneguhkan umat Islam agar berpolitik islami (siyasah syariyah) dengan tidak mengangkat non-muslim sebagai penolongnya atau pemangku kebijakan.

Poin lain yang tak kalah penting disoroti juga adalah sandaran NW tentang kepemimpinan non-muslim kepada sejarah Abbasiyah bahwa Khalifahnya yang ke-16 yaitu Al-Mu’tadhid Billah (w. 289 H/903 M) mengangkat seorang gubernur di Iraq bernama Umar Bin Yusuf yang notabenenya seorang Nashrani.

Menurut hemat penulis, kebijakan Khalifah Al-Mu’tadhid tidak bisa dijadikan hujjah karena beliau bukanlah Khulafaur Rasyidin seperti Umar, bukan pula seorang sahabat. Kebijakannya tidak dapat mengungguli ijtihad Umar. Bahkan selevel Abu Musa yang sama-sama sahabat mengakui ijtihadnya di bawah ijtihad Umar.

Diriwayatkan suatu ketika Ibnu Abbas ditanyai tentang hukum sembelihan orang Nashrani Arab. Ia menjawab dengan membaca wa man yatawallahum minkum fainnahu minhum ‘barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka’ (Al-Maidah 51).

Ibnu Abbas seorang sahabat dan sepupu Nabi yang didoakannya sebagai pakar tafsir menjawab pertanyaan di atas bahwa sembelihan orang Yahudi Nashrani haram dimakan dengan menggunakan dalil Al-Maidah 51. Ini berarti jika dalam penyembelihan hewan saja kita tidak dihalalkan memakan sembelihan mereka apalagi di dalam ranah kepemimpinan, tentu lebih tidak halal mengangkat mereka.

Terakhir NW berargumen bahwa kyai-kyainya yang mengajari tafsir kepadanya diakhir penjelasannya mengucapkan, “Wallahu a’lam bimuradihi.” Ini dijadikan NW sebagai dalil bahwa hanya Allah yang tahu maksud tafsir ayat ini dan itu.

Padahal hemat saya ucapan para kyai itu sebuah bentuk ketawadhuan mereka dalam membaca tafsir. Sekalipun penafsiran ulama tentu ada yang benar dan ada yang salah. Bukan semuanya salah tapi hanya Allah yang tahu mana yang paling benar. Karena penafsiran adalah proses ijtihadi. Jika salah mendapat satu pahala dan jika benar mendapatkan dua pahala. Wallahu a’lam bisshawab.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *