Menu Tutup

Selaksa Keteladanan dari Kisah-kisah dalam Kitab Nashaihul Ibad Karya Syekh Nawawi Banten

DatDut.Com – Salah satu kitab kumpulan hadis yang terbilang unik adalah kitab Syarh Nashaihul Ibad. Kitab ini merupakan kumpulan hadis yang disusun oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani (773-852 H) dengan judul Munabbihaat ala al-Isti’dad li Yaum al-Ma’ad. Kemudian diperluas penjelasannya oleh Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Syekh Nawawi Banten dengan kitab Nashaihul Ibad.

Keunikan kitab Nashaihul ‘bad terletak pada jenis hadis yang dikumpulkan yang merupakan hadis-hadis memuat bilangan tertentu. Mulai kelompok dua perkara hingga sepuluh perkara. Menggunakan pembagian bab sesuai hitungannya, seperti tsunaiy (kelompok hadis menjelaskan dua perkara), tsulasy (tiga perkara), ruba’iy, hingga ‘usyary (sepuluh perkara).

Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Nawawi di mukadimah syarahnya, maqalah atau ungkapan yang termuat dalam kitab ini berjumlah 214. Empat puluh lima di antaranya adalah hadis, sedangkan sisanya adalah atsar (perkataan sahabat dan tabi’in).

Di antara sekian maqalah itu, disisipkan 5 kisah yang menarik. Berikut ini 5 kisah penuh hikmah dalam kitab Nashaihul Ibad.

[nextpage title=”1. Imam al-Ghazali dan Lalat”]

1. Imam al-Ghazali dan Lalat

Ada orang yang pernah bertemu Imam Ghazali, penyusun kitab fenomenal Ihya’ Ulumiddin, dalam mimpi. Lalu ia bertanya kepada Imam Ghazali, “Apa yang Allah lakukan atas Anda?”

Imam Ghazali menjawab, “Allah menghadapkan aku kepada-Nya lalu menanyakan kepadaku dengan pahala apa aku menghadap kepada-Nya.  Lalu, aku sebutkan berbagai amal perbuatanku yang baik.

Dia berfirman, ‘Aku tidak menerima semua itu. Aku hanya menerima salah satu amalmu pada suatu hari. Ketika itu ada seekor lalat yang hinggap di tinta qalammu untuk minum. Sedangkan saat itu engkau sedang menulis. Kemudian engkau berhenti menulis untuk memberi kesempatan lalat itu minum, karena kasih sayangmu terhadapnya aku mengasihimu.’

Kemudian Allah berfirman, ‘Bawalah hambaku ini ke surga.’” Rahmat atau kasih sayang terhadap makhluk Allah ternyata yang menjadi sebab Allah merahmati Imam Ghazali.

[nextpage title=”2. Imam Syibli dan Anak Kucing”]

2. Imam Syibli dan Anak Kucing

Imam Syibli adalah salah satu ulama tasawuf satu masa dengan Junaid Baghdadi. Nama aslinya Abu Bakar Dalf bin Jahdar. Wafat pada tahun 334 H dalam usia 87 tahun.

Beliau juga pernah dimimpikan oleh seseorang setelah kematiannya. Syibli berkata, “Allah berfirman kepadaku, ‘Hai Abu Bakar, tahukah kamu sebab apa Aku mengampunimu?’

‘Karena amal baikku,’ jawabku. Allah berfirman, ‘Tidak. Bukan karena itu.’ Syibli lalu menyebut semua ibadahnya. Mulai salat hingga haji, namun semua bukan sebab rahmat Allah Swt.

‘Jadi, sebab apa, Tuhanku?’

‘Ingatkah kamu? Saat kamu berjalan di jalan kampung daerah Baghdad. Engkau dapati seekor anak kucing kecil. Anak kucing itu sangat lemah karena kedinginan hingga mengigil. Kau ambil anak kucing itu karena kasihan, lalu untuk menjaganya kau masukkan anak kucing itu ke dalam kantong yang kau bawa.’

‘Iya, hamba ingat,’ kataku. ‘Karena rasa kasihmu kepada anak kucing tersebut, maka Aku merahmatimu.'” Lagi-lagi, rahmat Allah diberikan karena rasa rahmat terhadap sesama makhluk-Nya.

[nextpage title=”3. Awal Zuhudnya Syaqiq Balkhi”]

3. Awal Zuhudnya Syaqiq Balkhi

Namanya Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim Balkhi, wafat pada tahun 149 H / 810 M dan termasuk guru besar sufi khurasan. Beliau adalah guru Hatim Al-Asham.

Dikisahkan di halaman 35 bahwa Syaqiq Balkhi adalah putera seorang yang kaya raya. Ia pergi berdagang ke Turki. Ia lalu masuk ke sebuah tempat penyembahan berhala. Ia melihat seorang pelayan sedang beribadah. Kepalanya gundul dan jenggotnya dicukur.

Syaqiq mendekati pelayan itu dan berkata, “Wahai pelayan, kamu memiliki Tuhan Yang Maha Menciptakan, Yang Mahahidup, Mahatahu, dan Mahakuasa, maka sembahlah Dia dan jangan menyembah berhala-berhala yang tidak bisa mencelakakan dan tidak pula menguntungkan.”

Pelayan itu menjawab, “Jika memang apa yang kamu ucapkan itu benar bahwa Tuhanmu Mahakuasa untuk memberikan rezeki kepadamu di negerimu, mengapa kamu bersusah-susah datang kemari untuk berdagang?”

Syaqiq tersadar. Kata-kata itu menusuk hatinya. Dia sadar selama terlalu sibuk dengan dunia. Sejak saat itu ia memilih jalan zuhud.

Dalam versi lain diceritakan bahwa sebab kezuhudan Syaqiq adalah karena ia telah melihat seorang budak beriman sedang bermain di musim paceklik (kekurangan pangan). Padahal orang-orang sedang kesusahan karena paceklik itu.

Syaqiq lalu bertanya pada budak itu, “Kenapa kamu bisa tampak semangat? Tidakkah kamu melihat keadaan orang-orang di musim paceklik seperti ini ?”.

Budak itu menjawab, “Saya tidak perlu merasa susah dengan musim paceklik ini karena tuan saya mempunyai desa atau ladang yang bebas untuk kami ambil apa saja yang kami butuhkan.”

Jawaban membuat Syaqiq tersadar. Dia bergumam, “Jika tuannya hanya memiliki ladang, sedangkan tuannya adalah juga makhluk yang miskin juga, dan budak itu tidak kebingungan masalah rezekinya. Maka bagaimana seorang muslim memusingkan soal rezekinya, sedangkan Tuhannya adalah Tuhan Yang Mahakaya?”

[nextpage title=”4. Kisah Pencuri Kain Kafan dan Hakim”]

4. Kisah Pencuri Kain Kafan dan Hakim

Dalam salah satu hadis kelompok sepuluh, salah satu orang yang tidak akan masuk surga kecuali telah bertobat adalah jayyuf. Rasulullah Saw. menjelaskan makna jayyuf sebagai pencuri kain kafan orang mati.

Mengutip dari kitab Qam’un Nufus, dikisahkan oleh sebagaian ulama salaf bahwa pada masanya, di daerah tempatnya tinggal terdapat seorang yang terkenal sebagai pencuri kain kafan. Suatu ketika qadhi atau hakim daerah tersebut merasa ajalnya telah dekat, lalu memanggil orang itu.

“Aku dengar kamu sering mencuri kain kafan,” kata hakim itu. “Sungguh aku rasa kematianku telah dekat. Aku telah siapkan uang seharga kain kafanku. Ambillah itu sekarang dan jangan kau rusak kehormatanku di kuburanku.” Si pencuri itu menyetujui perjanjian dengan hakim.

Ketika sang hakim benar-benar meninggal, kabarnya sampai ke pencuri kain kafan. Ia pun mengisahkan perjanjiannya kepada istrinya. “Takutlah padanya,” saran istrinya. Namun bangkit keinginan untuk mencuri kain kafan hakim. “Jangan lakukan itu,” cegah istrinya. Tapi si pencuri tak menghiraukan saran istrinya itu. Maka ia pun berangkat untuk menggali kuburan.

Namun, saat kuburan telah terbuka, ia lihat mayit hakim telah didudukkan. Ada dua malaikat sedang membicarakan si hakim. “Ciumlah bau kakinya,” kata salah satu malaikat. “Tidak berbau apa pun,” jawab malaikat yang lain. “Ia tidak berjalan menuju maksiat.”

“Ciumlah bau tangannya,” kata malaikat tadi. “Tidak berbau apa pun,” kata malaikat satunya. “Berarti ia tidak bermaksiat dengan kedua tangannya.”

“Ciumlah kedua matanya,” kata malaikat itu lagi. “Tidak berbau apa pun,” kata malaikat yang lain. “Berarti ia tidak melihat perkara haram dengan keduanya.”

“Ciumlah bau telinganya,” kata malaikat itu lagi. Malaikat yang lain mencium bau salah satu telinga hakim dan tidak mendapati bau. Kemudian ia mencium telinga yang lain dan nampak menemukan sesuatu. “Apa yang kamu dapat?” tanya malaikat yang memerintah tadi.

“Aku dapati bau busuk,” kata malaikat itu. “Tahukah kamu, kenapa telinganya yang sebelah berbau busuk? Dia lebih mendengarkan salah satu dari dua orang yang sedang bermasalah. Tiuplah telinga itu.”

Kemudian malaikat meniup telinga hakim. Menyemburlah api dari telinga itu dan memenuhi liang kubur hingga menyambar mata si pencuri kafan. Pencuri kafan itu akhirnya buta.

[nextpage title=”5. Kedermawanan Hassan dan Hussein”]

5. Kedermawanan Hassan dan Hussein

Di bagian akhir kitab ini memuat hadis tentang kedermawanan. Dilengkapi dengan kisah kedermawanan cucu Rasulullah Saw., Hassan dan Hussein.

Suatu ketikan Hassan, Hussein, dan Abdullah bin Ja’far berangkat haji. Namun di tengah perjalanan, mereka kehilangan harta benda dan perbekalan sehingga kelapara dan kehausan. Ketiganya lalu menemukan rumah tenda seorang nenek-nenek. Nenek tersebut memiliki seekor kambing. Mereka lalu meminta kambing itu. Sang nenek kemudian memerah susu kambing itu untuk diminum, kemudian menyembelihnya.

Suatu ketika Hassan melihat nenek itu di Madinah dan ia mengenalinya. Ia lalu memberikan 1000 ekor kambing dan uang 1000 dinar pada nenek itu. Ia juga menyuruh sang nenek untuk mendatangi Hussein. Dari Hussein si nenek mendapatkan juga 1000 kambing dan 1000 dinar. Hussein juga menyuruh si nenek untuk datang kepada Abdullah bin jafar.

Abdullah memberikan 2000 kambing dan 2000 dinar seraya berkata, “Kalau saja kamu awali dengan mengunjungi aku, niscaya aku akan susahkan mereka berdua.” Artinya andai si nenek bertemu Abdullah terlebih dahulu, ia akan memberikan uang dan kambing sejumlah itu, dan ia yakin Hassan dan Hussein akan sudi bersusah payah memberikan jumlah yang sama.

Begitulah cara mereka membalas kebaikan orang. Sang nenek pulang ke kampungnya dengan membawa 4000 ekor kambing dan 4000 dinar.

Baca Juga: