Menu Tutup

Memposisikan Islam dan Arab, Demi Berada di Tengah-tengah antara Memuja atau Menista

DatDut.Com – Suatu ketika di suatu tempat, ada 2 orang sahabat yang berdialog di meja kerja mereka. Sebut saja namanya Lia dan Ali. Lia adalah seorang ibu muda yang memiliki anak berusia 1 tahun, sedangkan Ali seorang jomblo yang dalam sebulan ke depan akan mengakhiri masa lajangnya.

Iseng, Ali bertanya kepada Lia, “Bun, anakmu biasa manggil kamu pakai sebutan apa?” “Dia belum bisa ngomong, tapi kalau bilang ‘papa mama’ sih sudah bisa,” jawab Lia. “Oo..jadi dipanggil ‘mama’ aja ntar?”Ali coba menebak.

“Nggak ah..kebarat-baratan kedengarannya,” sahut Lia. “Mmmm.. pakai ini aja biar pas, ‘ummi’, gimana?” “Ngnngg, gimana ya.. kayaknya nggak juga deh, kayaknya terlalu islami gitu. Aku mau yang netral aja, ah…” “Ooo.. terlalu islami ya. Aku pikir itu cuma bahasa Arab.. ,” jawab Ali dengan nada retoris.

Di tempat lain, ada seorang anak kuliah yang rajin banget mengikuti berita tentang konflik Timur Tengah. Kali ini dia tengah membaca perkembangan konflik di Irak dari smartphone-nya. Sampai suatu ketika, dahinya berkerut dan mulutnya bergumam, “Aziz bukannya nama muslim ya. Ini kok Kristen?” Teman yang di sampingnya menyahut, “Mungkin dia murtad.”

Usut punya usut, ternyata dia sedang membaca berita tentang Presiden Irak yang enggan menandatangani surat eksekusi terhadap seorang pejabat di era Saddam Hussein, Tarek Aziz.
Alasan yang digunakan untuk menolak eksekusi tersebut adalah karena dia seorang Kristen yang sudah lanjut usia dan sering sakit karena usia lanjutnya itu.

Di sebuah masjid kampus, ada seorang dai terkenal yang didatangkan untuk mengisi sebuah acara yang diadakan untuk memperingati hari jadi kampus tersebut. Acara yang dimulai sejak pagi itu berakhir sesaat sebelum waktu zuhur tiba. Sembari menanti bedug, sang dai duduk di dalam masjid sambil bercengkerama dengan panitia acara. Karena ada satu keperluan, sang panitia minta izin untuk meninggalkan dai itu sejenak.

Beberapa detik kemudian, seorang pemuda berhidung mancung berpakaian jubah dan tutup kepala khas Timur Tengah menghampirinya dan mengajak salaman. Dengan ramah, sang dai menyambut uluran tangan sang pemuda sambil tersenyum.

Sejurus kemudian, dia bertanya, “Anta ‘arabi (kamu orang Arab)?”. Pertanyaan itu disambut dengan jawaban,”Bukan ustadz, saya asli sini…” “Oh, maaf..saya pikir..hehe… Lha pakai pakaian khas sana,” balas sang dai. “Hehe..iya ustad. Biar Islam-nya lebih afdol, ustad..,” jawab sang pemuda.

“Oh, begitu…” Belum sempat sang dai melanjutkan perkataannya, muazin sudah mulai mengumandangkan adzan dan sang pemuda hingga kini masih menganggap jubah menjadikan keislaman seseorang kaffah.

Lagi, di tempat lainnya. Ada seorang bayi yang baru lahir di sebuah keluarga baru. Dalam kegirangan yang bukan kepalang, ayahnya memberi nama si anak mungil itu dengan sebuah nama yang begitu islami. “Sudarmaji.” “Lho?! kok iso? Kuwi jeneng Jawa, Mas (lho?! kok bisa? Itu kan nama orang Jawa, Mas),” protes tetangganya yang juga teman pengajian di langgar RW sebelah.

Sambil tertawa kecil, si bapak berkata, “Nama aslinya itu Susilo kok, Mas. Tapi saya pingin anak saya jadi seperti guru-guru kita yang suka kita ikuti kajiannya dan kita datengin pondoknya buat tabarukan. Jadim Sudarmaji itu singkatan dari Susilo Pendherek Rasulullah Muhammad Kang Sejati (Susilo Pengikut Rasulullah Muhammad Yang Sejati).

Cerita di atas hanyalah ilustrasi tentang kegamangan sebagian dari kita dalam membedakan Islam dan Arab. Sebagian dari kita mengidentikkan Arab dengan Islam. Hal ini yang oleh Almarhum K.H. Ali Mustafa Yaqub disebut sebagai mengagamakan budaya Arab.

Orang-orang itu secara mentah berkeyakinan bahwa semua yang berasal dari Arab mesti bermuatan syariat. Padahal sebagian darinya adalah budaya yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia.

Namun ada kalanya jika dikatakan kepada mereka bahwa berislam tidak harus menjadi Arab, Islam bukanlah Arab atau hal-hal yang sejenis, mereka sekonyong-konyong menuduh orang yang mengatakannya sebagai anti-Islam.

Di kutub lain, ada pula yang mungkin saking mau memisahkan antara Islam dan Arab, justru kebablasan sampai menafikkan syariat. Secara sarkastik mereka menjuluki pihak pertama yang saya sebut di atas dengan ‘onta’.

Adalah penting untuk tidak merubah Islam yang sejatinya diperuntukkan bagi seluruh ummat Nabi Muhammad ini menjadi sempit berdasarkan etnis tertentu. Tetaplah bersikap proporsional dengan tetap menghargai budaya setempat yang selaras dengan syariat Islam karena Islam tidak bertugas untuk mengeliminasi budaya manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *