Menu Tutup

Mencari Islam yang Memberdayakan Potensi, Bukan Islam yang Hanya untuk Debat dan Teori

DatDut.Com – Mungkin sudah tidak asing lagi dengan ungkapan kalau Islam itu “agama egaliter”, tidak membeda-bedakan suku, warna kulit, ras, harta yang dimiliki, jabatan, dan yang lainnya. Tapi nyatanya kalau kita lihat perkembangan Islam sekarang tidak seperti itu lagi.

Jika dilihat dengan mata yang serius ternyata sekarang Islam cuma milik para kaum elit, meskipun Islam tak kenal kelas atau strata tapi nyatanya itu tetap ada. Kaum elit yang saya maksud adalah golongan kelas menengah ke atas, misalkan guru, dosen, mahasiswa, politikus, pemerintah, pengusaha, pemilik media komunikasi dan masih banyak lagi. Mereka semualah yang sekarang berhak memonopoli Islam dengan bebas, dengan dalih untuk mengembangkan ajaran Islam.

Tapi apa yang tengah terjadi sekaran? Alih-alih mengembangkan ajaran Islam, yang terjadi malah kemandekan umat Islam disudut yang lain. Coba amati bagaimana keadaan umat Islam di kalangan mereka yang tidak berpendidikan, seperti petani, pemulung, pedagang kecil, pemecah batu, dan satpam kantor desa. Mereka semua tetap aja gak berkembang. Boro-boro mikirin perkembangan Islam, buat dapur ngebul aja masih bingung.

Jangan salahkan kalau Islam tidak maju-maju, karena sejauh ini Islam yang dikembangkan adalah Islam yang tidak cocok untuk mereka. Islam yang dikembangkan terkait dengan pemikiran teologi, filsafat, politik, ekonomi, dan pendidikan, hanya bisa dipahami oleh umat Islam kalangan menengah ketas, ya, minimal lulusan SMA atau pernah nyantri 6 tahun.

Walaupun banyak juga pemikiran-pemikiran Islam yang menjadikan orang dari kalangan bawah sebagai objek pengamatanya, tapi tetap saja yang ada hanya tumpukan teori yang ribet dan susah dimengerti, juga ditambah kadang tidak diaplikasikan atau hanya jadi wacana.

Siapa saja boleh dan berhak menganut agama Islam, memperluasnya, dan mengembangkan ajaran yang ada di dalamnya, tapi kadang-kadang kita lupa pada substansinya karena keseringan asik berdebat dengan sesama aktor laga intelektual.

Berdebat sesama aktor laga intelektual dengan saling membanding-bandingkan, mana teori yang baik dan mana teori yang buruk, tak jarang juga saling menjatuhkan sampai-sampai menyatakan kalau “Islam saya yang paling benar, dan Islam kamu salah”. Hal-hal seperti ini sering sekali terjadi. Mereka yang kelihatannya pintar, cerdas, dan jenius ternyata lebih sering lupa kalau penganut Islam sebagian besarnya berasal dari orang-orang yang sulit paham dengan teori atau konsep yang mereka maksud.

Seolah-olah mereka yang sudah melahirkan teori-teori tentang keislaman digdaya dan melesat tinggi bagai roket NASA. Bagi saya mereka tak lebih dari susunan tulang yang menjulang tinggi tapi mengidap osteoforosis yang mudah rapuh dan ambruk.

Bukan saya ingin mencaci atau meremehkan para kyai, profesor, doktor, santri, sarjana dan lainnya, tapi coba lihat realitas sosial saja, “Apakah hasil cipta karya para saintis itu berdampak langsung pada petani, pemulung, pedagang kecil, pemecah batu, dan satpam kantor desa?” Silahkan pembaca jawab sendiri. Petani, pemecah batu dan kawan-kawannya saya kira tidak pernah tahu, dan tak mau tahu dengan rentetan teori yang cuma merepotkan itu.

Tidak cuma para saintis Islam yang bertingkah seperti aktor laga yang terlihat sakti, gagah, dan mengagumkan, para politikus dan pengusaha juga terlihat lebih jago dari aktor laga itu. Politikus dan pengusaha saling berkolaborasi menjadi sutradara dan produsernya. Pengusaha yang tentunya punya duit numpuk, memegang kendali dari segalanya. Mereka tinggal tunjuk jari ke arah mana saja, nanti tinggal dikuti oleh sutradaranya dalam hal ini para politikus ulung.

Islam jadi barang dagangan, syariat Islam disulap jadi kebijakan tak berpihak pada rakyat kecil, syariat Islam diobral jadi pakaian, kosmetik, makanan, dan furnitur kemudian diiklankan lewat televisi dan media sosial yang ujung-ujungnya jadi gaya hidup yang seolah wajib dan berdosa kalau tidak mengikutinya, tentu sebabnya karena ada label halal atau syar’i.

Belum lagi kalau musim pemilu datang Islam dijadikan bahan kampanye, partai politik mengatasnamakan umat Islam padahal sebenarnya mengatasnamakan golonganannya yang kebetulan beragama Islam.

Belum selesai dipusingkan dengan teori-teori yang tercetus oleh para aktor laga ditambah dengan lihainya sutradara dan produser mengolah skenario, karena sekarang “yang benar jadi salah, yang salah jadi benar dan benar salah sudah tak ada bedanya”. Inilah keberhasilan kerjasama produser, sutradara dan para aktornya.

Kalangan seperti petani, pedagang, satpam dan kawan-kawannya ogah buat Islam jadi maju, karena mereka tak paham skenario sebab mereka tak belajar, mereka hanya ingin hidup wajar biasa saja asalkan perut kenyang. Sampai di sini mungkin orang-orang yang saya sebutkan sudah gusar dan menganggap tulisan ini omomg kosong, tapi tidak apa-apa.

Saya tidak mau membuktikannya dengan tulisan lagi atau dengan teori lagi. Kalau seperti itu, apa bedanya saya dengan aktor laga intelektual yang menumpuk-numpuk teori. Silahkan saja observasi langsung berapa banyak orang yang paham dengan teori-teori keislaman dengan yang tidak paham. Mereka lebih memilih Islam yang simpel. Bagi mereka salat dan puasa saja sudah cukup dikatakan ibadah dan memelihara Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw.

Muhammad Saw diutus jadi rasul oleh Allah agar orang-orang kecil seperti sahabat Bilal bin Rabah, para budak dan para pedagang kecil bisa merdeka dari para pemiliki modal atau dari para pedagang besar.

Para pedagang besar ketika itu menguasai perdagangan di Mekah yang sempat jadi pusat aktivitas dagang beragam suku bangsa. Merekalah yang secara sosiologis berada pada posisi tertinggi sehingga berhak melakukan apapun asalkan ada uang. Eksistensi para pedagang besar ini ternyata membuat rakyat kalangan bawah tertindas.

Di sinilah Muhammad diutus untuk membela dan mengangkat derajat orang-orang tertindas dengan mendobrak tatanan sosial-ekonomi yang ada. Tatanan sosial-ekonomi diubah oleh Muhammad. Nabi memberlakukan sistem persamaan derajat, pembebasan pada budak, dan sistem pemberian sebagian kecil harta pada rakyat jelata (zakat).

Rakyat jelata kemudian terangkat derajatnya dan umat Islam waktu itu bisa maju dan perkembang dengan semangat pembebasan. Dari sinilah kita bisa mencontoh Nabi Muhammad, seorang intelektual yang merakyat karena semua ajarannya bisa terserap oleh rakayat kecil.

Sudah saatnya semua pemeran dalam agama Islam harus kompak membangun masyarakat madani, bukan hanya berdebat dengan teori harus mulai peduli, lihat umat Islam disudut yang lain, pertanyakan ulang teori-teori yang ada, apakah mereka bisa paham apa maksudnya? Paling tidak coba observasi langsung, ajari mereka langsung arti pentingnya membangun sebuah peradaban.

Islam bukan milik orang pintar dan orang kaya. Islam milik semua penganutnya yang berasal dari berbagai golongan. Buktikan bahwa agama Islam adalah agama egaliter yang nyata. Agama egaliter adalah agama untuk semua golongan. Agama yang dibangun dari struktur terbawah sampai struktur teratas sehingga pada hakikatnya tidak mengenal struktur itu sendiri.

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *