Menu Tutup

Mengapa Warga NU Hanya Peka Saat Kiainya Dihujat, Namun Tidak Saat Al-Quran Dinista?

DatDut.Com – Tampaknya tidak semua pihak yang menentang Ahok memberikan tanggapan baik akan respons Nahdliyin atas kasus yang menimpa Kiai Ma’ruf Amin. Ada pula orang yang sinis dengan mengatakan bahwa warga NU hanya marah jika ulama atau kiainya disinggung namun tidak tergerak hatinya saat al-Quran dinistakan.

Pemikiran seperti ini bisa dimengerti karena sekilas memang terlihat seperti itu adanya. Namun ada baiknya jika kita menelisik lebih lanjut agar tidak terjadi hal-hal yang kontraproduktif karena mereka dan NU, saat ini dan dalam kasus ini, berada dalam barisan yang tidak berbeda.

Yang pertama, mari kita kembali membaca pernyataan resmi PBNU yang dirilis pada 7 Nopember 2016 terkait aksi massa yang dilakukan di ibu kota pada 4 Nopember 2016. Pada poin pertama dijelaskan sebagai berikut :

“Sebagai bagian dari cara berdemokrasi yang beradab dan niat yang tulus untuk meluruskan etika kepemimpinan, kami mengapresiasi #AksiDamai411. Karena hakikat kepemimpinan adalah teladan yang baik (uswatun hasanah). Pemimpin tidak boleh berujar kalimat-kalimat kotor yang menimbulkan kontroversi bahkan melahirkan perpecahan.”

Meskipun tidak secara eksplisit dikatakan subyek yang dimaksud, tapi tentunya Anda paham siapa yang dimaksud di situ. Hal ini menunjukkan bahwa PBNU juga menilai selama ini memang ada yang bermasalah dengan attitude sang pimpinan daerah.

Kedua, perbedaan sikap dengan saudara-saudara Muslim lain hendaknya tidak dimaknai sebagai pembelaan PBNU terhadap Ahok di depan hukum. Hal itu jelas disampaikan oleh Kiai Said saat dikatakan bahwa memang sebaiknya sang gubernur diusut secara hukum sebagaimana tuntutan dari sejumlah pihak. Kalau lupa, Anda bisa buka beritanya di sini.

Dalam kesempatan lain di sebuah konferensi pers yang diadakan di gedung PBNU, Jumat tanggal 28/10/2016, Kiai Said mengatakan bahwa Ahok jelas telah menyinggung perasaan umat Islam, “Sama seperti saya (misalnya) mengatakan ‘jangan mau dibodohi oleh orang menggunakan ayat Markus, Matius,” ujarnya mencontohkan.

“(Ahok seperti) membangunkan macan tidurlah. Lagi enak-enak tidur, masak dibangunin,” ujarnya seraya meninggalkan ruang konferensi pers. Demikian dikutip dari hidayatullah.com yang turut hadir dalam kesempatan itu.

Ketiga, tidak bisa disangkal bahwa terdapat perbedaan penilaian masyarakat terhadap ujaran Ahok mengenai al-Maidah, 51 itu. Ada yang mengatakan bahwa dia telah menghina ayat suci, ada pula yang menilai bahwa dia melecehkan ulama yang berbeda penafsiran dengannya dan ada pula yang menganggap bahwa sang petahana tidak melecehkan ayat suci pun tidak menghina ulama.

Bagi kelompok ke-3 ini, Ahok hanya menohok pihak-pihak yang berkompetisi dengannya dengan mempergunakan ayat suci sebagai senjata. Singkat kata menggunakan ayat al-Quran sebagai alat politik.
Dua kemungkinan awal tertera dalam fatwa MUI poin ke-4 dan ke-5, berikut petikannya:

“4. Menyatakan bahwa kandungan surah al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran.

5. Menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam.”

Jadi berdasarkan fakta akan adanya perbedaan itu, mengerucutkan simpulan pada 1 jenis penilaian saja seperti Ahok menistakan Al-Quran (saja) atau Ahok menistakan ulama (saja) adalah sesuatu yang kurang pas.

Keempat, menilai unjuk rasa sebagai satu-satunya jalan untuk menuntut pihak berwenang agar melakukan pengusutan terhadap dugaan pelanggaran hukum adalah hal yang tidak bijak.

Bisa jadi pihak lain berpendapat bahwa aksi turun ke jalan membuka kemungkinan akan adanya penyusupan dari pihak-pihak yang memiliki agenda buruk sehingga bisa mencemari aksi itu sendiri. Namun tentunya perpedaan pendapat mengenai hal itu jangan sampai menjadi bahan untuk saling meledek atau merendahkan, namun harus diletakkan dalam bingkai saling menghormati.

Sekarang kita bahas mengenai sikap Ahok terhadap Kiai Ma’ruf Amin. Bagi kalangan tertentu, yakni kalangan santri, penghormatan kepada ulama atau kiai menempati posisi nomor wahid.

Kiai bagi mereka adalah seseorang yang jika berkata maka akan didengarkan, jika memerintah maka akan dilakukan, jika melarang maka larangannya akan dijauhi, jika bertemu akan dicium tangannya, sampai jika mau keluar masjid pun, Anda jangan heran jika santrinya akan mencarikan sandal sang kiai lalu meletakkan posisinya sedemikian rupa sehingga mudah untuk dipakai. Itu semua wujud takzim seorang murid kepada gurunya.

Kalaupun ada perbedaan pendapat antara seorang santri yang sudah mentas dengan gurunya di pondok maka hal itu tidak serta merta menghilangkan ta’dhim-nya tersebut. Maka kita bisa mendengar Kiai Ali Mustafa Yaqub berkata bahwa beliau tetap menghormati Gus Dur bahkan mengaku tetap mencium tangannya sebagai penghormatan meskipun terjadi perbedaan pendapat di antara keduanya, selengkapnya bisa baca di sini.

Adab itu pula yang ditekankan oleh ibunda seorang ulama fiqih besar yang mazhabnya abadi hingga kini, guru dari imam al-Syafi’i rhm, yakni Imam Malik bin Anas. Malik kecil seringkali dibekali pesan oleh ibundanya sebelum pergi berguru, “Ambillah adab gurumu sebelum ilmunya”, kira-kira begitu isi pesannya.

Berkaca dari hal itu dan melihat kenyataan tentang perilaku Ahok terhadap seorang Kiai Ma’ruf Amin, adalah dapat dimaklumi respons kaum santri, Nahdliyyin pada khususnya dan umat Islam yang mengerti tradisi seperti itu pada umumnya akan seperti yeng kemarin itu. Heboh. Sikap yang diterima oleh Kiai Ma’ruf adalah terang dan tidak multitafsir, yakni kekurangadaban.

Berbeda dengan penyikapan terhadap isi pidato tuan gubernur yang di dalamnya masih berseliweran perbedaan pendapat bahkan di antara pihak yang sama-sama menganggap Ahok sangat lengah dalam menjaga lisannya saat bertutur kata.

Sehingga membandingkan antara keduanya tidaklah apple to apple, karena yang satu berkaitan dengan hal yang multitafsir, sedangkan hal yang lain bernilai pasti. Biarlah Nahdliyyin membela kiainya, dan biarkan saja perbedaan pendapat yang masih dalam tahapan yang bisa ditolerir itu menghiasi beranda khazanah pemikiran umat.

Deskripsi singkat ini semoga menjadi jawaban bagi mereka yang mempertanyakan sikap warga NU saat ini sekaligus memberi gambaran kepada pihak lain bahwa ternyata memang ada orang-orang yang memegang dalil “attitude does matter”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *